25 Desember 2011

opini musri nauli : CATATAN HUKUM 2011


Tahun 2011 merupakan tahun berat pemenuhan dan Penegakan HAM di Jambi. Terlepas dari wacana nasional terhadap berbagai pelanggaran HAM, di Jambi sendiri, merupakan tahun yang paling berat terhadap pemenuhan dan penegakan HAM. Terjadinya berbagai pelanggaran HAM di Jambi mengindikasikan, persoalan HAM masih memerlukan proses dan waktu yang panjang.
Tahun 2011 dimulainya dengan peristiwa Tertembaknya masyarakat Karang Mendapo (Sarolangun). Tertembaknya masyarakat Karang Mendapo menambah catatan hitam dalam persoalan pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit. Jumlah korban di tengah masyarakat semakin menambah angka-angka statistik korban yang terjadi. Sementara di Nasional, masih digunakan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan diselesaikan dengan anarkhis oleh berbagai organisasi yang mengklaim sebagai organisasi keagamaan. Masih ingat dalam benak ketika, ketika persoalan rohani dan ibadah kemudian dibenturkan dengan organisasi keagamaan yang menyelesaikan cara-cara yang bertentangna dengan demokrasi. Kekerasan ini terus menerus terjadi terhadap aktivis HMI (baik aksi di didepan Rumah Dinas Walikota Jambi maupun di Depan Mapolda Jambi). Kekerasan ini juga terjadi dengan dilakukan pembakaran rumah di Sungai Beruang, Tanjung Lebar, Muara Jambi di areal konfik antara SAD dengan PT. Asiatik awal ramadhan tahun 2011.

Di Jambi sendiri, issu ini semakin tenggelam dengan berbagai hiruk pikuk agenda politik pemberantasan korupsi. Propinsi Jambi yang kemudian menerapkan Pengadilan Tipikor dengan mengabulkan eksepsi dari terdakwa Arfandi (Mantan Sekda Kabupaten Merangin) kemudian menyidangkan Muchtar Muis (Mantan Wakil Bupati Muara Jambi). Issu ini lebih menarik perhatian publik dibandingkan dengan issu kegagalan pemerintah didalam Pengelola sumber daya alam.

AGENDA PEMBERANTASAN KORUPSI

          Wacana pemberantasan korupsi menemukan momentum dengan disidangkan Muchtar Muis (mantan Wakil Bupati Muara Jambi) dalam proyek PLTD Sungai Bahar di Pengadilan Tipikor Jambi.  Masih segar dalam ingatan kita, berlarut-larutnya pemeriksaan terhadap “petinggi” dalam kasus PLTD Sungai Bahar di Muara Jambi. Berlarut-larutnya pemeriksaan dengan “alasan pemeriksaan memerlukan izin dari Presiden” merupakan wacana yang menjadi perdebatan panjang baik sebelum perkara ini digelar hingga putusan Kasasi turun. Lembaga penegak hokum “terjebak” dalam aturan normative pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004. Padahal aturan itu juga harus diterjemahkan dan ditafsirkan “memerlukan izin dari Presiden”, tapi juga mengatur “pengajuan permohonan izin yang memerlukan waktu hingga 60 hari” (lihat pasal 36 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004).

Sehingga tidak salah apabila dalam peristiwa ini dapat dikatakan terjadinya “diskriminasi” perkara yang mengabaikan fakta-fakta yang berkaitan dengan peran pelaku tindak pidana.

Padahal sebelumnya Pengadilan Negeri Bangko telah mengabulkan eksepsi yang disampaikan oleh Arfandi (mantan Sekda Kabupaten Merangin). Terlepas dari materi yang disampaikan oleh Pengacara Arfandi yang kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Bangko terhadap penerapan pasal apakah menerapkan pasal 147 KUHAP ataupun 156 KUHAP, dikabulkannya eksepsi dari pengacara Arfandi menimbulkan problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi di Jambi. Problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi disatu sisi justru mengabaikan prinsip KUHAP, peradilan yang murah, cepat, menimbulkan konsekwensi anggaran yang tidak diperhitungkan oleh para perumus UU tindak pidana korupsi.

Terlepas dari wacana polemik putusan pengadilan Tipikor yang kemudian membebaskan para pelaku korupsi, praktek pengadilan Tipikor menimbulkan Problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi disatu sisi justru mengabaikan prinsip KUHAP, peradilan yang murah, cepat, menimbulkan konsekwensi anggaran yang tidak diperhitungkan oleh para perumus UU tindak pidana korupsi.

Namun yang tidak boleh dilupakan, bukan berarti tidak mendukung terhadap pemberantasan korupsi, para terdakwa yang dihadirkan dimuka persidangan, setelah tidak menjabat sebagai pejabat negara. Keraguan publik terhadap pemberantasan korupsi patut dipertanyakan disaat bersamaan, Pengadilan Tipikor diharapkan menyidangkan pelaku korupsi aktif malah terjebak dengan paradigma menyidangkan pelaku yang tidak mempunyai akses lagi terhadap kekuasaan.

Sehingga dapat dimengerti, para pelaku korupsi yang kemudian disidangkan di pengadilan merupakan pelaku lapangan (pemain pinggiran ) yang tidak mempunyai lagi akses politik, pengaruh kekuasaan.

KONFLIK SUMBER DAYA ALAM

Tahun 2011 merupakan periode yang berat dalam memperjuangkan kepentingan sumber daya alam. Berbagai konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam hampir praktis tidak menjadi agenda utama pembenahan hukum dan penegakan HAM.  Kegagalan pemerintah sebagai arus utama negara yang berfungsi menegakkan HAM dan melindungi menyebabkan berbagai konflik sumber daya alam masih menyisakan konfik laten yang terus menerus terjadi. Konfik sumber daya alam kemudian menyebabkan berbagai konfik di berbagai daerah. Hampir praktis, setiap Kabupaten/kota tidak pernah lepas dari konflik sumber daya alam. Konfik ini kemudian menyebabkan berbagai arsitektur yang menyebabkan terjadinya anarkhis massa.

Arsitektur pertama adalah pembakaran perusahaan oleh masyarakat. 

Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu. 

Penulis sengaja memberikan definisi ini, karena ada kecendrungan secara sistematis untuk mengalihkan issu dari semula persoalan tanah menjadi persoalan kriminal. 

Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. 

Cara-cara menggunakan hukum kepada para pejuang dan masyarakat lebih sering digunakan sehingga konsentrasi masyarakat untuk memperjuangkan tanahnya kemudian berkonsentrasi kepada persoalan persidangan dan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan hukum. 

Arsitektur selanjutnya menggunakan cara-cara kekerasan didalam menyelesaikan persoalan masyarakat. 

Cara-cara kekerasan cenderung digunakan sebagai langkah pragmatis terhadap pergumulan persoalan yang begitu akut. Penembakan, pemukulan, penangkapan, pembakaran merupakan cara yang digunakan selain untuk mempercepat penguasaan areal perkebunan milik perusahaan, cara ini juga digunkan bertujuan untuk menakut-nakuti penduduk. 

Cara ini cenderung effektif dalam jangka pendek namun menimbulkan problematika dan bom waktu dalam jangka panjang.

Belum lagi terjadinya pembakaran asap di berbagai daerah yang tidak berhasil memaksa aparat penegak hukum untuk menyeret para pelaku ke muka persidangan.

Tahun 2011 ditutup dengan issu yang paling hangat. Terjadi pembantaian di Mesuji dan Sorong. Peristiwa ini merupakan muara dari berbagai konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam di tahun 2011. Peristiwa merupakan puncak dari gunung es yang meletup di berbagai daerah.

Tahun 2011 memberikan pelajaran pahit kepada kita semua. Para pelaku korupsi aktif yang masih lenggangkangkung dan berkeliaran berhadapan dengan pelaku korupsi yang tidak mempunyai akses politik, pengaruh kekuasaan yang kemudian disidangkan dimuka pengadilan. Sementara konflik sumber daya alam masih wacana didalam pemikiran aparat penegak hukum dan jauh dari kesan untuk menyelesaikan. Bahkan praktis masih digunakan cara-cara kekerasan didalam menyelesaikan konflik sumber daya alam.

Namun tahun 2012 merupakan tahun harapan. Momentum persiapan Pemilu memaksa agar berbagai konfik sumber daya alam menjadi prioritas dan agenda untuk menyelesaikan. Peristiwa Mesuji dan Sorong menjadi sorotan publik yang akan mewarnai berbagai media massa hingga awal tahun 2012.

Baca : Catatan Hukum 2010

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 26 Desember 2011 

http://www.jambiekspres.co.id/utama/21557-catatan-hukum-2011.html