Tahun 2011 merupakan tahun berat pemenuhan
dan Penegakan HAM di Jambi. Terlepas dari wacana nasional terhadap berbagai
pelanggaran HAM, di Jambi sendiri, merupakan tahun yang paling berat terhadap
pemenuhan dan penegakan HAM. Terjadinya berbagai pelanggaran HAM di Jambi
mengindikasikan, persoalan HAM masih memerlukan proses dan waktu yang panjang.
Tahun 2011 dimulainya
dengan peristiwa Tertembaknya masyarakat Karang Mendapo (Sarolangun).
Tertembaknya masyarakat Karang Mendapo menambah catatan hitam dalam persoalan
pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit. Jumlah korban di tengah masyarakat semakin
menambah angka-angka statistik korban yang terjadi. Sementara di Nasional,
masih digunakan cara-cara kekerasan untuk menyelesaikan berbagai perbedaan
pandangan diselesaikan dengan anarkhis oleh berbagai organisasi yang mengklaim
sebagai organisasi keagamaan. Masih ingat dalam benak ketika, ketika persoalan
rohani dan ibadah kemudian dibenturkan dengan organisasi keagamaan yang
menyelesaikan cara-cara yang bertentangna dengan demokrasi. Kekerasan ini terus
menerus terjadi terhadap aktivis HMI (baik
aksi di didepan Rumah Dinas Walikota Jambi maupun di Depan Mapolda Jambi).
Kekerasan ini juga terjadi dengan dilakukan pembakaran rumah di Sungai Beruang,
Tanjung Lebar, Muara Jambi di areal konfik antara SAD dengan PT. Asiatik awal
ramadhan tahun 2011.
Di Jambi sendiri, issu
ini semakin tenggelam dengan berbagai hiruk pikuk agenda politik pemberantasan
korupsi. Propinsi Jambi yang kemudian menerapkan Pengadilan Tipikor dengan
mengabulkan eksepsi dari terdakwa Arfandi (Mantan Sekda Kabupaten Merangin)
kemudian menyidangkan Muchtar Muis (Mantan Wakil Bupati Muara Jambi). Issu ini
lebih menarik perhatian publik dibandingkan dengan issu kegagalan pemerintah
didalam Pengelola sumber daya alam.
AGENDA PEMBERANTASAN KORUPSI
Wacana
pemberantasan korupsi menemukan momentum dengan disidangkan Muchtar Muis
(mantan Wakil Bupati Muara Jambi) dalam proyek PLTD Sungai Bahar di Pengadilan
Tipikor Jambi. Masih segar dalam ingatan
kita, berlarut-larutnya pemeriksaan terhadap “petinggi” dalam kasus PLTD Sungai Bahar di Muara Jambi.
Berlarut-larutnya pemeriksaan dengan “alasan
pemeriksaan memerlukan izin dari Presiden” merupakan wacana yang menjadi
perdebatan panjang baik sebelum perkara ini digelar hingga putusan Kasasi
turun. Lembaga penegak hokum “terjebak”
dalam aturan normative pasal 36 UU No. 32 Tahun 2004. Padahal aturan itu juga
harus diterjemahkan dan ditafsirkan “memerlukan
izin dari Presiden”, tapi juga mengatur “pengajuan permohonan izin yang memerlukan waktu hingga 60 hari” (lihat
pasal 36 ayat 2 UU No. 32 Tahun 2004).
Sehingga tidak salah
apabila dalam peristiwa ini dapat dikatakan terjadinya “diskriminasi” perkara
yang mengabaikan fakta-fakta yang berkaitan dengan peran pelaku tindak pidana.
Padahal sebelumnya
Pengadilan Negeri Bangko telah mengabulkan eksepsi yang disampaikan oleh
Arfandi (mantan Sekda Kabupaten Merangin). Terlepas dari materi yang
disampaikan oleh Pengacara Arfandi yang kemudian dikabulkan oleh Pengadilan
Negeri Bangko terhadap penerapan pasal apakah menerapkan pasal 147 KUHAP
ataupun 156 KUHAP, dikabulkannya eksepsi dari pengacara Arfandi menimbulkan
problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi di Jambi.
Problematika praktek peradilan dalam tindak pidana korupsi disatu sisi justru
mengabaikan prinsip KUHAP, peradilan yang murah, cepat, menimbulkan konsekwensi
anggaran yang tidak diperhitungkan oleh para perumus UU tindak pidana korupsi.
Terlepas dari wacana
polemik putusan pengadilan Tipikor yang kemudian membebaskan para pelaku
korupsi, praktek pengadilan Tipikor menimbulkan Problematika praktek peradilan
dalam tindak pidana korupsi disatu sisi justru mengabaikan prinsip KUHAP,
peradilan yang murah, cepat, menimbulkan konsekwensi anggaran yang tidak
diperhitungkan oleh para perumus UU tindak pidana korupsi.
Namun yang tidak boleh
dilupakan, bukan berarti tidak mendukung terhadap pemberantasan korupsi, para
terdakwa yang dihadirkan dimuka persidangan, setelah tidak menjabat sebagai
pejabat negara. Keraguan publik terhadap pemberantasan korupsi patut
dipertanyakan disaat bersamaan, Pengadilan Tipikor diharapkan menyidangkan
pelaku korupsi aktif malah terjebak dengan paradigma menyidangkan pelaku yang
tidak mempunyai akses lagi terhadap kekuasaan.
Sehingga dapat
dimengerti, para pelaku korupsi yang kemudian disidangkan di pengadilan
merupakan pelaku lapangan (pemain pinggiran ) yang tidak mempunyai lagi akses
politik, pengaruh kekuasaan.
KONFLIK SUMBER DAYA ALAM
Tahun 2011 merupakan
periode yang berat dalam memperjuangkan kepentingan sumber daya alam. Berbagai
konflik yang berkaitan dengan sumber daya alam hampir praktis tidak menjadi
agenda utama pembenahan hukum dan penegakan HAM. Kegagalan pemerintah sebagai arus utama negara
yang berfungsi menegakkan HAM dan melindungi menyebabkan berbagai konflik
sumber daya alam masih menyisakan konfik laten yang terus menerus terjadi.
Konfik sumber daya alam kemudian menyebabkan berbagai konfik di berbagai
daerah. Hampir praktis, setiap Kabupaten/kota tidak pernah lepas dari konflik
sumber daya alam. Konfik ini kemudian menyebabkan berbagai arsitektur yang
menyebabkan terjadinya anarkhis massa.
Arsitektur pertama
adalah pembakaran perusahaan oleh masyarakat.
Arsitektur yang kedua adalah
pengalihan issu.
Penulis sengaja memberikan definisi ini, karena ada
kecendrungan secara sistematis untuk mengalihkan issu dari semula persoalan
tanah menjadi persoalan kriminal.
Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi
terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya.
Cara-cara menggunakan hukum
kepada para pejuang dan masyarakat lebih sering digunakan sehingga konsentrasi
masyarakat untuk memperjuangkan tanahnya kemudian berkonsentrasi kepada
persoalan persidangan dan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan hukum.
Arsitektur
selanjutnya menggunakan cara-cara kekerasan didalam menyelesaikan persoalan
masyarakat.
Cara-cara kekerasan cenderung digunakan sebagai langkah pragmatis terhadap
pergumulan persoalan yang begitu akut. Penembakan, pemukulan, penangkapan,
pembakaran merupakan cara yang digunakan selain untuk mempercepat penguasaan
areal perkebunan milik perusahaan, cara ini juga digunkan bertujuan untuk
menakut-nakuti penduduk.
Cara ini cenderung effektif dalam jangka pendek namun
menimbulkan problematika dan bom waktu dalam jangka panjang.
Belum lagi terjadinya
pembakaran asap di berbagai daerah yang tidak berhasil memaksa aparat penegak
hukum untuk menyeret para pelaku ke muka persidangan.
Tahun 2011 ditutup
dengan issu yang paling hangat. Terjadi pembantaian di Mesuji dan Sorong.
Peristiwa ini merupakan muara dari berbagai konflik yang berkaitan dengan
sumber daya alam di tahun 2011. Peristiwa merupakan puncak dari gunung es yang
meletup di berbagai daerah.
Tahun 2011 memberikan
pelajaran pahit kepada kita semua. Para pelaku korupsi aktif yang masih
lenggangkangkung dan berkeliaran berhadapan dengan pelaku korupsi yang tidak
mempunyai akses politik, pengaruh kekuasaan yang kemudian disidangkan dimuka
pengadilan. Sementara konflik sumber daya alam masih wacana didalam pemikiran
aparat penegak hukum dan jauh dari kesan untuk menyelesaikan. Bahkan praktis
masih digunakan cara-cara kekerasan didalam menyelesaikan konflik sumber daya
alam.
Namun tahun 2012
merupakan tahun harapan. Momentum persiapan Pemilu memaksa agar berbagai konfik
sumber daya alam menjadi prioritas dan agenda untuk menyelesaikan. Peristiwa
Mesuji dan Sorong menjadi sorotan publik yang akan mewarnai berbagai media
massa hingga awal tahun 2012.
Baca : Catatan Hukum 2010
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 26 Desember 2011
http://www.jambiekspres.co.id/utama/21557-catatan-hukum-2011.html
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 26 Desember 2011
http://www.jambiekspres.co.id/utama/21557-catatan-hukum-2011.html