17 Januari 2004

opini musri nauli : Hukum dan Budaya


Ketika saya menyodorkan judul diatas, sama sekali saya tidak akan menggugat peran hukum dalam kehidupan budaya. 

Atau menciptakan mekanisme budaya hukum dalam penegakan hukum. Sama sekali tidak. Karena pembahasan itu sudah dibahas tuntas oleh Soerjono Soekanto, baik dalam pembahasan Sosiologi Hukum maupun literature lainnya. 

Dengan tidak mengurangi pembahasan yang telah dilakukan oleh berbagai kalangan, judul yang penulis tawarkan semata-mata hanya mengingatkan kepada penulis tentang dunia Hukum ataupun dunia Politik yang berbeda dengan dunia budaya. 

Pengalaman yang penulis sampaikan sekedar catatan untuk kita bahas Dunia hukum adalah dunia yang keras, kejam dan berbagai stigma mengerikan lainnya. 

Berhadapan dengan toga dan jubah hitam, berhadapan dengan penjahat-penjahat yang berjuang hidup dengan kekerasan. 

Berhadapan dengan hiruk pikuk pemberitaan yang berdarah-darah menyaksikannya. 

Sementara dunia politik dunia yang jauh dari rasa kemanusiaan, persahabatan, suka menilikung ditengah jalan, menunggu kesempatan untuk melakukan sesuatu dan berbagai aturan yang sampai sekarang tidak dapat diterapkan dengan sepenuh hati. 

Dua dunia ini senantiasa merasa kering, karena rasa kemanusiaan menjadi persoalan yang subyektif dan kadangkala diluar logika akal sehat. Judul yang sengaja saya tawarkan semata-mata sekali lagi menegaskan bahwa apabila literature tentang pembahasan ini sebenarnya rumit, jelimet dan memerlukan pemikiran dan kajian yang dalam untuk dapat memahaminya. 

Namun judul yang ditawarkan sekali lagi menegaskan bahwa pembahasan itu sebenarnya merupakan hasil pengalaman semata-mata dari penulis. 

Penulis bertemu dengan teman penulis yang sama-sama latar belakang Pencinta Alam. 

Teman-teman penulis itu mempunyai posisi penting dalam organisasi pencinta alam, merupakan dedengkot pencinta alam di Jambi. 

Pembicaraan sebenarnya cukup rumit karena membicarakan Walhi kedepan, membangun networking, membangun aliansi bersama, mempersiapkan kebutuhan SDM dalam menghadapi issu-issu lingkungan dan issu strategis lainnya. Pembicaraan yang cukup berat itu sebenarnya memerlukan stamina untuk menguras pemikiran. 

Namun karena semuanya mempunyai latar belakang sebagai pencinta alam, maka suasana reuni lebih kental dan terasa sebagai jiwa egaliter, humanisme yang sulit diterjemahkan dengan logika politik. 

Suasana yang terbangun itu ternyata memudahkan kami untuk membicarakan dan bekerja sama dalam membangun Walhi kedepan. Pembicaraan kedua ketika penulis bertemu dengan Bung Ari Setia Ardi (Bung ASA). 

Pertemuan ini sebenarnya menurut pengalaman penulis bukanlah pertemuan yang pertama. 

Karena sebelumnya penulis telah bertemu dengan Bung ASA ini pada berbagai pertemuan yang berbeda. 

Yang pertama adalah ketika penulis bertemu dengan Bung ASA pada acara dialog budaya ketika Rendra datang ke Jambi. 

Pertemuan kedua ketika Bung ASA mewakili Posmetro sebagai pihak tergugat dalam perkara perdata dan kebetulan penulis sebagai Tim Pengacara. 

Dan Ketiga saat Bung ASA bersama dengan rekannya konsultasi mengenai sebuah problema keluarga. 

Pada pertemuan ini kami mengobrol ngolor ngidul. 

Tema yang membuat kami bersentuhan adalah ketika kami membicarakan persoalan hukum dan budaya. Sentuhan apa yang membuat kami semakin asyik mendiskusikan. 

Yah. Budaya dalam lingkungan masyarakat tertentu yang berhadapan dengan formal hukum nasional. 

Contoh yang kami paparkan adalah persoalan harga diri. Persoalan nama baik keluarga dan sebagainya. 

Dalam kalangan masyarakat tertentu, nama baik keluarga haruslah dijaga dan dijunjung tinggi. Keluarga bertanggungjawab untuk menjaga citra keluarga. Maka apabila adanya orang yang merusak citra keluarga tersebut, orang itu haruslah “diselesaikan” dengan cara mereka sendiri. 

Kata-kata diselesaikan sengaja penulis dalam tanda kutip sebagai makna penafsiran hukum yang berbeda dengan penafsiran budaya. 

Penafsiran hukum tentunya diselesaikan melalui jalur formal hukum nasional. 

Pihak yang merasa nama baik keluarga tercemar akan membuat laporan polisi, sedangkan hukum nasional (baca KUHP) telah menyediakan pasal-pasal untuk menjeratnya. Orang yang melakukan perbuatan itu haruslah diproses dari tingkat kepolisian hingga persidangan. 

Dan orang itu haruslah dihukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 

Namun kata-kata “diselesaikan” menurut budaya masyarakat mempunyai sikap yang berbeda. 

Orang yang membuat malu keluarga, haruslah dihukum dengan cara mereka sendiri. 

Apakah dipukul, dibunuh ataupun dengan cara-cara penyelesaian duel dan sebagainya. 

Walaupun cara-cara ini masih menunjukkan budaya primitif dan barbar, namun citra keluarga lebih penting daripada cara-cara menyelesaikan masalah itu. 

Maka dapatlah dimengerti apabila pelaku tidaklah merasa menyesal dan merasa bangga melakukan perbuatan itu demi menjaga citra keluarga. 

Atau mengenai istilah kata-kata yang berbeda antara penafsiran hukum dan budaya. 

Pada Tahun 2002 dibuka dengan peristiwa masyarakat yang mendatangi Pengadilan Negeri Muara Bungo yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum. 

DPRD Kemudian membentuk Pansus terhadap kasus ini yang kemudian dikenal sebagai Pansus Syawalgate. Peristiwa ini sebenarnya sebuah peristiwa yang biasa di alam reformasi. 

Dimana masyarakat yang tidak puas dari keputusan Pengadilan Negeri kemudian mendatanginya. Peristiwa ini kemudian berlanjut terhadap dua bulan kemudian ke Pengadilan Negeri Jambi dan sebulan kemudian ke Pengadilan Negeri Muara Bulian. 3 rangkaian peristiwa tersebut kemudian diakhiri dengan putusan bebasnya terhadap pelaku pemerkosaan di pengadilan Negeri Muara Bulian yang mengakhiri tahun 2002. 

Peristiwa ini ini menarik untuk dibahas. Baik dari perdebatan akademisi bidang ilmu hukum formil, proses hukum acara pidana, kajian sosiologis, maupun dari budaya. 

Dari tiga peristiwa tersebut adanya perbedaan penafsiran antara budaya dengan hukum. 

Misalnya kata-kata zinah. Dalam term istilah budaya kata-kata “zinah” adalah perbuatan hanya dilakukan oleh suami istri. Artinya perbuatan ini hanyala perbuatan yang hanya dilakukan oleh suami dan istri. 

Bandingkan dengan istilah kata-kata “zinah” menurut penafsiran yang diatur dalam KUHP. Istilah zinah adalah perbuatan ini apabila salah satunya telah kawin. Sedangkan apabila perbuatan ini dilakukan keduanya belum kawin maka hanyalah diatur dalam perbuatan cabul. 

Dua dimensi penafsiran inilah yang membuat putusan pengadilan Negeri tersebut mengakibatkan menimbulkan protes dari masyarakat karena adanya perbedaan penafsiran terhadap istilah itu. 

Dua sikap yang berbeda terhadap satu persoalan ditinjau dari sudut hukum dan budaya tidaklah menjadi bahan diskusi penulis. 

Tapi suasana rindu terhadap alam, rasa egaliter kembali meneguhkan kepada penulis, bahwa persoalan hukum haruslah mempunyai rasa yang penulis rasakan itu. 

Dan rasa itu membuat penulis senantiasa merasa kaya dan merasa dihadapan khalik ada dunia dimensi yang turut mempengaruhi sikap terhadap sebuah persoalan. 

Rasa kemanusiaan, rasa kita dihadirkan ke alam untuk berbuat sesuatu kepada alam dan berbagai rasa lainnya membuat saya sejenak bertanya “Untuk itukah saya ada?”. Pertanyaan menggugat itu tidak sepantasnya saya sampaikan. Tapi dari pertanyaan itu saya menyadari bahwa dunia Hukum, dunia politik yang saya geluti sehari-hari kering dari rasa kemanusiaan, rasa egaliter dan rasa yang sebenarnya telah lama hilang. Saya dikagetkan dengan rasa yang pernah saya miliki tersebut. 

Dari contoh yang telah penulis paparkan diatas, ada suasana yang berbeda. 

Pertama walaupun penulis mendiskusikan gagasan tentang persoalan hukum, politik, namun persoalan itu dilihat dari perspektif yang berbeda dan lebih humanisme dan egaliter. 

Pembicaraan yang rumit, jelimet dan berbagai analisis yang mendalam untuk memahaminya, ternyata lebih cair, santai dan suasana kekeluargaan. Ini bisa dilakukan karena pembahasan itu dilakukan dengan pengalaman dan sudut pandang yang sama. 

Pembicaraan ini mengalahkan hiruk pikuk Pemilu dan berbagai pernik-perniknya, mengenai caleg, mengenai suksesi dan berbagai issu politik lainnya. 

Artinya persoalan yang rumit itu sebenarnya haruslah dirumuskan dengan budaya yang egaliter, humanisme dan memandang persoalan itu dari sudut pandang yang sederhana dan tentunya tidak mempunyai kepentingan jangka pendek. 

 Kedua bahwa rasa gelisah sebagai anak bangsa terhadap negeri ini juga dirasakan oleh berbagai masyarakat. 

Namun masyarakat mempunyai cara untuk mengungkapkan rasa gelisah itu dengan caranya sendiri. 

Dan caranya mengungkapnya mungkin dengan rasa yang tidak pernah terbayangkan dengan kita.