12 Februari 2011

opini musri nauli : DEEPONERING DAN KERUMITAN HUKUM




Akhir-akhir ini perseteruan KPK vs DPR memasuki babak baru. Tidak diterimanya Wakil Pimpinan KPK Bibit-Chandra oleh Komisi III dan Panwas Bank Century menimbulkan persoalan hukum. 

Tuduhan Anggota Komisi III bahwa mereka tidak menerima Pimpinan KPK yang masih berstatus tersangka menjadi alasan utama. Terlepas dari alasan karena “kekesalan” mereka setelah KPK melakukan penahanan 26 anggota DPR dalam kasus “travel ceque” dalam aroma pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. 

 Memasuki hiruk pikuk “penolakan” anggota Komisi III DPR dan Panwas Bank Century sama sekali terlibat dalam persoalan politik yang berdimensi kepentingan pragmatis partai. 

Namun tuduhan Pimpinan KPK yang masih status tersangka merupakan persoalan serius di ranah hukum. Tuduhan itu harus diberi ruang apresiasi untuk membahasnya. Pertanyaan yang penting disampaikan, 

Apakah ketika kasus Bibit Chandra yang dikesampingkan demi kepentingan umum (depoonering), maka status terhadapnya juga dikesampingkan. 

 Sebelum penulis menjawab pertanyaan kritis itu, maka ada ada baiknya kita sejenak melihat perjalanan kasus. 

Dengan melihat perjalanan kasusnya, maka kita bisa menentukan status terhadap Bibit Chandra dan sekaligus menjawab pertanyaan yang disampaikan. 

 Dalam tulisan di Jambi Ekspress 7 Juni 2010 “ANGGODO MENANG”, telah diterangkan, Anggodo adalah salah satu tokoh yang mendadak paling populer seantero jagad hukum Indonesia. 

Posisinya yang begitu dominan didalam mengatur skenario “rekayasa” pimpinan KPK terlihat nyata ketika “rekaman” Anggodo dengan berbagai aparat penegak hukum yang mempunyai posisi penting “diputar” di MK. 

Rekaman ini sampai sekarang tidak dapat dibantah sekalipun proses untuk membuktikannya “terbentur” dengan tembok. 

Hampir praktis, nama-nama yang disebut didalam rekamana sama sekali tidak diproses secara hukum dan tenggelam dalam rimba belantara hukum Indonesia. “Skenario rekayasa” kriminalisasi oleh Anggodo dengna berbagai aparat hukum itu yang kemudian dibaca publik ketika Mabes Polri menetapkan Bibit Chandra sebagai tersangka dalam “dugaan” main mata dengan Anggoro didalam mencabut cekal terhadap Anggoro (kakak Anggodo) dan berbagai kebijakan KPK yang kemudian dituduh oleh Mabes Polri sebagai upaya “menerima suap” dari Anggoro. 

Upaya membongkar “dugaan suap” sejalan dengan upaya “kriminalisasi” terhadap KPK. Presiden kemudian membentuk TIM 8 sebagai respon dukungan publik, terhadap Tim Investigasi terhadap kasus Bibit Chandra. 

Dari rekomendasi Tim 8 kemudian mengeluarkan rekomendasi SP3, SKPP dan Deponeer yang pada intinya agar penegak hukum menghentikan kasus Bibit Chandra. 

 Tarik menarik apakah Kepolisian akan menghentikan kasus ini dengan SP3 dengan “ngototnya” Kejaksaan Agung yang tetap menyatakan bahwa kasus ini memenuhi unsur namun dapat dikesampingkan dengan SKPP kemudian membuat kasus ini kemudian dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi untuk disidangkan (P21). 

Dari peristiwa ini ternyata kemudian Presiden “membiarkan” aparatur penegak hukum yang terus menggulirkan kasus ini hingga di Kejaksaaan. Walaupun Kejaksaan mengeluarkan SKPP, namun mengeluarkan SKPP dengan alasan sosiologis merupakan ranah yang tidak dapat dibenarkan secara hukum. 

Alasan sosiologis inilah yang kemudian salah satu kelemahan yang mendasar yang kemudian digugat melalui mekanisme “praperadilan”. 

Putusan “praperadilan” kemudian dikuatkan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan bahwa SKPP tidak dapat dibenarkan secara hukum. 

 Dengan mengikuti alur perjalanan kasus, maka dengan telah diterimanya berkas oleh Jaksa Penuntut Umum, maka terhadap materi perkara telah memenuhi unsur pasal yang dituduhkan sebagaimana diatur didalam KUHAP. 

Dengna demikian, maka terhadap materi perkara sudah dapat disidangkan sebagaimana perintah Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya. 

 Namun Kejaksaan Agung demi kepentingan umum dan berdasarkan kewenangan Jaksa Agung sebagaimana diatur didalam UU No. 16 Tahun 2004. Dengan mempertimbangkan “demi kepentingan umum”, maka Kejaksaan Agung melakukan depoonering. 

 Dengan memperhatikan telah terpenuhi unsur yang pasal yang dituduhkan, namun tidak bisa disidangkan dengan pertimbangan “demi kepentingan umum”, maka terhadap status tidak dapat dihapuskan oleh hukum. 

Dengan demikian, maka terhadap status tersangka masih melekat kepada Bibit Chandra. Status ini tidak dapat dihilangkan walaupun deeponering telah dilakukan oleh Kejaksaan Agung. 

 Namun bacaan publik, “penolakan” komisi III DPR dilakukan setelah penahanan anggota DPR, berdimensi politik dan hukum. 

Sehingga tidak salah, apabila cara-cara “penolakan” komisi III DPR lebih bernuansa “balas dendam” daripada menyelesaikan persoalan hukum. Dari titik inilah, keruwetan hukum semakin rumit. 

 Dimuat di Posmetro, 14 Februari 2011 http://www.metrojambi.com/opini/4579-deeponering-dan-kerumitan-hukum.html