30 Desember 2004

opini musri nauli : BERPOLITIK DAN Belajar POLITIK



Dunia “gerakan” (penulis sengaja memberikan tanda kutip) kembali kehilangan identitas, kurang pede, kurang yakin yang diperjuangkan. 

Paparan Arfan Aziz “SIM SALABIM ! Menyulap dermaga ponton dengan Mantra “Untuk Rakyat !” sebagaimana termuat di Posmetro Jambi, tanggal 24 Desember 2004, sudah kehilangan elan yang akan disampaikan. Paparan yang disampaikan selain karena sudah diketahui publik, tiba-tiba menyentak “siapapun yang berbeda dengan sikap Politik” dengan pemikiran Arfan Aziz. 

Sebuah keniscayaan yang justru dalam memperjuangkan memperkuat masyarakat madani dibutuhkan stamina untuk mempersiapkannya. Paparan yang disampaikan Arfan Aziz sebenarnya terlalu sayang untuk dilewatkan dan diberi ruang untuk mendiskusikannya. 

Selain karena yang disampaikan merupakan hal-hal strategis yang akan dibahas, paparan itu sekali lagi mengingatkan penulis apakah yang akan disampaikan oleh Arfan Aziz ingin melakukan perubahan secara sistematik ataukah perubahan yang akan dilakukan reaktif dan show terhadap pekerjaan yang dilakukan. 

Sebenarnya tulisan yang disampaikan Arfan Aziz merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya yang membahas persoalan kasus dermaga ponton yang termuat di Harian Jambi Ekspress, Sesat pikir dalam proyek Dermaga ponton. 

Pada tulisan pertama tersebut, sebenarnya penulis ingin urun rembug membahasnya. 

Namun karena kesulitan waktu dan tidak tersedianya stamina untuk membahasnya, ide-nya pun terendap waktupun berlau. 

Namun ketika pembahasan yang sama disampaikan oleh Arfan Aziz dalam kolom harian Postmetro, penulis kemudian memaksakan untuk urun rembug. 

Tulisan yang dipaparkan oleh Arfan Aziz haruslah diberi ruang untuk pembahasan sesuai dengan strategi dan fokus perjuangan yang akan dikampanyekan oleh Arfan Aziz. 

Perjuangan Arfan Aziz mempunyai basis “penguatan masyarakat madani” dengan titik masuk issu strategis dan penyelesaian kasus. 

Dalam titik ini, perjuangan ini semestinya haruslah tetap komitmen dan tidak mengenal lelah. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, dititik ini dapatlah dilakukan oleh aktifis, baik itu aktivis mahasiswa, buruh, tani, nelayan, dan aktifis lainnya yang mempunyai commited. Konsisten ini senantiasa dijaga, karena peran ini tidaklah mudah memerlukan stamina yang panjang dan tidak terjebak kepada kepentingan praktis. Lantas apakah dari sudut ini kita akan membahasnya. 

Penulis berpendapat, bahwa cita-cita ini sebenarnya kita berangkat dari wilayah yang sama. 

Namun justru penulis merasa sedikit sedih kalaulah tidak dikatakan bingung dengan sikap politik yang disampaikan oleh Arfan Aziz. 

Arfan Aziz kemudian mengklaim diri dan kelompoknya paling benar, paling sahih memperjuangkan kepentingan rakyat, paling berhak berbicara masalah dermaga ponton. 

Diluar komunitas tersebut, atau siapapun yang berada didekat para tersangka kasus dermaga ponton, adalah lawan yang harus berhadapan face to face. 

Maka dengan lantang pula, Arfan Aziz mengikrarkan diri sebagai penjaga moral dan mengaku mengawali proses hukum terhadap kasus dermaga ponton.

 Dan dengan mudahnya, Arfan Aziz menuduh para lawyer seperti artis yang mengikrarkan diri membela sampai titik darah penghabisan. 

Kata-kata Profesionalisme digugat dan kata-kata loyalitas apa yang dipaparkan oleh Arfan Aziz sampai dibaca beberapa kali tidak dimengerti oleh penulis. 

Dengan tidak mengurangi sikap hormat terhadap sikap politik yang diambil oleh Arfan Aziz, sudah seharusnya sikap politik yang diambil oleh Arfan Aziz juga memberikan ruang untuk melihat komunitas diluar dari komunitas Arfan Aziz. 

Dan sikap saling menghormati inilah yangmenurut penulis sikap berpolitik yang kita sepakati. Sekedar mengingatkan bahwa lawyer tunduk dengan etik sebagaimana dirumuskan dalam Kode Etik Advokat Indonesia. Etik ini mengatur tentang sikap, aturan main dan berbagai etika lainnya yang mengatur kehidupan dan hubungan hukum baik sesama advokat, dengan aparatur penegak hukum lain dan dengan orang yang butuh bantuan hukum. Dan sekali lagi penulis menyatakan bahwa etik inilah yang menjadi alas kaki penulis untuk menentukan sikap. Salam hormat ini sengaja penulis sampaikan, karena di tataran kaum NGO sendiripun, belum mengatur tentang etik sebagaimana diatur dikalangan Advokat. Etik pertama yang mesti dipahami, bahwa seorang advokat tidak boleh menolak perkara dengan alasan apapun selain alasan tidak mempunyai dasar hukum. Alasan seperti warna kulit, ras, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, suku dan pandangan politik tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menolak perkara. 

 Bahkan alasan dengan tidak ada biaya-pun tidak dapat dijadikan dasar untuk menolak perkara (pro bono publico). Prinsip inilah yang menjadi dasar untuk seorang advokat bersikap (Officium Nobile). (Sinar Jambi Baru, 31 Agustus 2000) 

 Kembali kepada paparan yang ditawarkan “apakah seorang Advokat mendampingi sebuah perkara yang menjadi sorotan karena perbedaan pandangan politik” telah melanggar etik sebagaimana telah dirumuskan ? 

Justru menjadi urusan etik, apabila advokat mundur karena perbedaan pandangan politik. 


Dari ranah inilah, seharusnya Arfan Aziz berusaha memahami sikap yang harus dipegang teguh oleh seorang advokat tanpa masuk wilayah “pertarungan” politik dalam persoalan dermaga ponton. 

Baik yang pro dan kontra. Dalam konteks inilah sikap advokat yang harus dipegang teguh. 

Persoalan apakah masyarakat termasuk Arfan Aziz memahami sikap ini dimengerti atau tidak, bukanlah ranah yang menjadi sorotan penulis. 

Tapi sikap inilah yang harus diambil penulis. 

Dan dengan tidak mengurangi rasa hormat, penulis mengajak sejenak kita untuk memahami sikap etik yang harus diambil oleh advokat. Sikap yang diambil oleh para advokat tersebut merupakan sikap dasar dan integritas seorang advokat. 

Sikap dasar ini berbeda dengan sikap profesionalisme. 

Sikap profesioalisme adalah sikap yang melekat dalam diri seorang advokat pada tanggung jawab pekerjaan. 

Sikap ini secara fisik dapat dilihat bagaimana para advokat itu bersikap menghadapi orang yang butuh bantuan hukum, sikap menghargai para aparatur penegak hukum lainnya, sikap melaksanakan tugas dan memberikan pelayanan hukum (legal advise). 

Meletakkan kepentingan pekerjaan diatas pandangan politik, merahasiakan sehubungan dengan kepercayaan yang diberikan. Sikap dasar inilah yang menentukan apakah seorang advokat melaksanakan fungsinya secara profesionalisme. 

Namun yang menggelitik dan senantiasa menjadi pertanyaan bagi penulis, adanya kata-kata “loyalitas”. 

Pernyataan yang disampaikan oleh Arfan Aziz sama sekali tidak memberikan penjelasan yang dapat dijadikan barometer, apa yang mendasari pemikiran Arfan Aziz memberikan pernyataan sikap advokat yang mendampingi para tersangka juga sikap loyalitas. 

Sampai sekarang, dikalangan advokat itu sendiri, kata-kata loyalitas tidak pernah menjadi wacana dan tidak pernah menjadi titik perhatian. 

Advokat tidak mengenal kata-kata loyalitas, karena advokat adalah jabatan yang melekat pada diri sendirinya. 

Advokat tidak mempunyai anggota yang tunduk kepada kepentingan bisnis. Apabila adanya yunior partners dalam suatu associates, hubungan kerja dan hubungan hukumnya berbeda. 

Sistem penghormatan terhadap yunior partners dalam sistem kerja adalah hubungan kerja yang biasanya tunduk dalam hubungan bisnis yang saling menghormati. Sedangkan hubungan hukum dengan yunior partners setara dan saling sejajar. 

Maka praktis, dalam lingkup hubungan kerja, tidak ada klaim terhadap pemutusan hubungan kerja dengan yunior partners. 

Paparan sederhana ini sekali lagi membuktikan bahwa kata-kata “loyalitas” tidak dikenal dalam pergaulan advokat. 

Lantas bagaimana mungkin hubungan itu timbul dengan orang yang membutuhkan bantuan hukum, adanya hubungan loyalitas ?. Hubungan antara orang yang membutuhkan bantuan hukum dengan advokat adalah hubungan pekerjaan yang saling sejajar. 

Hubungan keperdataan yang tunduk dalam perjanjian sebagaimana diatur didalam perjanjian yang dibuat bersama. 

Namun penulis juga memahami bahwa posisi advokat terlibat secara emosional dalam perkara yang didampinginya. 

Posisi advokat diibaratkan dalam pertandingan sepakbola yang mengambil peran sebagai playmaker.

 Posisi playmaker adalah posisi yang menentukan “irama” pertandingan. Tugasnya adalah mengatur agar permainan dapat dikendalikan. 

Playmaker harus memberikan bola kepada pemain yang tidak dikawal lawan, menahan bola dan memberikan dukungan moril terhadap pemain yang ditekan lain, memberikan semangat ketika tim dalam tekanan dan mengatur irama permainan. 

Namun sesuai dengan sikap dasar Advokat bahwa advokat tidak identik dengan klien, maka perasaan yang bercampur aduk tersebut tidak menghilangkan sikap obyektif didalam melihat kasus walaupun dari sudut kepentingan tersangka/terdakwa. 

Pemaparan tersebut menurut penulis merupakan sikap berpolitik yang memberikan ruang untuk melihat komunitas diluar komunitasnya. 

Sikap berpolitik yang memberikan ruang untuk melihat diluar komunitasnya, juga memberikan pelajaran kepada kita untuk ‘BELAJAR POLITIK”. 

Sebagai otokritik terhadap paparan yang disampaikan telah disampaikan oleh Arfan Aziz, sudah sebaiknya paparan tentang dermaga ponton baik itu kronologis dan dalil-dalil untuk menjerat pelaku-nya yang disampaikan tersebut diberi ruang dalam proses hukum. 

Penjelasan yang cukup panjang lebar tersebut telah masuk dalam materi proses hukum. 

Dan sebagai ikrar negara hukum, proses tersebut harus tunduk kepada peraturan yang mengaturnya, baik itu KUHAP, UU Otonomi, UU Konstruksi, UU Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi dan berbagai ketentuan lainnya. 

Proses hukum itu tidaklah dapat “di-intervensi” dari pihak yang mengalami proses hukum. Artinya, proses hukum adalah ruang lingkup tugas aparatur penegak hukum dan pihak-pihak yang terlibat didalamnya termasuk pelaku. 

Sudah seharusnya, kita menghormati proses yang sedang berjalan itu.