05 Februari 2012

opini musri nauli : Quo vadis negara hukum



Menurut konstitusi, Indonesia telah memposisikan dirinya sebagai negara hukum (rechtstaat), tidak bersifat absolutisme/kekuasaan yang tidak terbatas (machtsstaat). Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut . Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar Seno Adji dalam ”Indonesia Negara Hukum” menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas hukum terletak pada dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif; dan (2) teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya . 


Dalam berbagai tafsiran “Negara hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada seorang penguasa absolut”.

Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Sebagai pernyataan politik dan ikrar komitmen pendiri republik (Founding Father) pernyataan tersebut tidak usah diragukan. Bahkan didalam Penjelasan Undang-undang Dasar 1945, telah tegas dijelaskan. Sejak Indonesia merdeka, pemerintah RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum.

Ide Negara Hukum, terkait konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’. Negara Hukum, yang asal katanya adalah “rechtsstaat”, yang di dalam pencantumannya yaitu dalam Penjelasan UUD 1945 - sampai sekarang pun masih menggunakan kata dan bahasa Belanda tersebut, termaktub dalam konstitusi Republik Indonesia sebagai ide dasar sistem pemerintahan republik ini. Melihat “rechtsstaat”, dalam kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm die het recht air hoogste gezag handhaafl” Artinya, bahwa negara hukum seperti yang dimaksudkan oleh founding fathers negeri ini, sebuah bentuk negara (pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi .

Pandangan Mr IC Van Der Vlies tentang negara hukum adalah tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. Asas ini mengandung pengertian “wetmatigheid” yang merupakan jaminan atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”. 

Untuk mewujudkannya, maka pembentukan undang-undang yang dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik.

Lev sendiri menilai adanya perbedaan ini oleh karena pengaruh ideologi “Rechsstaat” yang berkembang di Eropa Continental tumbuh di wilayah birokrasi sentral yang kuat dan tidak dapat begitu mudah didobrak oleh kaum borjuasi. Mereka hanya dapat menghimbau agar diberikan konsensi.

Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’’.

Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan AV Dicey dengan sebutan “The Rule of Law” .

Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1) Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha negara.

Sedangkan AV Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law“, yaitu : (1) Supremacy of Law. (2) Equality before the law. (3) Due Process of Law.

Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut diatas, pada pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh AV Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang .

Menurut Jimly Assidiq , “The International Cominission of Jurist“, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. 

Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut “The International Cominission of Jurists” itu adalah (1) Negara harus tunduk pada hukum. (2) Pemerintah menghormati hak-hak individu. (3) Peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Negara hukum berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dan perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.

Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh AV Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “The Rule Of Law, And Not Of Man“. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lnggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dan zaman Yunani Kuno.

Sementara, ideologi Rule of Law secara historis terbentuk di Inggris berkat pengaruh golongan kelas menengah yang menguasai parlemen dan birokrasi kerajaan yang relatif lemah. Sebagai akibatnya, kecenderungan prosedural Common Law lebih menguntungkan pihak swasta, sedangkan Civil Law berkecenderungan menguntungkan negara . 

Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan dengan pengertian keduanya pada masa lalu.

Namun akhir-akhir ini, kita mengalami sejarah yang kelam. Partai politik sibuk mengumpulkan pundi, negara sibuk menghitung kalkulasi politik menjelang pemilu. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi konstitusi kemudian ditelantarkan, diabaikan, bahkan sama sekali dipinggirkan. Pencurian sandal jepit, pisang, semangka, biji kakao dihadapkan dengan pengadilan yang justru menimbulkan ketidakadilan. Berbanding terbalik dengan proses hukum yang bertele-tele terhadap kasus-kasus besar seperti Wisma Atlet, Bank Century, BLBI. Rakyat kemudian dipaksa menerima dalil “Negara hukum” namun kemudian dipertontonkan tidak tersentuhnya kejahatan yang melibatkan penguasa negeri atau politisi yang piawai memutar balik fakta. Tidak tersentuhnya kejahatan Lumpur Lapindo, pembakar asap, hancurnya jembatan di Kukar memberikan konfirmasi bagaimana kemudian hukum ditelanjangi, dipermainkan bahkan menjadi wacana lips servise semata.

Berkuasanya kelompok mayoritas namun  menjadi tirani minoritas semakin memperparah akan perlindungan “negara hukum”. Belum lagi perbedaan keyakinan yang diselesaikan dengan cara-cara kekerasan (Ahmadiyah, penutupan gereja, kelompok Syiah) yang membuat persoalan semakin jauh dari makna “negara hukum”.  

Sehingga tidak salah kemudian, rakyat menunjukkan kedaulatan konstitusi dengan cara-cara melakukan perlawanan yang semakin kreatif, inovasi dan canggih untuk melawan negara-negara yang abai melindungi rakyat. Aksi membakar diri, menjahit mulut , Penutupan Jalan tol, penguasaan pelabuhan, pembakaran kantor Bupati, pembakaran kantor polisi, penyerbuan dan pembakaran perusahaan adalah cara-cara yang digunakan disaat negara lalai memberikan kepastian hukum. Belum lagi perlawanan di media maya (Sejuta Facebookers mendukung Bibit Chandra, Petisi Prita Mulya Sari)

Dalam dimensi lain, konstitusi yang telah mengamanatkan “negara hukum” yang mendasarkan kepada kepastian hukum (positivisme) mulai kehilangan relevansi dengan struktur dan kultur Indonesia.

Apabila ada pertanyaan yang disampaikan, Indonesia menggunakan sistem hukum Apa ? Apakah Civil Law sebagaimana dianut di negara-negara Eropa Kontinental ? Atau Common law seperti negara Anglo Saxon? Atau Dipengaruhi hukum Adat di berbagai negara Afrika ? Atau menggunakan sistem hukum Islam karena Indonesia merupakan penduduk Muslim terbesar di dunia

Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak menganut sistem hukum. Pengaruh Eropa Kontinental dalam berbagai peraturan kemudian diterapkan di Indonesia

Problematika sistem hukum nasional ditandai dengan diterapkan berbagai sistem hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menurut pengetahuan hukum, kita mengenal berbagai sistem hukum. Sebagai akibat dijajah Belanda, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata (burgelk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering) maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Belum lagi masih banyak peraturan peninggalan Belanda yang menurut para ahli masih berjumlah 400 lebih yang belum menjadi hukum nasional yang berwatak responsif terhadap tuntutan zaman. 

Sistem Hukum Belanda menganut system kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law System).

Dengan demikian maka dengan berlakunya Hukum Pidana tersebut mengakibatkan secara hukum menerapkan sistem hukum Belanda yakni Eropa Kontinental (Clvi Law System) seperti Belanda, Perancis dan Jerman yang termasuk Eropa Kontinental.

Sementara Inggris dan Negara Jajahannya temasuk sistem hukum Anglo Saxon (Common Law System) Rusia dan beberapa Negara yang beraliran sosialis (Socialisst Law System), Beberapa negara Timur Tengah yang menganut sistem hukum Islam (Islamic Law System), dan negara ketiga di Benua Afrika yang menganut sistem Hukum Adat (Customary Law System). 

Namun Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi. 

Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law - Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. Dari paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat dalam merumuskan sistem hukum nasional.

Dengan demikian, maka sistem hukum Eropa kontinental lebih dikenal sebagai “civil law” yang berangkat dari pemikiran positivisme. Sedangkan Anglo Saxon dikenal “common law” yang berangkat dari pemikiran social-jurisprudence. Sebagian juga memberikan istilah “case law. 

Dalam praktek Peradilan, Bagir Manan menyatakan “Hakim adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche de la hoi). Ajaran ini menggarisbawahi, bahwa hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum diluar undang-undang, melainkan dilarang juga menafsirkan undang-undang. Wewenang menafsirkan undang-undang adaiah pembentuk UU Bukan wewenang hakim”. Pandangan ini tidak sekedar teori, melainkan pemah masuk dalam sistem hukum positif seperti didalam pasal 15 AB yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht, dan alien wanneer der wet daarops verwijst (ketentuan kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali ditunjuk oleh UU (Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 238, Juli, 2005, Jakarta, Hal 3)

Apabila kita perhatikan Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan “hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dan segala tuduhan”, menurut penulis melambangkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid) didalam memutuskan perkara. Selain itu juga konsepsi ini juga mengandung asas positivisme.

Pernyataan ini mendukung pendapat yang telah disampaikan oleh Logemann menyatakan “men mag de norm waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang menjadi tafsiran yang tepat .

Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu perkara yang dihadapkan kepada hakim, maka seorang hakim terikat kepada ketentuan yang tertuang dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan. Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan konstruksi terhadap hukum acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum acara (formele recht, adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil (materiele recht, substantive law) . Pemikiran ini dikatakan sebagai Kepastian Hukum (Rechtssicherheit). MK mendefinisikan sebagai “keadilan prosedural (procedural justice). Sebagian kalangan mendefenisikan sebagai kepastian peraturan.

Dengan memaparkan berbagai argumentasi yang telah penulis paparkan, maka makna “negara hukum” mulai kehilangan relevansinya. Sudah saatnya, pembicaraan serius terhadap “makna hukum” harus berangkat dari kondisi obyektif masyarakat Indonesia. Sehingga makna “negara hukum”” tidak menjadi persoalan dalam tataran teoritis yang rumit. Tapi mengejawantah dalam implementasi kehidupan sehari-hari. Quo Vadis Negara Hukum.