ORDE LAMA, ORDE BARU, ORDE REFORMASI DAN ORDE KITA
(Otokritik terhadap Perjalanan Agenda Reformasi)
Tiba-tiba kita dikejutkan oleh bangkitnya “hantu” orde baru. Sebuah makhluk yang sebenarnya ditakuti namun enak dibicarakan dalam dagelan sehari-hari.
Sebagai bangkitnya kekuatan neo orde baru “seakan-akan“ kita diiingkatkan akan agenda perjuangan reformasi. Perjuangan ditangan anak muda Indonesia yang rela berpanas-dingin berjuang menegakkan arti sebuah “kebebasan”.
Tanpa mengenal rasa lapar dan haus, berdemonstrasi ditengah ketakutan orang tua yang sibuk menghitung kalkulasi politik. Ditengah para elite politik yang mendadak sariawan dan enggan berkomentar. Anak muda Indonesia-lah yang terbukti tanpa kepentingan berjejer-berbaris menumbangkan pemerintahan yang otoriter.
Anak muda Indonesia-lah yang rela memikul resiko akan artinya gagal sebuah perjuangan. Anak Muda Indonesia-lah yang bersimbah keringat, airmata dan darah bergelut dengan dinginnya hari ditengah para tokoh-tokoh pemimpin partai politik yang menyaksikan perjuangan mereka di layar televisi.
Sungguh kontras artinya perjuangan menggapai reformasi.
Ketika perjuangan itu telah digapai oleh rakyat Indonesia, anak muda itu kemudian tersebar diberbagai lini. Ada yang sibuk harus menyelesaikan sekolahnya karena sudah “dideadline” orang tuanya dan persoalan biaya.
Ada yang sibuk kembali ke kampus dan sibuk dengan dunia hedonisme dan berhura-hura. Ada yang membangun kekuatan basis namun kesulitan keuangan. Ada yang berlompatan keberbagai kepentingan politik jangka pendek. Ada yang sibuk mengurus percetakan dan menerima order demo.
Semua yang dilakukan terlepas dari motivasi dan kepentingan jangka pendek, penulis mengakui bahwa seleksi sejarah yang menentukan bagaimana kiprah anak muda tersebut dalam ikut menentukan perjalanan sejarah.
Namun yang pasti penulis tidak ingin mengajak agar kita sejenak “mengenang reuni sejarah” sebagai bagian dari romantisme belaka. Selain karena zaman telah menuntut kembalinya kiprah kaum muda dalam percaturan politik Indonesia, kaum Indonesia haruslah kembali merumuskan perjuangan reformasi.
Rasanya belum kering keringatnya, belum susutnya airmata, bersihnya darah anak muda Indonesia dalam menggapai reformasi ketika semua orang tersentak dengan bangkitnya neo orde baru.
Semua orang diingatkan dan semua orang tersentak ketika ada pekerjaan yang masih tercecer. Momentum reformasi telah lewat. Prof. Dr. Syariff Maarif menyatakan bahwa telah sempurna kerussakan di Indonesia.
Tahun 1999 sebagai momentum kebangkitan orde reformasi melalui pemilihan yang demokratis ternyata gagal menjalankan fungsinya. Partai pemenang Pemilu tidak menguasai parlemen sehingga tidak berhasil memenangkan Megawati menjadi Presiden RI.
Kekuatan PDI-P sebagai pemenang Pemilu juga tidak berhasil mengantarkan kader-kadernya menguasai Posisi Gubernur dan Bupati. Sutiyoso yang disebut-sebut dalam Peristiwa kerusuhan 27 Juli (peristiwa yang menyerbu Kantor PDI-P) ternyata menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk kedua kalinya.
Benturan antara kader PDI yang diusulkan didaerah dengan sikap DPP PDI-P yang tetap mencalonkan calon lain juga menimbulkan citra partai pemenang pemilu yang mengabaikan suara konstituennya. Kisruh Pemilihan Gubernur Lampung, Jawa Tengah, Bali semakin mengukuhkan partai pemenang pemilu gagal mengembangkan amanat reformasi.
Disatu sisi penegakan hukum seperti tertinggal dengan perkembangan sector lainnya. Perbaikan hukum seperti berputar-putar ditempat dan cenderung mengabaikan tuntutan masyarakat.
Lembaga yang serius memberantas korupsi seperti kehilangan taring dan lebih berdebat tentang teknis hukum yang njlimet. Kasus Korupsi semakin menggila dan menggurita.
Praktis disetiap daerah, issu money politics dalam setiap pembahasan LPJ dan pemilihan Kepala Daerah, pembahasan APBD yang semakin mengukuhkan bahwa anggota parlemen semakin jauh dari harapan rakyat.
Disaat publik berkonsentrasi dengan pengumuman Partai Peserta Pemilu 2004, munculnya Siti Hardiyanto Rukmana kembali menyentak publik dengan menggandeng Partai Karya Peduli Bangsa.
Semua orang tersentak terlepas apapun kepentingannya ternyata magnet Tutut terlalu sayang untuk dilewatkan.
Pada kesempatan inilah penulis sekedar menggali memori bagaimana yang harus kita lakukan.
Terhadap istilah yang penulis temukan dari berbagai perhatian masyarakat yang mengasumsikan bahwa dengan hadirnya Mbak Tutut maka akan mengembalikan kekuatan neo orde baru menarik untuk kita diskusikan.
Pertama. Ada ketakutan yang berlebihan bahwa Tutut akan hadir dengan mengendarai PKPB akan come back.
Asumsi ini sebaiknya kita hitung secara matematis. Apakah PKPB akan mendapat dukungan rakyat ?.
Terlalu premature kita memberikan jawaban. Yang pasti Golkar yang berhasil melewati hadangan pertama tahun 1999 sebagai partai pemenang Pemilu kedua pasti tidak tinggal diam. Dan Golkar tidak akan juga melewati kesempatan untuk menarik garis tegas akan sikap tersebut.
Kedua. Bahwa yang harus kita perhatikan bahwa penulis termasuk orang yang membicarakan dengan menggunakan indicator tertentu. Misalnya apa yang termasuk kedalam indicator Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi.