Dicky Chandra yang menjadi Wakil Bupati
Garut 2008 2013 mengundurkan diri. Demikian berita rannning text sebuah
televisi swasta nasional. Berita ini kemudian mejadi pembicaraan nasional dan
dikupas dari politik, ketatanegaraan, hukum dan administrasi negara.Pembicaraan
ini
Dari ranah etika, menjadi perdebatan
panjang, apakah pantas seorang Wakil Bupati mengundurkan diri disaat menjabat.
Apakah tidak menimbulkan persoalan, karena amanah rakyat tidak ditunaikan
hingga selesai.
Dalam periodisasi pejabat, hampir praktis
tidak pernah terdengar pemberitaan yang mengabarkan seorang pejabat (baik
Kepala Daerah maupun Wakil Kepala Daerah) mengundurkan diri. Yang paling sering
terjadi, tidak selesainya periodisasi disebabkan adanya tawaran jabatan lain.
Seorang kepala daerah menjadi Menteri, seorang anggota parlemen menjadi kepala
Daerah. Begitu seterusnya. Atau paling banter disebabkan menjalani proses hukum
dengan berbagai tuduhan. Tapi yang paling banyak adalah tuduhan tindak pidana
korupsi.
Lantas apa sebenarnya yang terjadi dengan
pemberitaan Dicky Chandra ? apakah karena wewenang sebagai wakil Kepala Daerah
yang tidak maksimal sehingga seorang Dicky Chandra menganggap tidak bisa
berbuat banyak. Atau memang seorang Wakil Bupati - yang paling sering
dikeluhkan - tidak mempunyai fuingsi apa-apa. Bertugas membuka dan menggunting
pita sebuah acara. Atau yang paling menyedihkan, hanya bertugas memegang dua
remote. Satu remote AC dan satu remote TV.
Teringat dengan Hatta. Pengunduran yang
selalu dicatat sejarah, disaat pengunduran M. Hatta sebagai wakil Presiden
tahun 1959. Pengunduran diri M. Hatta dikaitkan dengan sikap Soekarno yang
mulai condong ke arah kiri. Ke arah komunisme terutama PKI. PKI yang mulai
menyusun kekuatan sebagai partai yang cukup cepat bangkit setelah dipukul tahun
1948 pasca pemberontakan di Madiun. Pemberontakan Madiun 1948 selalu menjadi
perhatian M. Hatta karena pada saat itu, PKI melakukan pemberontakan, M. Hatta
sebagai Perdana Menteri. Ibarat bak pepatah, menikam dari belakang. Disaat
konsentrasi bangsa Indonesia menghadapi agresi Belanda II, PKI melancarkan
pemberontakan. Pemberontakan memang
berhasil dipadamkan, namun dalam hitungan yang sangat cepat, PKI berhasil menjadi pemenang III Pemilu 1955.
sehingga cepatnya bangkit PKI, selain membuat kagum pusat-pusat komunisme
seperti RRC dan Uni Sovyet, juga membuat Soekarno mengarahkan dukungannya
politik dan condong ke kiri.
M. Hatta yang melihat arah Soekarno
condong ke kiri, sudah berkali-kali mengingatkan akan ancaman laten PKI
melakukan kudeta. Baik berkaca tahun 1928 dan tahun 1948, maupun arah politik
Indonesia yang berambisi membangun poros yang kemudian dikenal Poros
Jakarta-Peking Pyongyang. Namun Soekarno sama sekali mengabaikan. Sikap
Soekarno yang membuat M. Hatta mengundurkan diri tahun 1959.
Tentu saja pengunduran diri M. Hatta tidak
dapat dilepaskan dari rumor politik, intrik politik terhadap pengunduran diri
M. Hatta. Sebagian rumor politik mengatakan, sikap pengunduran diri M. Hatta
disebabkan karena sikap Soekarno kawin dengan Ratna Sari Dewi. Perkawinan Ratna
Sari Dewi menyebabkan Ibu Negara meninggalkan istana. Sikap inilah yang
kemudian ditentang oleh M. Hatta yang melihat Soekarno lebih sibuk mengurusi perempuan
daripada mengurusi negara.
Sikap mengundurkan diri dari M. Hatta
kemudian dicatat tinta emas dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Sejarah
kemudian mengajarkan bagaimana seorang pejabat tetap mengagung-agungkan nilai
kejujuran, keteladanan, sikap rela berkorban, negarawan, mengajarkan dan
mengutakaman kepentingan negara diatas kepentingan lain. Sikap M. Hatta juga
mengajarkan bagaimana mengelola negara juga didasarkan kejujuran, ketulusan dan
rela berkorban. Satu kata dengan satu perbuatan. Keteladan dari M. Hatta
kemudian membuat pengunduran M. Hatta menjadi pembicaraan politik dan tetap
saja peristiwa itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan bangsa
(foootnote history).
Pengunduran diri M. Hatta juga harus
dilihat bagaimana M. Hatta mempunyai prinsip dan etika yang tidak mau melihat
bagaimana Pemerintahan dikelola bertentangan dengan demokrasi (baca pemenjaraan
terhadap aktivis yang pro perubahan). Prinsip dan etika yang ditegakkan oleh M.
Hatta mengajarkan kita bagaiman seorang M. Hatta kukuh dan berpendirian tegas
menegakkan etika dan prinsip demokrasi didalam mengelola negara.
Tentu saja pengunduran diri Menteri
Soeharto tidak bisa dijadikan catatan penting sikap kenegarawan. Sikap
pengunduran diri para Menteri Soeharto lebih banyak dimaknai sebagai sikap
aventutir dari Menteri dan melihat Soeharto tidak mungkin dipertahankan lagi.
Sikap 14 Menteri menjelang kejatuhan Soeharto harus dilihat sebagai sikap lari
dari tanggung jawab dari Pemerintahan para menteri Soeharto.
Berangkat dari keteladanan oleh M. Hatta,
maka harus dilihat dari pengunduran diri Dicky Chandra. Amanah menjalankan
tugasnya sebagai Kepala Daerah dan sudah berjanji kepada rakyat untuk
menyelesaikannya (diucapkan pada waktu pelantikan).
Dalam dialog di salah satu TV swasta
nasional, kesan yang ditimbulkan, pengunduran diri Dicky Chandra lebih
disebabkan, berbagai keputusan yang diambil Bupati Garut sama sekali tidak
pernah melibatkan Dicky Chandra. Banyak keputusan yang diambil oleh Bupati
Garut lebih disebabkan karena Bupati mengambil keputusan yang bertentangan
dengan kepentingan rakyat. Peran Dicky Chandra tidak dilibatkan dalam keputusan
yang berdampak kepada rakyat. Dari ranah ini, maka pengunduran diri Dicky
Chandra harus lebih disebabkan Dicky Chandra memegang prinsip yang ditularkan
oleh M. Hatta.
Namun Apabila kita tidak menemukan prinsip
yang telah disampaikan oleh M. Hatta, maka pengunduran diri Dicky Chandra hanya
peristiwa biasa dimana sikap ini hanya didasarkan sikap merajuk dan ingin
mendapatkan bagian sebagai kepala Daerah. Atau sikap merajuk karena hanya
disuruh membuka acara dan menggunting pita. Atau sikap merajuk karena hanya
memegang dua remote. Remote AC dan remote
TV.
Dari dua analisis, maka akan menimbulkan
persoalan etika. Apakah pantas, karena Dicky Chandra tidak dilibatkan dalam
berbagai keputusan penting dalam pemerintahan yang berdampak kepada rakyat
membuat Dicky Chandra mengundurkan diri. Atau memang ada prinsip yang dilanggar
oleh Bupati Garut sehingga Dicky Chandra mengundurkan diri.
Persoalan etika memang menjadi persoalan
serius didalam mengurusi dan menata pemerintahan. Seorang Kepala Daerah
dituntut memegang etika yang menjadi teladan memberikan edukasi kepada rakyat.
Keteladanan, sikap tegas, prinsip dan sikap tulus membuat apakah sikap etika
yang disampaikan oleh Dicky Chandra menjadi pelajaran penting edukasi kepada
rakyat.
Berangkat dari pemahaman etika yang
disodorkan oleh Dicky Chandra dan keteladanan dari M. Hatta, maka masyarakat
akan memilah dan memilih dan memberikan penilaian apakah perisstiwa pengunduran
Dicky Chandra dapat diterangkan dengan etika dan kepantasan. Publik berhak
mengetahui dan memberikan penilaian terhadap etika dan kepantasan yang
diberikan oleh Dicky Chandra.
Pengunduran diri pejabat negara lebih banyak
disuarakan oleh rakyat Indonesia tapi lebih banyak diterapkan di negara Jepang.
Hampir praktis, seorang Menteri di Jepang bertanggungjawab terhadap sebuah
insiden nasional yang menjadi tanggung jawab menteri yang bersangkutan. Seorang
Menteri Perhubungan atau menteri Transportasi akan mengundurkan diri apabila
terjadinya kecelakan di negara Jepang. Menteri Perhubungan atau Menteri Transportasi
akan mengundurkan diri apabila terjadinya kecelakaan yang menimbulkan korban
yang banyak yang menjadi insiden nasional.
Prof. Satjopto Raharjo pernah mengulas
secara panjang lebar. Apabila terjadi kecelakaan pesawat terbang yang memakan
korban seluruh penumpangnya, maka Menteri Perhubungan atau Menteri Transportasi
akan menghubungi seluruh keluarga korban. Kemudian menenangkannya dan
menyatakan bertanggungjawab. Negara akan menanggung seluruh biaya penggantian
kerugian, mengurusi asuransi dan mengurusi segala keperluan untuk berbagai hal.
Termasuk biaya pemakanan dan biaya hidup anak-anak dan istri ditinggalkan.
Setelah semuanya selesai, Menteri Perhubungan atau menteri Transportasi
menyatakan bertanggungjawab dan menyatakan sebagai kesalahannya. Kemudian
mengundurkan diri.
Keteladanan ini kemudian menjadi etika
yang sering diteriakkan di Jepang dan menjadi harga diri pejabat tersebut.
Sebagai etika dan harga diri, pejabat tersebut setelah mengundurkan diri
kemudian melakukan bunuh diri (harakiri) sebagai tanggungjawab dan sikap
teladan dari tanggung jawab.
Bandingkan di Indonesia. Hampir saban
terjadinya kecelakaan. Baik pesawat terbang, kereta api, kapal, lalai di Jalan
tol hingga terjadi kecelakaan massal yang menjadi insiden nasional. Namun
hampir praktis, kita tidak pernah menemukan Menteri Perhubungan mengundurkan
diri. Paling banter, Menteri menyatakan akan menyelidiki. Kemudian paling
banter, masinis kereta api disalahkan. Atau penjaga pintu rel yang disalahkan.
Tinggai waktu yang membuktikannya. Apakah
Dicky Chandra dikenang sebagai Pahlawan atau sekedar pecundang.