Catatan Hukum 2004
Judul ini sengaja penulis sengaja paparkan sebagai otokritik kita terhadap penegakkan hukum.
Judul ini sengaja penulis sampaikan sebagai pengamatan “subyektif” terhadap proses penegakkan hukum baik nasional maupun di Jambi.
Judul ini sengaja penulis pampangkan sebagai tawaran diskusi kita didalam melihat problema hukum di Indonesia.
Dalam pengamatan penulis dari berbagai media massa harian di Jambi penulis berhasil mengidentifikasi peristiwa-peristiwa yang menarik tersebut.
Peristiwa ini dikutip dari Jambi Ekspress, Jambi Independent dan Posmeto Jambi dengan alasan penerbitan media massa harian inilah yang kemudian dikumpulkan dan diolah oleh penulis.
Analisis yang penulis lakukan dari berbagai kliping media massa semata-mata selain media massa harian itu memuat berita yang dapat penulis analisis juga keterbatasan penulis didalam mencari data-data untuk mendukkung analisis yang penulis sampaikan.
Sebelum penulis memaparkan pokok-pokok pikiran yang akan disampaikana, penulis ingin mengajak kita untuk melihat sejenak Laporan Akhir Tahun-nya Kompas pada edisi tanggal 29 Desember 2004, pada sesi Politik, Hukum dan Keamanan.
Tawaran judul yang disampaikan menarik untuk kita diskusikan. “DEMOKRASI TAK SEKEDAR MENGUBAH KONSTITUSI”.
Dalam pokok-pokok pikirannya, Kompas memaparkan bahwa demokrasi menjadi sebuah diskursus menarik. Ia banyak dikritik tetapi ia juga banyak dibela sebagai sebuah bentuk pemerintahan terbaik dari dari alternatif sistem pemerintahan lain.
Menurut Fransisco Budi Hardiman, sistem politik yang demokratis tidak serta merta membentuk etos demokratis.
Tanpa etos demokratis, sebuah sistem politik akan menjadi sekedar etiket baru bagi barang lama. Hal ini mengandung makna demokratis bukanlah semata-mata selesai hanya dengan mengubah konstitusi, hanya dengan melakukan liberalisasi partai politik, hanya dengan membebaskan pers dari hukum yang menghambat.
Demokrasi tidak cukup hanya itu, demokrasi membutuhkan prasyarat lain.
Ia menyebut contoh di Berlin, Jerman dengan kebangkitan neo-Nazi dan munculnya fundamentalisme Kristen di Amerika Serikat.
Akan tetapi masyarakat disana tidak merisaukan masa depan demokrasi mereka. Mereka juga tidak pernah mempersoalkan apakah mereka telah siap berdemokrasi atau tidak.
Penyebabnya, institusi menyelesaikan konflik yang terjadi. Negara mampu menjadi wasit yang adil.
Menurut Daniel Sparingga, demokrasi bisa berkembang karena keterampilan (craftmanship). Demokrasi bisa direkayasa, demokrasi juga bisa dikembangkan sebagai pilihan sadar atas berbagai pengaturan strategis di bidang kelembagaan. Yang juga penting adalah kepemimpinan (leadership) yang kuat.
Kepemimpinan menghadapkan pada kebutuhan akan hadirnya kualitas yang bisa memberikan panduan atas visi kedepan yang ingin dicapai, kepemimpinan yang sekaligus bisa mempengaruhi masa depan.
Sepanjang tahun 2004 sejumlah pelajaran penting dapat ditarik dari kehidupan politik dan Dunia politik Indonesia memasuki babak baru.
Sebelumnya publik dengan terbengong-bengong melihat “partisipasi” rakyat memasuki Pemilu dalam seleksi administrasi partai baik di Depkeh HAM dan KPU, Partai-partai tengah mempersiapkan jagonya untuk memasuki Pemilu 2004, penyusunan nomor urut Caleg, media massa mengabarkan kepada publik suasana persiapan bahan-bahan yang diperlukan untuk caleg baik itu di Pengadilan Negeri, Rumah sakit dan berbagai instansi Pemerintah, Pada saat yang bersamaan, konsentrasi nasional di”hebohkan” aktivis yang masuk ke partai. T
okoh-tokoh yang kritis ternyata masuk partai yang selama ini mereka kritisi.
Di Jambi, pentas politik daerah issu ini menjadi tema yang cukup menarik untuk didiskusikan.
Media massa selain menampilkan profile partai Peserta Pemilu juga menampilkan sisi lain dari aktivis yang menjadi caleg dari partai-partai.
Ketika Yun Ilman, Ilki Repelita, Joni IM, Sri Vidya Wetty, Doni Pasaribu dan lain-lain masuk kedalam Partai Politik, reaksi publik berbeda dalam menyikapi issu ini.
Daya serang terhadap Yun Ilman, Ilki Repelita dan Joni IM lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Yun Ilman cs masuk kedalam partai Golkar yang sebagian kalangan pro reformasi dianggap bagian dari pilar GSM (Golkar – Soeharto – Militer) orde baru.
Perdebatan apakah Yun Ilman Cs diminta Golkar atau menawari sebagaimana dimuat Harian Independent tanggal 15 Januari 2004 tidak menjadi persoalan penting. Yang pasti Yun Ilman telah menjadi bagian dari Partai Golkar yang ditandai dengan “nomor jadi” DPRD Provinsi dari Kerinci.
Daya serang ini tidak sekuat yang dialami oleh Sri Vidya Wetty dari PKB ataupun Doni Pasaribu yang membidani partai baru “PIB”.
Belum selesai pembahasan tentang aktivis dan partai politik, publik kembali “dihangatkan” dengan issue “Politisi Busuk”.
Sebagai issue politik, issu ini kemudian menggelinding seperti bola salju. Para politisi kemudian mencium bajunya untuk mengetahui apakah memakai baju busuk atau tidak.
Politisi local mengambil sikap yang berbeda. Mereka yang “seakan-akan” bagian dari Orde Baru (sebuah istilah identitas yang tidak pernah dirumuskan secara politik), berteriak kencang dan mempertanyakan apa indicator dan criteria orang-orang yang termasuk kedalam “politisi busuk”.
Sedangkan orang-orang yang ikut dalam proses penjatuhan Soeharto merasa paling benar dan tidak termasuk kedalam criteria yang diteriakkan oleh aktivis.
Sementara konsentrasi nasional dikerahkan menghadapi Pemilu, evaluasi pertandingan Pemilu, ataupun pemain yang menang Pemilu 1999 yang kemudian menjadi anggota parlemen sekarang tidak dilakukan.
Evaluasi ini mutlak dilakukan agar kita mendapatkan pemain yang diharapkan.
Dalam beberapa waktu yang lalu penulis telah menulis di Jambi Independent tertanggal 15 Januari 2004 yang berjudul “PEMILU : Kontrak Politik anggota parlemen”.
Tulisan ini menerangkan tentang pentingnya memberikan garansi politik dan komitmen kepada anggota parlemen dengan istilah komitmen politik. Dalam kalangan diskusi dengan kawan-kawan gerakan, istilah ini lebih banyak dikenal dengan istilah kontrak social.
Tahun 2003, issu politik yang menarik perhatian anggota parlemen adalah harus bersiap-siap untuk menjadi anggota parlemen periode 2004 –2009.
Anggota parlemen kemudian mempersiapkan dirinya untuk menjadi “nomor jadi” di partai-partai yang lolos seleksi Pemilu 1999 ataupun “membangun partai baru”, atau “tukar baju” masuk partai lain apabila partainya bubar karena tidak berhasil didalam Pemilu 1999 dan tidak mengikuti Pemilu 2004.
Konsentrasi anggota parlemen tentunya berdampak terhadap sikap politik mereka. Maka dapat dimengerti walaupun tentu saja tidak dapat kita terima apabila didalam menghitung detik-detik akhir masa jabatannya, anggota parlemen lebih suka membahas uang pesangon daripada membuat laporan kepada konstituennya. Tentu saja dicari-cari dalil-dalil hukumnya. Kalaulah tidak ada dalil hukumnya, maka tentu saja dalil-dalil dibuat-buat persis acting di acrobat.
Dari issu terakhir inilah, penulis tersentak ketika anggota parlemen bersikukuh mendapatkan pesangon. Issu ini walaupun tidak terlaksana, namun sungguh-sungguh telah melukai perasaan kita semua.
Issu pesangon sekali lagi membuktikan bahwa anggota parlemen sama sekali tidak dapat bertindak sebagai wakil dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Dari public hearing dengan anggota parlemen beberapa waktu yang lalu, dalil hukum yang digunakan sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Selain besarnya uang pesangon yang tidak tepat dimasukkan kedalam criteria pesangon, ketentuan pesangon sendiri terhadap anggota parlemen tidak diatur. Dan tentu saja dalil-dalil pembenar lain dicari-cari. Sehingga praktis upaya yang dilakukan oleh anggota parlemen ini lebih menonjolkan sikap berpolitik yang amburadul, zig-zag, mengedepankan kepentingan politik demi keuntungan pribadi dan kelompok daripada sikap berpolitik untuk kepentingan rakyat.
Dalam pergaulan sehari-hari di Jambi, sikap berpolitik ini lebih tepat digunakan istilah “BERPOLITIK NGABAS”.
Berpolitik Ngabas sebenarnya istilah yang diberikan oleh penulis yang melambangkan sikap berpolitik asal jalan terus tanpa memperhatikan dalil-dalil hukum untuk mendukung langkah mereka.
Sikap berpolitik ngabas sebenarnya istilah dari kata-kata “Ngabas”. Ngabas adalah istilah asal terabas atau hantam kromo dalam istilah Jawa. Pokoke jalan terus.
Alangkah baiknya apabila anggota parlemen di akhir masa jabatannya melakukan upaya populis seperti memberikan report berapa Perda yang direncanakan yang dibuat, berapa Perda yang dihasilkan, berapa perda yang belum diselesaikan dan apa strategic daerah kedepan menghadapi AFTA.
Juga harus disampaikan persoalan rakyat apa yang dihadapi, berapa kali demonstrasi, persoalan apa yang menjadi konsentrasi anggota DPRD dalam menyikapi masalah rakyat sebagaimana harapan penulis pada awal tulisan ini.
Dan dengan rendah hati penulis menyatakan bahwa evaluasi yang penulis lakukan berangkat dari kontrol publik terhadap kinerja anggota parlemen 1999 – 2004 dan harapan penulis terhadap kiprah anggota parlemen tahun 2004 – 2009.
Dalil yang telah dipaparkan oleh penulis tentunya berakibat terhadap proses penegakan hukum.
Dalam tahun 2004, proses persidangan diwarnai terhadap pelaku yang telah menggunakan identitas yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota parlemen.
Yang didominasi terhadap pemalsuan ijazah sebagai syarat administrasi dalam proses rekrutmen anggota Parlemen.
Ini sekaligus menjawab prediksi penulis bahwa tahun 2004 merupakan tahun Politik dimana konsentrasi nasional dalam menghadapi hajatan Pemilu 2004 yang kemudian telah sukses selama 3 kali (Pemilu parlemen, pemilu Presiden putaran I dan Pemiu Presiden putaran II). (Jambi Ekspress, 26 Desember 2003).
Bandingkan pada tahun 2002 dimana peristiwa didominasi terhadap Sengketa Perkebunan Sawit yang mengakibatkan kerusuhan massa, Peradilan Rakyat, Pelaksanan peradilan Formal yang berdampak kepada rasa keadilan rakyat.
Tahun 2004 secara politik mengalami Puncaknya adalah ketika partai politik tampak tidak berdaya menghadapi dominasi popularitas yang menyebabkan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla menjadi Presiden dan wakil Presiden periode 2004 – 2009 dalam pemilu 20 September 2004.
Dalam periode inilah, kemudian SBY-JK mencanangkan program 100 Hari dimana dalam penegakkan hukum, “Menyatakan Perang” terhadap Korupsi.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kemudian ternyata SBY-JK mengeluarkan izin terhadap pemeriksaan Gubernur, Bupati/walikota, pejabat negara lainnya.
Di Jambi sendiri, izin ini kemudian digunakan oleh penyidik terhadap Bupati Sarolangun dalam kasus dermaga ponton.
Tabel 1. Pejabat Eksekutif dan Legislatif yang diproses karena tersangkut kasus dugaan Korupsi.
NO NAMA JABATAN KASUS KETERANGAN
1 Drs.HM.Madel Bupati Sarolangun Dermaga Ponton Penyidikan
2 Anwar Harminto Kadishub Sarolangun Dermaga Ponton Penyidikan (ditahan)
3 Bambang Irawan Bendahara PU Dermaga Ponton Penyidikan (ditahan)
4 Nasir Jupri Staf Tenaga Teknis PU Dermaga Ponton Penyidikan (ditahan)
5 Najamudin Kasubag Pembangunan Dermaga Ponton Penyidikan (ditahan)
6 Bustami Kabag TU Dinas Perhubungan (pimpro) Dermaga Ponton Penyidikan (ditahan)
7 Rita Purniawati Bendahara Proyek PU Kota Jambi Proyek pengerasan jalan HM.Bafadhol Penyidikan
8 Anang Fachri Kepala Kantor Kesbanglinmas Kota Pengadaan dan pelatihan hansip Penyidikan persidangan
9 RM.Ali Mantan Kakan Perhubungan Tebo Retribusi Sawmill Tunggu persidangan
10 Dedy Sukanto Pembantu bendahara kantor perhubungan Tebo Retribusi Sawmill Tunggu persidangan
11 Engkos Kosasih Pimbagpro Dinas KSPM Provinsi Jambi Proyek Pembangunan 50 rumah SAD Penyidikan
12 Lukman Mantan Kabag UP Setda Tebo Proyek SDM Tebo tahun 2003 Divonis 8 bulsn (JPU banding)
13 Mindawati Bendahara Proyek UP Setda Tebo Proyek SDM Tebo tahun 2003 Divonis 8 bulan (JPU banding)
14 Subianto Pimpro UP Tebo Proyek SDM Tebo tahun 2003 Divonis 8 bulan (JPU banding)
15 H.Tommy Ilyas Mantan ketua DPRD Sarolangun Penyalahgunaan dana operasional dewan Divonis 1,6 th (banding)
16 Dedi Irawan Mantan Wkil Ketua SDA SDA
17 HM.Riduan Mantan Wkil Ketua SDA SDA
18 Kardini Mantan Wkil Ketua ➢ SDA SDA
➢ Insentif dewan DPRD Penyidikan
19 Hefni Zen Sekwan DPRD Sarolangun Insentif dewan Penyidikan
20 Andi Ibnu Hajar Mantan Ketua DPRD Tanjabtim Dana penunjang kesehatan dewan Penyidikan (ditahan)
Jambi Independent, 22 Desember 2004
Kembali kepada judul yang penulis tawarkan.
Politik adalah panglima dan paparan dari Kompas, Demokrasi tak sekedar mengubah konstitusi. Dari pemikiran inilah penulis akan menyoroti terhadap penegakkan hukum dalam periode SBY-JK didalam implementasi praktek proses hukum.
Dalam prestasi politik, Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan baik dalam praktek berpolitik yang ditandai dengan kemerdekaan berorganisasi, berpartai, berbicara dan hak-hak yang dijamin dalam Declaration of Human Right.
Namun prestasi ini tidaklah diimbangi dengan prestasi dibidang hukum. Kemampuan didalam membuat produk hukum tidak diimbangi dengan prestasi dalam penegakkan hukum lainnya.
Negara seakan tak berdaya ketika sekelompok orang bisa melakukan tindakan hukum sendiri untuk menghakimi kelompok lain.
Tempat hiburan diobrak-abrik oleh sekelompok orang tanpa mampu dicegah aparat negara. Bom meledak disana-sini “persis” petasan, tanpa mampu mengungkapkannya.
Pembobolan dana rakyat yang dititipkan di Bank seperti peristiwa yang “biasa” di Indonesia. Pelanggaran HAM mulai dirasakan pada titik terendah dengan kematian Munir dan “dibebaskannya para “penanggungjawab” dalam kerusuhan Timor Timur pasca jajak pendapat 1999.
Maka disaat konsentrasi nasional secara politik kemudian terwujud dengan terpilihnya SBY-JK sebagai pemimpin elite di Republik Indonesia, “proses hukum-pun” tunduk dengan kepentingan politik tersebut.
Genderang perang terhadap pemberantasan korupsi yang ditandai dengan diberikan izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap pejabat negara, berdampak luas sehingga “konsentrasi” dalam proses hukum-pun berusaha memenuhi komitmen politik tersebut.
Maka para pejabat negara kemudian berbaris memenuhi undangan dari berbagai instansi penegak hukum baik dari KPK, Kepolisian dan kejaksaan. Dari ranah ini sebenarnya merupakan ide dari tawaran penulis untuk mendiskusikannya.
Komitmen penegak hukum untuk memenuhi janji politik SBY-JK haruslah diberi apresiasi yang aplaus.
Namun kemudian menjadi problem sikap komitmen ini tidak diimbangi dengan sikap profesionalisme yang tunduk dengan ketentuan hukum yang berlaku. Peran dominan sebagai pejabat hukum haruslah dilihat dari ketentuan yang mengaturnya.
Prinsip-prinsip dasar sebagai negara hukum (rechtstaat), haruslah dihormati.
Prinsip seperti prinsip praduga tidak bersalah haruslah diberi ruang yang sepantasnya sebagaimana didalam Sistem Hukum Pidana, kita mengenal salah satu asas yaitu asas “PRADUGA TAK BERSALAH” (Presumption of innocence), sebagaimana diatur dalam Penjelasan atas UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Pada asasnya diterangkan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan dimuka persidangan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap”.
Atau hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan proses peradilan yang fair sebagaimana sendi keadilan yang didalam pemeo, FIAT JUSTITIA RUAT COELUM (Walaupun langit runtuh keadilan harus ditegakkan), mendapatkan bantuan hukum dan tidak adanya upaya yang sistematis untuk memberikan penghukuman tanpa proses (try by press), selain itu juga haruslah melihat ketentuan sebagaimana diatur didalam KUHAP baik mengenai penangkapan, penahanan, penyitaan maupun penggeledahan dan sebagainya.
Atau dengan bahasa yang lain, penulis berujar bahwa “PEMBERANTASAN KORUPSI BUKAN SEKEDAR MEMERIKSA DAN MENAHAN PEJABAT”. Tapi mempersiapkan tuduhan secara serius dan memprosesnya sesuai dengan ketentuan.
Dari paparan yang telah penulis, sampaikan, maka sudah seharusnya proses peradilan diberi ruang untuk pembuktiannya.
Sekali lagi mengutip Tajuk Rencana Kompas, Kompas ingin menegaskan kasus tuduhan korupsi itu jangan sekedar dijadikan komoditas politik.
Tegakkan hukum seperti apa adanya dan terapkan secara fair dan adil. Prinsip praduga tidak bersalah tentunya dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada tertuduh untuk menjelaskan duduk perkara dari persoalan yang sedang ia hadapi.
Tugas dari penuntut umum untuk menunjukkan bukti-bukti hukum yang kuat bahwa pihak tertuduh melanggar hukum.
Dari fakta-fakta yang muncul dipengadilan itulah nanti para hakim menentukan sikapnya. Melalui sistem peraddilan fair tadi, kita mengharapkan dihasilkan sebuah keputusan yang seadil-adilnya dari kaus ini.
Kalau memang tidak ditemukan bukti yang meyakinkan, maka bebaskan dan rehabilitasilah nama baik tertuduh. Sebaliknya, apabila ditemukan fakta yang kuat, maka tertuduh harus menerima keputusan hakim itu.
Kalau merasa tidak puas, maka yang bisa dilakukan adalah mengajukan banding atau juga kasasi.Dalam grand line (kerangka pokok) judul ini ditawarkan menjadi pemikiran kita bersama adalah, bahwa dimensi hukum janganlah menjadi wilayah politik.
Atau dengan bahasa lain janganlah dimensi hukum menjadi ranah politik.
Kalaulah harapan ini tidak diberi disikapi secara serius, maka ranah hukum dijadikan komoditas politik yang tergantung “selera” penguasa dan alat bargaining politik penguasa Republik. Bahkan ada upaya sistematis memberikan “lips servise” kepada publik.
Catatan Hukum 2004
Dari paparan singkat inilah, penulis memberikan catatan bahwa tahun 2004 yang diwarna dari peristiwa politik berakibat terhadap dimensi proses hukum.
Baik terhadap proses calon anggota parlemen yang terbukti secara hukum didominasi memalsukan ijazah dalam rekrutmen anggota parlemen maupun proses terhadap pejabat eksekutif dan pejabat legislatif yang tersandung dalam kasus dugaan korupsi.
Catatan hukum yang tercecer terhadap kasus yang belum terungkap tahun 2003 dapat dilihat seperti kasus Kasus Rekayasa lakalantas yang menewaskan Effendi, Kasus money politics dalam pemilihan Bupati Merangin, Korupsi penggunaan uang negara diluar aturan dan ketentuan yang berlaku di DPRD Muara Jambi, Pembunuhan PNS Kehutanan Propinsi Jambi dan Dugaan kasus Korupsi dana tunjangan anggota Dewan sebesar Rp 500 juta DPRD Kab. Bungo.
* Advokat pada Kantor Advokat/Penasehat Hukum ‘IMSA’ & Associates
Baca : Catatan Hukum 2003