Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri catatan hukum 2003. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri catatan hukum 2003. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

25 Desember 2005

opini musri nauli : Catatan Hukum 2005


Penulis sengaja menggunakan kata “catatan” untuk judul diatas. Selain karena kata “catatan” merupakan catatan semata dari penulis yang selama ini penulis amati dari berbagai kliping di media massa semata, juga kata “catatan” tidak melakukan investigasi yang mendalam untuk sebuah peristiwa hukum (report investigation). 

26 Desember 2003

opini musri nauli : Catatan Hukum 2003


Tahun 2003 sebentar lagi akan berakhir. Tahun 2004 akan kita masuki. Dalam menjalani tahun 2003 ini, sudah banyak peristiwa yang kita alami. 

29 Desember 2004

opini musri nauli : Politik adalah Panglima ?


Catatan Hukum 2004

Judul ini sengaja penulis sengaja paparkan sebagai otokritik kita terhadap penegakkan hukum. 

28 April 2008

opini musri nauli : BANTUAN HUKUM

(Kritik dan Otokritik terhadap pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003) 



 Sudah 5 tahun usia Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Usia yang seharusnya dikritisi terhadap berlakunya UU tersebut. 

28 Desember 2006

opini musri nauli : Catatan Hukum 2006


Peristiwa hukum tahun 2006 tidak terlepas dari dua pucuk pimpinan aparatur penegak hukum. Pergantian Kapolda dan Pergantian Kajati Jambi membawa dampak implikasi terhadap Penegakkan Hukum. 

06 Juli 2010

opini musri nauli : Mempersoalkan Bungkus daripada isi (Cover majalan Tempo dalam diskursus Hukum



Rasanya terlalu sayang untuk dilewatkan mendiskusikan perseteruan “TEMPO” vis POLRI. Liputan majalah Tempo yang bergambar karikatur seorang manusia mengenakan seragam memegang tali kekang mirip celengan babi. Polri merasa berkeberatan dan tersinggung dengan gambar karikatur dalam sampul majalah berita mingguan Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010. 

Yang membuat Polri tersinggung, konon, adalah gambar celengan yang divisualkan dengan gambar babi. 

Dan kita menunggu bagaimana kelanjutannya Cover Majalah Tempo yang memuat gambar celengan babi menimbulkan perdebatan diranah hukum. 

28 Februari 2013

opini musri nauli : CATATAN HUKUM “PULAU BERHALA” (2)


CATATAN HUKUM “PULAU BERHALA” (2)

Putusan MK mengenai permohonan pengujian UU No. 31 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Provinsi Kepri yang biasa dikenal dengan perkara “Pulau Berhala” telah usai dijatuhkan. “Pulau Berhala” termasuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Lingga. Artinya “perdebatan” Pulau Berhala telah usai di MK.

18 April 2009

opini musri nauli : mahkamah konstitusi dan pemilu

Setelah usai pemungutan suara, setelah gegap gempita kampanye dan berbagai pernik-pernik pemilu 2009, setelah berbagai tahap pemilu 2009 telah berlangsung, maka konsentrasi publikpun akan terkonsentrasi kepada hasil penghitungan suara. Hasil penghitungan suara akan mengetahui para kandidate anggota parlemen yang masuk parlemen 2009.

20 Juli 2012

opini musri nauli : Catatan Hukum Putusan MK tentang Kehutanan





Lagi-lagi MK mengabulkan permohonan para pihak dalam mengadili perkara UU Kehutanan (Judicial reviuw). Setelah sebelumnya heboh yang memutuskan pasal 1 ayat (4) UU No. 41 Tahun 1999, MK kemudian pasal 4 ayat (3) UU Kehutanan. Terlepas dari perdebatan dan substansi yang telah diputuskan oleh MK, beberapa catatan yang disampaikan oleh MK menarik untuk memperkaya kita mengenai pemahaman konsep “Hak menguasai negara” dalam rumusan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

24 Februari 2012

opini musri nauli : CATATAN HUKUM PULAU BERHALA



Dunia belumlah kiamat. Dunia belum runtuh. Kalimat itu lebih tepat disampaikan setelah putusan Mahkamah Agung berdasarkan PUTUSAN Nomor 49 P/HUM/2011 dalam perkara pengajuan Hak Uji Materi terhadap “Peraturan Menteri Dalam Neger i Nomor 44 Tahun 2011. Pengajuan hak uji materiil ini diajukan oleh DRS. H. MUHAMMAD SANI dkk, bertindak sebagai Gubernur Kepulauan Riau bersama-sama dengan Ketua DPRD Kepri, Bupati Lingga, Ketua DPRD Lingga dan yang lainnya. Putusan ini juga mendukung permohonan judicial rewiew dengan nomor Perkara 48 tahun 2011 dengna pemohon Alias Wello cs (mantan Ketua DPRD Lingga).

02 September 2008

opini musri nauli : MAHKAMAH KONSTITUSI DAN HARAPANNYA


Beberapa waktu yang lalu, Mahfud, MD telah dilantik sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Posisi ini menggantikan Jimly Assidiq yang telah menjabat sejak berdirinya Mahkamah Konstitusi. 

29 Desember 2008

opini musri nauli : catatan Hukum 2008


Kasus Korupsi secara nasional tahun 2008 tidak dapat dipisahkan dari daerah Jambi. Tertangkapnya Al Amin Nur Nasution, Anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan ini diberitakan di mana-mana, bukan dalam peran dia sebagai pejuang aspirasi rakyat, tetapi karena diduga menerima suap dari Sekda Kabupaten Bintan Azirwan, dengan memanfaatkan lolosnya permohonan konversi hutan lindung di kabupaten itu. 

16 Juli 2013

opini musri nauli : Hukum Islam dalam Perkembangan di Indonesia - Tanggapan terhadap M. Asrori



Beberapa waktu yang lalu, M. Asrori, menulis “mencermati Hukum Islam dalam Pengembangan hukum Nasional. Tulisan ini menarik perhatian penulis, selain berbagai peraturan yang dijadikan sorotan untuk mendukung argumentasi M. Asrori, tulisan yang sama pernah juga disampaikan oleh Hermanto Harun menawarkan konsepsi Hukum Islam didalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan hukum yang terjadi di Indonesia pada tahun 2008.

30 November 2008

opini musri nauli : Perdebatan Tentang Hukum Islam tidak lagi menarik untuk dibahas

 

Beberapa waktu yang lalu, Hermanto Harun menawarkan konsepsi Hukum Islam didalam upaya menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan hukum yang terjadi di Indonesia. Sebagai sebuah tawaran yang berdampak terhadap hukum di Indonesia, penulis tertarik untuk membahas dan urun rembug terlibat memberikan pendapat terhadap usulan yang disampaikan.

30 Oktober 2008

opini musri nauli : Advokat dan Politisi



Beberapa waktu yang lalu, konsentrasi nasional “dicurahkan” terhadap proses pencalegan baik di Nasional maupun di Jambi. 

15 Maret 2012

opini musri nauli : Hak Menguasa Negara dalam Konteks UUPA




HAK MENGUASAI NEGARA DALAM KONTEKS UUPA
(Otokritik kaum pinggiran vis Paradigma Intelektual Mekanik)


Beberapa waktu yang lalu, penulis berkesempatan mengikuti Dialog DPD-RI dengan Universitas Jambi berkaitan dengan menggali rumusan UUPA dalam menyikapi konflik sumber daya alam.  Fakultas Hukum Universitas Jambi kemudian mengadakan penelitian UUPA dengan berbagai UU sektoral.
Ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Diskusi mengalir. Pemaparan hasil penelitian menimbulkan pertanyaan yang cukup banyak dari peserta diskusi. Namun dari hasil penelitian dan respon peserta ada beberapa catatan yang menarik untuk kita diskusikan.
Pertama, Bahwa membicarakan UUPA menimbulkan persoalan dalam tataran implementasi dan ”keegoisan sektoral” (meminjam istilah yang digunakan Tim Peneliti). Kedua. Paradigma didalam melihat UUPA dalam tatanan peraturan perundang-undangan. Ketiga. Masih sumirnya dan masih ”debateble” apakah di Jambi masih adanya hukum adat dan wilayah adat  ?
Berangkat dari catatan, penulis kemudian tersentak dan kaget. Dunia kampus ”seakan-akan” berjarak dengan perkembangan di tengah masyarakat. Konflik sumber daya alam masih menjadi catatan tanpa memahami konteks persoalan sebenarnya.

11 Oktober 2011

15 Juli 2012

opini musri nauli : CATATAN HUKUM POLEMIK TANAH PEMPROV VS ZN



Beberapa waktu yang lalu, kita “dihebohkan” polemik tanah antara Pemerintah Provinsi Jambi dengan Mantan Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin (ZN). Penulis sengaja memberikan “istilah” polemik menggantikan istilah konflik selain didasarkan masih “perdebatan kata-kata” di media massa juga didasarkan, perdebatan belum masuk ke ranah hukum dan belum memberikan impak dan “kehebohan” di tengah masyarakat.

10 Desember 2009

opini musri nauli : WAJAH BOPENG PENEGAKAN HAM (Hari HAM Sedunia 10 Desember 2009)


Dalam rangka memperingati Hari Ham Sedunia, seharusnya Indonesia harus lebih maju, lebih baik, lebih bermartabat, lebih berbudaya, lebih mulia dibandingkan dengna negara-negara lain termasuk negara-negara yang mengaku kampiun demokrasi. 

Hampir praktis, konvensi-konvensi PBB yang mengatur tentang perlindungan HAM telah diratifikasi dalam konstitusi kita. Bahkan amandemen UUD 945 terutama dalam rumusan pasal 28 telah memberikan garis tegas (guide line) yang memberikan perlindungan HAM kepada Indonesia. 

Guide line inilah yang menjadikan pintu masuk mahkamah Konstitusi didalam mengadili dan memeriksa perkara dalam sengketa konstitusi rumusan undang-undang. 

 Secara jujur harus kita aku, didalam masa reformasi pasca tumbangnya rezim otoriter Soeharto, hampir setiap sendi-sendi rumusan HAM telah diatur diberbagai ketentuan. 

Di sektor perburuhan, rumusan tentang hak berserikat telah diatur berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 83 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi. 

Yang meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 yang kemudian diatur didalam UU No. 13 tahun 2003, Pencabutan Kepmenaker 150/1998 dengan Kepmenaker No. 70/2001 yang memberikan kesempatan pengusaha untuk melakukan PHK tanpa pesangon, hak mogok, yang sebelumnya masih tabu, telah menjadikan serikat buruh diakui dan mempunyai peran penting dalam bidang perekonomian. 

 Sementara itu, hak-hak konstitusional rakyat yang distigma orde baru dalam peristiwa Politik G-30 S/PKI telah dicabut dan mempunyai hak yang sama dengan yang lain baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih oleh Mahkamah Konstitusi. 

Selain itu, pencabutan pasal yang tidak membolehkan narapidana mencalonkan anggota parlemen juga telah dicabut. 

Belum lagi berbagai pasal-pasal KUHP yang dianggap tidak sesuai dengna perkembangan zaman dan dianggap sebagai warisan kolonial yang tidak memberikan perlindungan HAM telah dicabut oleh MK. 

 Dalam berbagai rumusan UU, dengan gamblang kita bisa menemukan bagaimana Indonesia mulai menata kehidupan demokrasi dan mengatur kehidupan HAM yang lebih baik. 

Dengan demikian, secara singkat, dapat dinyatakan, terlepas dari kekurangannya, Indonesia telah mempunyai rumusan peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan HAM. 

Namun dalam rangka memperingati hari HAM sedunia tahun 2009, refleksi kita tidak sesederhana itu. Ada tiga persoalan pokok yang menurut penulis masih memerluka perjuangan kita untuk menegakkan HAM. Perjuangan pertama. Rumusan Hukuman mati masih menimbulkan perdebatan yang panjang. 

Sebagaimana telah diatur didalam konstitusi UUD 1945, bahwa pada prinsipnya, manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang bertugas mengelola dan memelihara alam semesta dan mempunyai tanggungjawab untuk kesejahteraan umar manusia (lihat rumusan Filosofi UU No. 26 tahun 2000 Tentang Hak Asasi Manusia). 

Hak yang dimaksudkan didalam pasal 1 tersebut dapat kita lihar didalam pasal 4 yaitu “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun 

 Sebagaimana didalam rumusan pasal 4 tersebut, maka “hak untuk hidup” tentunya “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Prinsip dasar ini seharusnya menjadi pisau analisis untuk membedah berbagai peraturan yang memuat hukuman mati. 

Namun rumusan hukuman mati termasuk pidana pokok sebagaimana diatur didalam Pasal 10 KUHP. Rumusan perbuatan didalam KUHP yang masih mengatur hukuman mati dapat dilihat didalam Pasal 104, 111 ayat (2) , 124 Ayat (3), 140 ayat (3), 365 ayat (4), pasal 444, pasal 479 ayat (2) huruf k, dan pasal 479 ayat (2) huruf o, yang berkaitan dengna kejahatan terhadap negara atau makar yang biasa dikenal dengan tuduhan pasal Hatzakai Artikelen dan pasal 340 kejahatan terhadap nyawa. 

 Sedangkan diluar KUHP dapat dilihat didalam berbagai UU seperti Pasal 59 UU (1) UU. No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Pasal 80 (1), Pasal 82(1) UU No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. UU Korupsi juga mengatur tentang Hukuman mati sebagaimana diatur didalam Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Junto UU No. 20 Tahun 2001. 

Didalam tindak pidana terorisme juga mengatur tentang hukuman mati sebagaimana PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME yang kemudian menjadi UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Undang-undang NOMOR 15 TAHUN 2003TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME MENJADI UNDANG-UNDANG. 

 Dari identifikasi didalam rumusan berbagai UU, maka masih terdapat kontradiksi dengna hak-hak konstitusional rakyat yang telah diatur didalam amandemen UUD 1945 dengan rumusan yang masih mengatur tentang hukuman mati. 

Dengan demikian, maka kita dapat mengerti apabila penerapan hukuman mati dalam berbagai kasus di Indonesia, memantik reaksi yang menyita perhatian publik. 

 Oleh karena itu, menurut penulis, sudah seharusnya, rumusan hukuman mati dihapuskan dalam berbagai rumusan peraturan perundang-undangna di Indonesia. Perjuangan Kedua. 

Pengungkapan kasus-kasus HAM. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan kita bersama, rezim otoriter Soeharto memberikan catatan hitam dalam kejahatan HAM. 

Naiknya Soeharto dengan stigma anti komunis, memaksa Soeharto harus memberangus komunisme di Indonesia. Anggota yang dituduh terlibat dalam komunisme kemudian dihabis. Kita masih ingat dalam peristiwa G-30 S/PKI ternyata memakan korban anak bangsa. 

Pembantaian terhadap masyarakat yang dituduh komunisme mengingatkan cara yang digunakan Hitler dalam pembantaian Nazi pada perang dunia II di Eropa. 

Dalam berbagai dokumen sejarah, pembantaian terhadap masyarakat yang dituduh komunis oleh Soeharto lebih kejam, lebih sadis, bahkan jumlah korban pembantaian melebihi korban pembantaian yang dilakukan Hitler. 

 Cara-cara yang digunakan oleh Soeharto kemudian berhasil memaksa agar rakyat patuh terhadap pemerintahan Soeharto. 

Cara-cara ini kemudian diteruskan peristiwa 1984 dalam kasus Amir Biki, penembakan misterisus (PETRUS) 78-81, Kasus Lampung 1989, Timor-timur 1991, kerusuhan Juli 1996. 

Bahkan cara-cara ini juga digunakan dalam peristiwa 13-4 Mei 998 dalam entititas etnis China yang kemudian memicu kerusuhan sosial yang memuncak pendudukan mahasiswa di parlemen. Peristiwa terakhir kemudian berhasil melengserkan Soeharto dari kekuasaannya. 

 Namun karena pengungkapan kasus-kasus HAM tidak pernah berhasil, pada masa orde barupun masih terjadi. Penyerbuan pesantren Tengku Bantaqiah di simpang V, daerah Aceh membuktikan bahwa pengungkapan kasus HAM mutlak diperjuangkan. 

Tentu saja masih banyak peristiwa pelanggaran HAM yang tersebar dari Aceh hinggga Papua yang tidak bisa kita hitung dan belum berhasil diungkapkan. 

Pengungkapan kasus-kasus HAM berpretensi agar kesalahan masa lalu tidak diulangi oleh anak cucu kita. Dan kita tidak melahirkan masyarakat dendam. 

 Perjuangan Ketiga. Di sekeliling kita masih terdengar terhadap pemeriksaan yang masih jauh dari perlindungan HAM. 

Kita masih sering mendengar cerita tentang perlakuan penyidik (terutama dalam kasus-kasus pencurian) yang masih menggunakan pendekatan fisik dan tidak mengungkapkan kasus berdasarkan bukti-bukti. 

Pencabutan keterangan saksi dalam peristiwa pembunuhan Nasrudin dalam kasus AA dan WW membuktikan muara dari gunung es terhadap perlindungan HAM. 

 Didalam UU No. 8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, sebenarnya, sudah tegas dan jelas mengatur hak-hak orang yang mengalami proses hukum. 

Hak-hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang cepat (pasal 50), hak mempersiapkan pembelaan (pasal 51), hak memberikan keterangan bebas (pasal 52), mendapatkan juru bahasa (pasal 53), hak mendapatkan bantuan hukum (pasal 54), hak kunjungna dokter pribadi (pasal 58), hak mendapatkna kunjungna keluarga (pasal 60), hak kunjungan rohaniawan (63) maupun hak-hak lain yang secara jelas telah diatur didalam KUHAP. 

Namun hak-hak yang telah tercantum itu masih menjadikan dokumen suci itu masih berada di langit yang tidak mengejawantah dalam pelaksanaan dan perlindungan HAM.

Dari pengalamana dan pengamatan penulis sebagai praktisi hukum, hak yang paling sering dilanggar dalam pemeriksaan adalah hak mendapatkan bantuan hukum dan hak memberikan keterangan bebas. 

Secara subyektif penulis memberikan sorotan terhadap penerapan pasal ini didasarkan kepada berbagai faktor. Didalam rumusan pasal 54 KUHAP dan pasal 56 KUHAP, bantuan hukum yang masih jarang digunakan didasarkan kepada berbagai sebab. 

Alasan yang paling sering digunakan karena jumlah penasehat hukum didaerah yang masih minim, pengetahuan masyarakat yang masih minim dan tidak diterangkan hak-hak tersangka, jauh dari akses mendapatkan keadilan dan sebagainya. 

Menurut penulis, alasan terhadap jumlah penasehat hukum harus disiati dengna cara penyidik menghubungi lembaga-lembaga yang memberikan konsentrasi terhadap bantuan hukum seperti lembaga bantuan hukum, asosiasi maupun menghubungi penasehat hukum. Kewajiban setiap tingkat pemeriksaan untuk menyediakan bantuan hukum mutlak sebagaimana diatur didalam pasal 56 KUHAP. 

Kewajiban mutlak ini apabila tidak dilakukan mengakibatkan proses pemeriksaan menjadi tidak sah. Pemeriksaan yang tidak prosedural mengakibatkan terhaap materi pemeriksaan batal demi hukum. 

Berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung memberikan garis tegas, agar setiap tingkatan pemeriksaan harus didampingi penasehat hukum. 

 Selain itu, berkas perkara yang sulit didapatkan. Dalam praktek sehari-hari, berkas perkara masih dianggap dokumen resmi yang sangat sulit didapatkan. Argumentasi bahwa itu merupakan dokumen resmi sangat tidak tepat diperlakukan kepada tersangka atau penasehat hukum. 

Rumusan pasal 143 dan penjelasan pasal 143 KUHAP secara tegas menerangkan bahwa berkas perkara adalah hak tersangka dalam pembelaannya. 

Dengan demikian, maka rumusan pasal 143 ayat (4) KUHAP dan penjelasan memberikan kewajiban kepada jaksa penuntut umum agar memberikan berkas perkara saat pelimpahan perkara kepada Pengadilan Negeri Paparan yang telah penulis uraikan adalah pintu masuk terhadap perlindungan hak-hak tersangka dari penyiksaan fisik terhadap tersangka maupun pelanggaran HAM dalam setiap proses hukum. 

Kewajiban hukum menyediakan bantuan hukum setiap pemeriksaan memastikan agar tegaknya hak tersangka dan proses hukum berjalan sebagaimana mestinya. 

Buramnya pelaksanaan hak-hak dan perlindungan HAM apabila diibaratkan wajah manusia, maka dapatlah dikatakan bopeng, buruk, buram dan sangat jijik kita memandangnya. 

Kita tentu sangat jijik pelaksanaan HAM yang jauh dari kesan masyarkat beradab, berbudaya dan masih menggunakan cara-cara barbar, menyiksa dan cenderung jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. 

Paparan ini juga menjelaskan wajah Bopeng Hari HAM 2009. Momentum Hari HAM sedunia tahun 2009 merupakan momentum terhadap perbaikan dalam pelaksaaan HAM. Momentum ini jangan hilang dan menjadi utopia yang harus terus diperjuangkan.


 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/8778-wajah-bopeng-penegakan-ham.html