12 Februari 2011

opini musri nauli : Pembubaran ormas ditinjau dari sudut yuridis



Beberapa waktu yang lalu, Indonesia mengalami peristiwa pahit. Kerusuhan dan pembantaian jemaah Ahmadiyah dan kerusuhan pasca persidangan di PN. Tumenggung. 

Rakyat kemudian marah terhadap perbuatan yang nyata-nyata terbukti meninggalnya 3 orang. 


Dari balik jubah pakaian kebesaran massa yang mengamuk, terselip pertanyaan, begitu pentingkah sebuah keyakinan hingga harus membunuh dan terlibat perseteruan yang panjang. 

Begitu pentingkah mempertahankan keyakinan sehingga nyawa menjadi taruhan. Komnas HAM telah menurunkan tim untuk melakukan investigasi dan melaporkan hasilnya. 

Dalam laporan Komnas HAM, nyata-nyata terbukti, bahwa pembantaian jemaah Ahmadiyah telah dilakukan secara terorganisir, dimobilisasi, dan adanya skenario “pembiaran” oleh negara termasuk aparat keamanan. 

Terlepas dari upaya pihak Kepolisian yang akan membongkar kasus ini dari ranah hukum, skenario “pembiaran” merupakan persoalan serius yang dibebankan kepada negara. 

Skenario “pembiaran” merupakan bentuk kesengajaan negara didalam melepaskan tanggung jawab negara dalam upaya melindungi HAM. 

Dari tataran ini, maka skenario “pembiaran” tidak boleh dianggap enteng. Negara dapat diadili dimuka persidangan dan bertanggungjawab untuk menerima kesalahan tersebut. 

Namun, bukan berusaha untuk menyelesaikan secara komprehensif. 

Negara malah sibuk mencari kambing hitam dan menutup-nutupi peristiwa tersebut. Entah benar atau salah, adanya ormas yang terlibat, Pemerintah mewacanakan pembubaran ormas-ormas yang terbukti anarkhis. 

Dari sudut pandang inilah, menarik untuk melihat kajian pembubaran ormas dilihat dari sudut pandang yuridis. 

KONSTITUSI DAN NEGARA HUKUM 

Membicarakan ormas dapat dilihat didalam UU No. 8 Tahun 1985. 

Sebagai produk UU orde baru, UU No. 8 Tahun 1985 merupakan paket UU Politik yang di alam reformasi belum digantikan. 

Bandingkan dengan UU Paket lainnya, misalnya UU tentang Partai Politik, UU Pemilu, UU Pemilihan Anggota DPR-DPD-DPRD yang telah mengalami perubahan dan sesuai dengna dinamika demokrasi dan reformasi. 

Konstitusi sudah menetapkan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. 

Begitu pentingnya amanat konstitusi, maka terhadap pembubaran ormas harus melalui mekanisme hukum (recht staat). 

Penjelasan Pasal 15 UU Ormas menyatakan ‘Pembekuan dan pembubaran dapat dilakukan setelah mendengar keterangan dari pengurus atau pengurus pusat organisasi kemasyarakatan yang bersangkutan dan setelah memperoleh pertimbangan dalam segi hukum dari Mahkamah Agung untuk tingkat nasional......’ 

Dengan demikian, wacana pembubaran ormas yang terlibat anarkis merupakan cara-cara lama yang masih terikat pada sistem otoriter, bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi. 

Namun membiarkan anarkis yang melakukan kekerasan dengna dalih apapun bertentangan konstitusi, demokrasi dan berbagai pranata demokrasi. 

Pelaku kekerasan harus disidangkan dimuka persidangan dan diproses secara hukum. 

 Pembiaran terhadap pelaku kekerasan dengan dalih apapun merupakan “pembiaran” yang serius dan berdampak terhadap proses demokrasi didepan. 

Dan negara telah gagal menjalankan fungsi melindung warganya. 

Maka, wacana pembubaran ormas selain bertentangan konstitusi, demokrasi dan reformasi, adalah upaya sistematis negara untuk mengalihkan tanggung jawab dan beban di pundaknya. 

Cara-cara ini selain tidak mendidik juga bukti negara tidak mau disalahkan dari peristiwa pelanggaran HAM. 

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 14 Februari 2011 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/18486-pembubaran-ormas-ditinjau-dari-sudut-yuridis.html