Menurut konstitusi, Indonesia telah memposisikan dirinya
sebagai negara hukum (rechtstaat), tidak bersifat absolutisme/kekuasaan yang
tidak terbatas (machtsstaat).
Meminjam istilah Notohamijoyo “Negara
hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada
seorang penguasa absolut . Padmo Wahjono dengan mengutip pernyataan Oemar
Seno Adji dalam ”Indonesia Negara Hukum”
menyimpulkan bahwa penerapan prinsip-prinsip umum negara yang berdasar atas
hukum terletak pada dua hal, yaitu (1) teori Rechtsstaat yang dicirikan dengan
adanya pengakuan hak-hak asasi manusia, adanya Trias Politica, adanya
pemerintahan yang berdasarkan undang-undang dan adanya peradilan administratif;
dan (2) teori Rule of Law yang dicirikan dengan adanya konstitusi yang
bersumber pada hak-hak asasi manusia, adanya persamaan menurut hukum bagi semua
orang dan adanya prinsip bahwa hukum mengatasi segala-galanya .
Dalam berbagai tafsiran “Negara
hukum adalah negara yang menempatkan kekuasaan tertinggi pada hukum bukan pada
seorang penguasa absolut”.
Prinsip ini telah berlangsung sejak tahun 1945 di mana
pertama kali UUD 1945 disusun dan diberlakukan. Sebagai pernyataan politik dan
ikrar komitmen pendiri republik (Founding
Father) pernyataan tersebut tidak usah diragukan. Bahkan didalam Penjelasan
Undang-undang Dasar 1945, telah tegas dijelaskan. Sejak Indonesia merdeka, pemerintah
RI telah mengeluarkan berbagai macam peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan hukum.
“Ide Negara Hukum,
terkait konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’. Negara Hukum, yang
asal katanya adalah “rechtsstaat”,
yang di dalam pencantumannya yaitu dalam Penjelasan UUD 1945 - sampai sekarang
pun masih menggunakan kata dan bahasa Belanda tersebut, termaktub dalam
konstitusi Republik Indonesia sebagai ide dasar sistem pemerintahan republik
ini. Melihat “rechtsstaat”, dalam
kamus besar bahasa Belanda adalah “staatsvorm
die het recht air hoogste gezag handhaafl” Artinya, bahwa negara hukum
seperti yang dimaksudkan oleh founding fathers negeri ini, sebuah bentuk negara
(pemerintahan) yang menggunakan hukum sebagai kekuasaan pengatur yang tertinggi
.
Pandangan Mr IC Van Der Vlies tentang negara hukum adalah
tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang. Asas ini mengandung pengertian “wetmatigheid” yang merupakan jaminan
atas tindakan pemerintah yang dikatakan “rechmatigheid”.
Untuk mewujudkannya, maka pembentukan undang-undang yang
dirancang harus memenuhi asas-asas pembentukan peraturan yang baik.
Lev sendiri menilai adanya perbedaan ini oleh karena pengaruh
ideologi “Rechsstaat” yang berkembang
di Eropa Continental tumbuh di wilayah birokrasi sentral yang kuat dan tidak
dapat begitu mudah didobrak oleh kaum borjuasi. Mereka hanya dapat menghimbau
agar diberikan konsensi.
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropa Kontinental
dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte
dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’’.
Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum
dikembangkan atas kepeloporan AV Dicey dengan sebutan “The Rule of Law” .
Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu : (1)
Perlindungan hak asasi manusia,(2) Pembagian kekuasaan, (3) Pemerintahan
berdasarkan undang-undang, (4) Peradilan tata usaha negara.
Sedangkan AV Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam
setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law“, yaitu :
(1) Supremacy of Law. (2) Equality before the law. (3) Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’
yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut diatas, pada pokoknya dapat
digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule
of Law’ yang dikembangkan oleh AV Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara
Hukum modern di zaman sekarang .
Menurut Jimly Assidiq , “The International Cominission of
Jurist“, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip
peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary)
yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara
demokrasi.
Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum
menurut “The International Cominission of Jurists” itu adalah (1) Negara harus
tunduk pada hukum. (2) Pemerintah menghormati hak-hak individu. (3) Peradilan
yang bebas dan tidak memihak.
Negara hukum berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dan perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.
Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau
‘kratien’ dalam demokrasi. ‘nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang
dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma
atau hukum.
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh AV Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “The Rule Of Law, And Not Of Man“. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lnggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dan zaman Yunani Kuno.
Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh AV Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon “The Rule Of Law, And Not Of Man“. Yang sesungguhnya dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lnggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dan zaman Yunani Kuno.
Sementara, ideologi Rule of Law secara historis terbentuk di
Inggris berkat pengaruh golongan kelas menengah yang menguasai parlemen dan
birokrasi kerajaan yang relatif lemah. Sebagai akibatnya, kecenderungan
prosedural Common Law lebih menguntungkan pihak swasta, sedangkan Civil Law
berkecenderungan menguntungkan negara .
Baik konsep Rule of Law maupun Rechtsstaat selalu mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu, sehingga pengertian keduanya pada masa kini
mempunyai beberapa perbedaan-perbedaan dengan pengertian keduanya pada masa
lalu.
Namun akhir-akhir ini, kita mengalami sejarah yang kelam. Partai
politik sibuk mengumpulkan pundi, negara sibuk menghitung kalkulasi politik
menjelang pemilu. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi konstitusi
kemudian ditelantarkan, diabaikan, bahkan sama sekali dipinggirkan. Pencurian
sandal jepit, pisang, semangka, biji kakao dihadapkan dengan pengadilan yang
justru menimbulkan ketidakadilan. Berbanding terbalik dengan proses hukum yang
bertele-tele terhadap kasus-kasus besar seperti Wisma Atlet, Bank Century,
BLBI. Rakyat kemudian dipaksa menerima dalil “Negara hukum” namun kemudian
dipertontonkan tidak tersentuhnya kejahatan yang melibatkan penguasa negeri
atau politisi yang piawai memutar balik fakta. Tidak tersentuhnya kejahatan
Lumpur Lapindo, pembakar asap, hancurnya jembatan di Kukar memberikan
konfirmasi bagaimana kemudian hukum ditelanjangi, dipermainkan bahkan menjadi
wacana lips servise semata.
Berkuasanya kelompok mayoritas namun menjadi tirani minoritas
semakin memperparah akan perlindungan “negara hukum”. Belum lagi perbedaan
keyakinan yang diselesaikan dengan cara-cara kekerasan (Ahmadiyah, penutupan gereja, kelompok Syiah) yang membuat persoalan
semakin jauh dari makna “negara hukum”.
Sehingga tidak salah kemudian, rakyat menunjukkan kedaulatan
konstitusi dengan cara-cara melakukan perlawanan yang semakin kreatif, inovasi
dan canggih untuk melawan negara-negara yang abai melindungi rakyat. Aksi membakar
diri, menjahit mulut , Penutupan Jalan tol, penguasaan pelabuhan, pembakaran
kantor Bupati, pembakaran kantor polisi, penyerbuan dan pembakaran perusahaan adalah
cara-cara yang digunakan disaat negara lalai memberikan kepastian hukum. Belum
lagi perlawanan di media maya (Sejuta Facebookers
mendukung Bibit Chandra, Petisi Prita Mulya Sari)
Dalam dimensi lain, konstitusi yang telah mengamanatkan “negara
hukum” yang mendasarkan kepada kepastian hukum (positivisme) mulai kehilangan
relevansi dengan struktur dan kultur Indonesia.
Apabila ada pertanyaan yang disampaikan, Indonesia
menggunakan sistem hukum Apa ? Apakah Civil Law sebagaimana dianut di
negara-negara Eropa Kontinental ? Atau Common law seperti negara Anglo Saxon?
Atau Dipengaruhi hukum Adat di berbagai negara Afrika ? Atau menggunakan sistem
hukum Islam karena Indonesia merupakan penduduk Muslim terbesar di dunia
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak
menganut sistem hukum. Pengaruh Eropa Kontinental dalam berbagai peraturan
kemudian diterapkan di Indonesia
Problematika sistem hukum nasional ditandai dengan diterapkan
berbagai sistem hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Menurut
pengetahuan hukum, kita mengenal berbagai sistem hukum. Sebagai akibat dijajah
Belanda, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis
masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor
Indonesia), Hukum Perdata (burgelk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van
kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering) maupun
berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan.
Belum lagi masih banyak peraturan peninggalan Belanda yang menurut para ahli
masih berjumlah 400 lebih yang belum menjadi hukum nasional yang berwatak
responsif terhadap tuntutan zaman.
Sistem Hukum Belanda menganut system kodifikasi sebagaimana
kita mengenalnya dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan
adopsi hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum
Indonesia dengan Belanda. Apabila melihat secara produk hukum tersebut maka
Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengakibatkan Indonesia
dapat dikatakan juga menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil Law
System).
Dengan demikian maka dengan berlakunya Hukum Pidana tersebut
mengakibatkan secara hukum menerapkan sistem hukum Belanda yakni Eropa
Kontinental (Clvi Law System) seperti Belanda, Perancis dan Jerman yang
termasuk Eropa Kontinental.
Sementara Inggris dan Negara Jajahannya temasuk sistem hukum
Anglo Saxon (Common Law System) Rusia dan beberapa Negara yang beraliran sosialis
(Socialisst Law System), Beberapa negara Timur Tengah yang menganut sistem
hukum Islam (Islamic Law System), dan negara ketiga di Benua Afrika yang
menganut sistem Hukum Adat (Customary Law System).
Namun Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus
(Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem
hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997
Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. System hukum Anglo Saxon menawarkan
perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing).
UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur
ganti rugi.
Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada
pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law - Kompilasi Hukum
Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur
didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Juga adanya pengakuan yang meletakkan
hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. Dari
paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia
menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga
mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan
hukum agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat
dalam merumuskan sistem hukum nasional.
Dengan demikian, maka sistem hukum Eropa kontinental lebih
dikenal sebagai “civil law” yang berangkat dari pemikiran positivisme.
Sedangkan Anglo Saxon dikenal “common law” yang berangkat dari pemikiran
social-jurisprudence. Sebagian juga memberikan istilah “case law.
Dalam praktek Peradilan, Bagir Manan menyatakan “Hakim adalah
mulut atau corong undang-undang (spreekbuis
van de wet, bouche de la hoi). Ajaran ini menggarisbawahi, bahwa hakim
bukan saja dilarang menerapkan hukum diluar undang-undang, melainkan dilarang
juga menafsirkan undang-undang. Wewenang menafsirkan undang-undang adaiah
pembentuk UU Bukan wewenang hakim”. Pandangan ini tidak sekedar teori,
melainkan pemah masuk dalam sistem hukum positif seperti didalam pasal 15 AB
yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht, dan alien wanneer der wet daarops
verwijst (ketentuan kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali ditunjuk oleh UU (Bagir Manan, Mengadili Menurut Hukum,
Majalah Hukum Varia Peradilan, No. 238, Juli, 2005, Jakarta, Hal 3)
Apabila kita perhatikan Putusan Mahkamah Agung No. 178
K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan “hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku
dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan
atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam
surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dan segala tuduhan”,
menurut penulis melambangkan asas kepastian hukum (rechtmatigheid) didalam
memutuskan perkara. Selain itu juga konsepsi ini juga mengandung asas
positivisme.
Pernyataan ini mendukung pendapat yang telah disampaikan oleh
Logemann menyatakan “men mag de norm
waaraan men gebonden is niet willekeurig uitleggen, doch alleen de juiste
uitleg mag gelden” orang tidak boleh menafsirkan secara sewenang-wenang
kaidah yang mengikat, hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat
undang-undang menjadi tafsiran yang tepat .
Maka dalam memeriksa dan mengadili dan memutuskan suatu
perkara yang dihadapkan kepada hakim, maka seorang hakim terikat kepada
ketentuan yang tertuang dalam hukum acara (formele recht) dari pengadilan.
Sebagai hukum dan hak asasi, hakim dibatasi menafsirkan atau melakukan
konstruksi terhadap hukum acara. Hal demikian dikarenakan fungsi dari hukum
acara (formele recht, adjective law) adalah untuk mempertahankan hukum materiil
(materiele recht, substantive law) . Pemikiran ini dikatakan sebagai Kepastian
Hukum (Rechtssicherheit). MK mendefinisikan sebagai “keadilan prosedural
(procedural justice). Sebagian kalangan mendefenisikan sebagai kepastian
peraturan.
Dengan memaparkan berbagai argumentasi yang telah penulis
paparkan, maka makna “negara hukum” mulai kehilangan relevansinya. Sudah
saatnya, pembicaraan serius terhadap “makna hukum” harus berangkat dari kondisi
obyektif masyarakat Indonesia. Sehingga makna “negara hukum”” tidak menjadi
persoalan dalam tataran teoritis yang rumit. Tapi mengejawantah dalam
implementasi kehidupan sehari-hari. Quo Vadis Negara Hukum.
Baca : Sistem Hukum dan Negara Hukum