24 Januari 2004

opini musri nauli : PEMILU 2004



Kontrak Politik Anggota Parlemen dengan konstituen-nya Usai sudah sebagian tahap-tahap Pemilu 2004. 

Panitia Pelaksana dan Pengawas Pemilu (baca KPU dan Panwas) telah terbentuk dan dilantik. Peserta Pemilu telah melewati seleksi baik sebagai badan hukum maupun sebagai peserta Pemilu dan ditetapkan berjumlah 24 partai yang pada pemilu sebelumnya 48 partai. 

Nama-nama calon Legislatif telah diserahkan kepada KPU. Begitu juga keterwakilan Dewan Perwakilan Daerah. 

Para pengamat telah menganalisis partai-partai yang ada baik ditinjau dari sudut ideology seperti nasionalis, islam tradisional, sekuler, social democrat, massa pendukung partai, basis real kekuatan partai, tokoh-tokoh yang membidani partai dan berbagai pernik-pernik yang berkaitan dengan pemilu 2004. 

Ledakan partisipasi rakyat dalam menyambut Pemilu 2004 sebagian kalangan optimis bahwa Pemilu 2004 akan membawa perubahan yang diharapkan. Sementara sebagian kalangan lagi meragukan bahwa Pemilu 2004 akan melakukan perubahan yang dicita-citakan. Pada Pemilu tahun 1999, Pemilu yang paling demokratis dalam sejarah bangsa Indonesia, ingatan kolektif bangsa Indonesia tidak mudah dilupakan. 

Pemilu yang demokratis tersebut ternyata dinodai ketika partai pemenang Pemilu ternyata tidak berhasil menguasai senayan dan hanya menghasilkan wakil Presiden. Ingatan kolektif ini kemudian memberikan catatan jelek kepada pendidikan politik ditengah rakyat dan kemudian Pemilu dianggap tidak memberikan jawaban yang diharapkan. 

Abdurrahman Wahid yang menjadi Presiden kemudian “diturunkan” ditengah jalan dan Megawati mengambil alih Presiden hingga sekarang. Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR yang tersangkut dalam Perkara “Buloggate” sampai sekarang tidak ditahan. 

Angka jeblok ini kemudian diperparah dengan ketidakseriusan dalam memberantas kasus yang bernuansa KKN, pelanggaran HAM dan kasus-kasus yang melibatkan tokoh-tokoh penting. Jaksa Agung sebagai pilar terdepan dalam memberantas korupsi ternyata masih bertugas walaupun nyata-nyata tidak melaporkan kekayaannya kepada KPKPN. Menteri Agama mempunyai masalah dalam urusan “harta karun” di Batutulis dan dalam pengelolaan haji. 

Para menteri sibuk membangun koalisi dalam menghadapi Pemilu dengan mempersiapkan diri sebagai calon Presiden. Mahasiswa kritis yang meneriakkan BBM diganjar penjara. 

Pers bebas dipukul dengan pola-pola kekerasan. Kasus-kasus 27 Juli tidak memberikan jawaban siapa aktor intelektual yang berada dibelakang aksi penyerbuan kantor PDI-P. Kasus Tanjung Priok dipeti-eskan Walaupun Pemilu 1999 merupakan Pemilu yang demokratis namun tidak menghasilkan anggota parlemen yang diharapkan dan kelakuan anggota parlemen pada periode ini sangatlah menonjol. 

Anggota parlemen sambil membleided anggaran, juga mengotak-atik UU yang menguntungkan kepentingannya. Rekomendasi berbagai pihak agar kasus-kasus seperti Semanggi I, II dan diseret dalam Pengadilan HAM menguap dan hanya merekomendasikan Pengadilan biasa. Aksi anggota parlemen ini juga ditingkah dengan sikap-nya yang berjarak dengan rakyat dalam berkelakuan sehari-hari. 

Mulai dari pakaian yang necis, makanan yang mahal, liburan di berbagai negara sampai lapangan DPR yang mendadak seperti show room mobil terbesar didunia. 

Bandingkan dengan rakyat, yang jumlah hidup digaris miskin 25 juta orang, 40 orang yang tidak mendapat pekerjaan, tingkat ekonomi yang masih di bawah 5%. Sementara itu, 2 juta rakyat ditampung dan hidup dalam pengungsian, kerusuhan daerah Aceh, Maluku, dan berbagai daerah lainnya melengkapi bahwa persoalan rakyat masih menyisakan PR bagi kita bersama. 

Sementara itu didaerah, issu sentralisasi kemudian berhasil diperjuangkan dengan desentralisasi yang ditandai dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999. Daerah mempunyai kewenangan penuh didalam menata pemerintahan-nya sendiri dan berhak menggali sumber dana. 

Maka daerah berlomba-lomba memenuhi kas daerah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Issu PAD menjadi issu yang paling pokok dibandingkan dengan issu “good governement” atau “clean government”. 

Daerah kemudian berkembang secara fisik. Jalan-jalan, gedung-gedung, dan berbagai sarana fisik berkembang. 

Daerah menjadi terbuka dan secara fisik perubahan paradigma sentralisasi dan desentralisasi dirasakan oleh rakyat. 

Namun disisi lain, wewenang daerah ini tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku politisi anggota Parlemen didaerah dalam memaknai otonomi. LPJ, Pemilihan Kepala Daerah menjadi aksi acrobat dari anggota parlemen. 

 Suara-suara rakyat kalah nyaring dengan sikap aklamasi anggota Parlemen. Praktis suara-suara yang diteriakkan hanyalah menjadi hiasan media massa tanpa makna. 

Peristiwa-peristiwa yang silih berganti kemudian memaknai kepada rakyat, apa guna Pemilu dan bagaimana rakyat dapat mengontrol suara yang telah diberikan-nya melalui pemilu ?. 

 Dalam diskusi dengan berbagai kalangan, penulis mendapat jawaban sementara bahwa Pemilu 1999 memang pemilu yang demokratis tapi tidak mendapatkan anggota parlemen yang kita harapkan. Lantas apa jawaban sementara dari persiapan Pemilu 2004 ini. Ketakutan penulis terhadap persiapan menghadapi Pemilu sudah didepan mata. 

Partai-partai yang kalah dalam Pemilu 1999 “tukar baju” memasuki Pemilu 2004. Anggota Parlemen yang mempunyai cacat moral dalam periode transisi ini berjumplitan membangun partai baru atau pindah partai lain. Motivasi membangun partai ternyata hanyalah merebut kekuasaan. 

Dogma politik yang masih mencengkram dalam pikiran politisi adalah bahwa berpartai hanya berorientasi kekuasaan. Maka rakyat dimobilisasi untuk mendukung partai, menawarkan program, mengumpulkan di tengah lapangan dimasa kampanye, memunculkan artis-artis yang diharapkan akan mengambil suara (vote getter), membagi-bagi door prize, kaos, bendera dan mengibarkan umbul-umbul paling tinggi dan paling besar. 

Pertanyaan sementara timbul adalah, apakah jawaban inikah yang diharapkan oleh rakyat ?. Hampir praktis tidak ada partai yang bertemu dengan kelompok-kelompok basis seperti buruh, tani, dan kelompok social lainnya untuk mendengarkan persoalan mereka, membicarakan agenda politik bersama, membangun kekuatan dan persoalan-persoalan kongkrit yang mereka hadapi sehari-hari. 

Pengalaman dari Vince Fox dengan manajemen “coca-cola” (salah satu minuman buatan Amerika) dapat kita teladani. Manajemen coca-cola adalah manajemen yang mengantarkan coca-cola kepada pembeli ditempat terdekat-nya. 

Artinya coca-cola mudah kita dapatkan disekitar kita tanpa perlu kita harus mempersiapkan waktu untuk membelinya. Vince Fox mengadopsinya dengan kampanyenya langsung mendatangi kelompok-kelompok basis, mendengarkan tuntutan mereka dan memperjuangkannya dalam agenda politik. 

Dan waktu kemudian berhasil mencatat bahwa sebagai representatif perlawanan kaum kiri baru di Venezuela, Vince Fox menjadi Presiden. Kembali pada focus kita bagaimana Pemilu ini kita sikapi. 

Apakah tidak dicoba membangun format pertanggungjawaban politik antara partai politik yang direpresentatifkan dengan anggota parlemen dengan konstituen-nya yaitu pemilih. 

Bagaimana dengan ikatan politik yang hendak dibangun. Sudah saatnya rakyat tidak dimobilisasi hanya kepentingan jangka pendek seperti Pemilu saja. Apakah tidak dibangun mekanisme pertanggungjawaban tersebut. Apakah format yang ditawarkan akan mudah dikontrol rakyat yang telah memilihnya ?. 

Asumsi-asumsi ini sengaja penulis tawarkan untuk kita diskusikan. Sebagai illustrasi, ketika seorang anggota parlemen yang mewakili partai A dari daerah B, maka harus menemui kelompok basis tersebut. 

Misalnya didaerah tersebut adalah kelompok tani yang tengah memperjuangkan tanah yang akan dijadikan perkebunan sawit. Issu sentral mereka adalah bagaimana anggota parlemen tersebut akan memperjuangkan agar tanah mereka tidak dijadikan perkebunan sawit. 

Atau kelompok basis yang tengah memperjuangkan kepentingan upah, kesejahteraan dan masalah normative lainnya. S

esuai dengan komitmen politik, maka kelompok basis ini kemudian memberikan suara kepada anggota parlemen yang mewakili daerah tersebut. Konsekwensi politiknya adalah bahwa anggota parlemen ini kemudian harus memperjuangkan kepentingan konstituen-nya. 

Maka setiap kebijakan Pemerintah yang berdampak kepada rakyat, anggota parlemen tersebut haruslah menemui konstituen-nya terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan terhadap kebijakan tersebut. Begitu juga terhadap persoalan-persoalan lainnya seperti Perda, APBD dan berbagai issu penting lainnya baik itu LPJ, suksesi dan sebagainya. 

Dalam kontrol konstituen-nya terhadap anggota parlemen dalam memperjuangkan kepentingan-nya, ukuran normative akan dapat diketahui oleh konstituen. Secara politik evaluasi pertanggungjawaban anggota parlemen dapat dilakukan oleh konstituen. 

Konstituen dapat mengalihkan kepada anggota parlemen lainnya apabila kepentingan tersebut tidak diperjuangkan oleh anggota yang dipilih tersebut. Dan ukuran Pemilu yang akan datang akan mudah dilakukan dengan memilih partai yang lain apabila kepentingan konstituennya ternyata berbeda dengan yang diharapkan. 

Pemikiran ini sekaligus juga menjawab asumsi-asumsi yang telah penulis sampaikan sebelumnya. Bahwa Pemilu 2004 juga disikapi dari sudut pandang rakyat untuk mengambil peran. Dan tentunya yang akan berharap melakukan perubahan. 

Dua illustrasi tersebut sengaja penulis sampaikan sebagai pokok-pokok pikiran penulis mengenai Pemilu dan kontrak politik dengan konstituennya. Pokok-pokok pikiran ini masih perlu pengkajian dan diskusi lebih lanjut dan harus diterjemahkan dalam operasional yang mudah diterapkan dilapangan. 

 Illustrasi sederhana ini juga penulis tujukan kepada Kelompok yang selama ini kritis terhadap demokratisasi di Indonesia. Kelompok yang diwakili oleh kelompok kelas menengah, LSM, pers, kelompok mahasiswa, dan berbagai kelompok lainnya haruslah memainkan peran tersebut. 

Karena peran yang harus dimainkan tersebut tidaklah mungkin menyerahkan kepada partai-partai peserta Pemilu 2004 karena konsentrasi mereka lebih banyak difokuskan kepada perolehan suara dan berorientasi kekuasaan jangka pendek.