MEMBACA ULANG TAFSIR PUTUSAN MK TERHADAP UU PERKEBUNAN
(Analisis
Yuridis Putusan MK)
Musri Nauli[1]
”Lijden is bitter, maar onrecht-vaardig lijden is
dubbel bitter”
(menderita
adalah pahit, tetapi menderita karena ketidakadilan adalah luar biasa sangat-sangat
pahit atau kejam).
Emil Bruner
Ambisi Indonesia dalam pembangunan
perkebunan kelapa sawit Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia
pada tahun 60-an. Luas pembangunan perkebunan kelapa sawit mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Tahun 1967 Indonesia hanya memiliki areal
perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak
menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu
1990-1997, dimana terjadi penambahan luas area tanam rata-rata 200.000 hektar
setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta.
Pertumbuhan luas area yang pesat kembali
terjadi pada lima tahun terakhir, yakni periode 1999-2003, dan 2,96 juta hektar
menjadi 3,8 juta hektar pada 2003, yang berarti terjadi penambahan luas areal
tanam rata-rata Iebih dan 200 ribu hektar setiap tahunnya.
Selain itu Indonesia merupakan negara
produsen dan eksportir minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) utama di
dunia, dengan areal pada tahun 2006 seluas 6,075 juta hektar dan produksi
sebanyak 16,08 juta ton. Dan produksi tersebut, 12,1 juta ton (75,25%)
diantaranya diekspor dan konsumsi untuk industri ininyak goreng dan industri
oleocheinical dalarn negeri sebanyak 3,8 juta ton (24,75%)28[2].
Di Jambi sendiri, Issu sejuta hektar pembangunan
kelapa sawit yang merupakan program ambisius dari Gubernur Jambi awal tahun
2000 telah memantik protes berbagai kalangan. Walhi Jambi yang paling keras
menentang program ini kemudian diprotes dan dianggap menghambat pembangunan dan
pekerjaan dari Gubernur Jambi yang baru terpilih. Issu ini kemudian ditentang
dan mendapat dukungan internasional.
Namun, penghentian issu program sejuta hektar
pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak serta merta pembangunan perkebunan
kelapa sawit menjadi terhenti. Pemberian izin terhadap pembangunan kelapa sawit
masih terus berlangsung dan menimbulkan konflik yang laten yang terus terjadi. Bahkan
pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak menyelesaikan berbagai sengketa yang
belum terselesaikan peninggalan pemerintahan orde baru.
Dalam berbagai konflik, penulis akan mencoba
menguraikan arsitektur konflik pembangunan kelapa sawit. Arsitektur pertama
adalah pembakaran perusahaan oleh masyarakat. Arsitektur yang kedua adalah
pengalihan issu. Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat
yang memperjuangkan tanahnya. Arsitektur selanjutnya menggunakan cara-cara
kekerasan didalam menyelesaikan persoalan masyarakat. Arsitektur selanjutnya
adalah pendudukan lahan dengan mengambil alih tanah yang kemudian tidak
dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa sawit. Lihat tabel.
Tabel 1. Kerusuhan Massa 1998 - 2007[3]
NO
|
TAHUN/TEMPAT
|
KASUS
|
KETERANGAN
|
1
|
November 1998 di Tungkal Ulu di Kab. Tanjab
|
Pembakaran PT. DAS
|
Akibat pembakaran, 1 orang petani dijadikan tersangka.
|
2
|
April 1999 di Tanah Tumbuh Kab. Bute
|
Pembakaran PT. TEBORA
|
Kota Bungo mencekam
karena adanya issu masyarakat akan melakukan penyerangan. Jumlah data masyarakat yang dijadikan tersangka tidak
tersedia
|
3
|
September 1999 di
Empang Benao Kab. Bangko
|
Pembakaran PT. KDA
|
13 orang dijadikan
tersangka dengan pasal 170, 363, dan 218 KUHP
|
4
|
Januari 2000
di Tanah Tumbuh Kab. Bute
|
Pembakaran PT. Jamika Raya
|
13 orang dijadikan
tersangka dengan pasal yang berlapis seperti pasal 170, 187,406,412,164 KUHP
|
5
|
Juni 1999 di Jambi
|
Pengrusakan Kantor Gubemur
|
4 orang mahasiswa
sebagai terdakwa dengan pasal 170 KUHP
|
6
|
Juni 2001
di Jambi
|
Pengrusakan Kantor Polda Jambi
|
13 orang mahasiswa
sebagai tersangka dan 4 orang kemudian dijadikan terdakwa di pengadilan Negeri Jambi dengan tuduhan pasal 160, 170, 187 KUHP dan pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1951.
|
7
|
September 2002 di
Bungo
|
Pengrusakan PTPN VI
|
18 orang dijadikan
tersangka dengan pasal 170 KUHP
|
8
|
Agustus 2006
di Jambi
|
Pengrusakan kantor
BKSA |
2 orang dijadikan tersangka dengan
pasal 17, 18 UU No. 9 Tahun 1998 dan Pasal 406
|
9
|
Desember 2005 di
Sungai Penuh Kabupaten Kerinci
|
Kerusuhan di Sungai Penuh
|
8 orang dijadikan
tersangka dengan 8 berkas pidana terpisah
|
10
|
Desember 2006 di
Singkut Kabupaten Sarolangun
|
Pembakaran PT. DIPP
|
27 orang dijadikan tersangka dengan
5 berkas terpisah |
11
|
Desember 2007 di Lubuk
Madrasah Kabupaten Tebo
|
Pembakaran alat-alat berat di PT. WKS
|
9 orang dijadikan
tersangka dengan 2 berkas terpisah.
|
Dari deskripsi sederhana yang telah penulis
paparkan, sengketa pembangunan perkebunan kelapa sawit masih terus terjadi dan
terus berulang[4].
Selain itu juga, UU Perkebunan ”memakan” korban[5].
Sebagai contoh, di daerah kecil, Pengadilan Negeri Tais, sebuah kota berjarak
60 km arah selatan Bengkulu dilangsungkan persidangan pidana dengan
diterapkannya UU Perkebunan. 2 orang aktivis Walhi Dwi Nanto dan Firmansyah
bersama dengan 18 orang warga Pring Baru[6], Kecamatan Taba, Kabupaten Seluma dituduh
melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur didalam pasal 47 junto pasal 21
UU No. 18 Tahun 2004.
Para terdakwa dituduh melakukan perbuatan pidana
disebabkan para terdakwa melakukan aksi menghentikan alat berat yang hendak
melakukan penggusuran tanah warga. Dalam perkembangannya, “aksi menghentikan” alat berat digeser menjadi upaya pidana didalam
menghalangi peremajaan kelapa sawit (replanting) PTPN VII. Sebuah upaya
sistematis yang kemudian memaksa para terdakwa menjadi pesakitan dimuka
persidangan[7].
Sehingga tidak salah kemudian, Empat petani
menggugat UU Perkebunan[8]
PARADIGMA HAK MENGUASAI NEGARA (DOMEIN
VERKLARING)
UU Perkebunan menimbulkan problematika dalam ilmu
hukum pidana di Indonesia. Dilihat dari muatannya, Pasal 21 dan Pasal 47 ayat
(1) dan (2) UU Perkebunan, terang tidak mencerminkan aturan yang jelas, mudah
dipahami, dan dilaksanakan secara adil. Rumusan delik pemidanaan dalam
Pasal-pasal adalah rumusan yang tidak jelas dan berpotensi disalahgunakan
secara sewenang-wenang. Ketentuan dalam Pasal-pasal yang tidak jelas dan sumir
tersebut merupakan bentuk pelanggaran atas konsep negara hukum, di mana “a legal system in which rules are clear,
wellunderstood, and fairly enforced”, dengan unsur kepastian hukum di
dalamnya, dan sekaligus mengandung asas legalitas, prediktibilitas, dan
transparansi.
Akibatnya, ketentuan pasal tersebut seringkali
digunakan untuk mempidanakan petani oleh perusahaan. Bahkan, menginjak rumput perusahaan pun, petani
bisa dipidana dengan ancaman lima tahun penjara. Sehingga tidak salah apabila sering
dinyatakan UU Perkebunan merupakan upaya sistematis terhadap kriminalisasi
terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Cara-cara ini sebenarnya
mengingatkan kita akan strategi yang digunakan oleh Pemerintah kolonial Belanda
didalam mengamankan Proyek ambisius Tanam Paksa (cultuurstelseel) awal abad XX.
Dengan menggunakan pendekatan sejarah lahirnya UU
Perkebunan yang bertujuan memberikan kepastian usaha perkebunan (suasana kebatinan/geistlichen hintergrund),
penerapan UU menimbulkan problematika.
Pertama. Paradigma didalam melihat UU Perkebunan dalam
tatanan peraturan perundang-undangan. Mahfud, MD[9]
dalam Disertasinya telah menyatakan UUPA salah satu UU yang termasuk dalam
klasifikasi sebagai UU yang responsif dalam perkembangan zaman. Adnan Buyung
Nasution menyatakan UUPA dan KUHAP merupakan karya agung anak bangsa.
Secara prinsip, pasal 33 ayat (3) UUD 1945
berbunyi ” Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Makna ”dikuasai
oleh negara” (Hak Menguasai Negara/HMN) sangat berbeda dengan prinsip domein verklaring dalam Agrarische Wet. MK kemudian merumuskan (1) mengadakan kebijakan (beleid), (2)
tindakan pengurusan (bestuursdaad), (3) pengaturan (regelendaad), (4)
pengelolaan (beheersdaad) dan (5) pengawasan (toezichthoudensdaad)[10]. Begitu hakikinya makna ”dikuasai oleh
negara” yang telah dirumuskan oleh MK, maka pasal 33 ayat (3) 1945
merupakan ”roh” dan identitas khas dari konstitusi Indonesia. M. Hatta merumuskan
sebagai ”sosialisme Indonesia”. Dan itu yang membedakan konstitusi
Indonesia dengan negara-negara liberalisme.
Makna ”dikuasai oleh
negara” yang telah diberi tafsiran oleh MK, kemudian kemudian diterjemahkan secara langsung oleh UUPA.
Atau dengan kata lain, UUPA mengatur tentang
berkaitan dengan keagrarian di Indonesia, sedangkan UU sektoral hanya mengatur
tentang komoditi semata tanpa mempunyai kewenangan mengatur yang berkaitan
dengan keagrarian. Misalnya UU Kehutanan berwenang mengatur tentang komoditi
mengenai kayu tanpa membicarakan tentang status tanah, UU Perkebunan
membicarakan komoditi tanaman perkebunan (sawit, karet, kakao) tanpa
membicarakan tentang hak tanah.
Berdasarkan dari uraian paparan yang telah
disampaikan, maka sebagian ahli hukum (jurist)
kemudian mengidentifikasikan sebagai UU Payung (umbrella act).
Berangkat dari identitas UUPA sebagai umbrella act, maka UUPA merupakan batu
uji terhadap UU sektoral.
Kedua, Bahwa membicarakan UUPA menimbulkan
persoalan dalam tataran implementasi dari ”keegoisan
sektoral”
Setelah kita memahami UUPA sebagai umbrella act, maka dalam praktek, ”keegoisme sektoral” ditandai dengan
lahirnya undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU
Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan. Ketidaksinkronan antara UUPA dengan
undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air,
UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan menimbulkan benturan norma (konflik hukum/Conflict of Law).
Dengan demikian, maka Ketentuan UU Perkebunan memunculkan
sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Prinsip
sebenarnya sudah dicabut berdasarkan oleh UUPA. Lahirnya UUPA yang tidak
dipatuhi pemangku negara, tepat dikatakan, sebagai pemberian setengah hati.
Dalam praktek peradilan pidana, pendapat hakim Dr
. Salman Luthan, S.H,M.H. (dissenting
opinion) ddalam putusan No 1475/K/Pid.Sus/2010 menarik untuk didiskusikan.
”persoalan
kelebihan lahan dari PTPN III seluas lahannya 5360 Ha tetapi pada pengukuran
tahun 2007 luasnya menjad i 6463,78 Ha, berarti ada pertambahan luas lahan
seluas 103,78 Ha tidak dapat diterapkan pasal 21 junto pasal 47 UU Perkebunan[11]”
Sedangkan
didalam putusan Mahkamah Agung Nomor 371/K/Pid.Sus/2011, pelakunya adalah
Direktur CV Putra Parahyangan Mandiri dijatuhi pidana dengan menyuruh melakukan
tindakan penambangan di kawasan perkebunan, tindakan penambangan itu
bertentangan/melanggar undang-undang perkebunan.
Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1580/Kr/Pid.Sus/2009, terdakwa dipersalahkan karena
memberikan perintah tanpa memberikan pengarahan sehingga terjadinya kebakaran
hutan di areal perkebunan.
Namun
Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Kasasi No 2554/K/Pid.sus/2009, kemudian
membebaskan terdakwa disebabkan terdakwa tidak melakukan perbuatan yang
dituduhkan (vrijpaark). Sedangkan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 590/K/Pid.Sus/2007, melepaskan terdakwa dari
segala tuntutan (onslaag van
vervolging) dengna pertimbangan, perbuatan
yang dilakukan Terdakwa bukan merupakan suatu kejahatan maupun pelanggaran
melainkan merupakan suatu masalah dalam ruang lingkup Hukum Perdata.
Dengan dicabutnya Pasal 21 dan pasal 47 UU
Perkebunan maka,tidak terdapat “means rea”
atau “kehendak jahat” sehingga dengan
demikian asas “geen straf zonder schul
beginsel” atau “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”
tidak terbukti.
Sehingga sudah sah dan pantas menurut hukum
apabila orang karena fakta-fakta atau keadaan-keadaan menunjukkan Ia patut
dinyatakan tidak bersalah melakukan suatu tindak pidana (“als verdachte wordt aangemerkt degene te wiens aanzien uit feiten of
omstadigheden een redelijk vermoeden van achuld aan eenig strafbaar feit
voorvloit”).
Namun dicabutnya pasal 21 dan pasal 47 UU
Perkebunan tidak serta merta, penerapan hukum pidana terhadap petani yang
memperjuangkan tanahnya akan selesai. Pasal 310 KUHP, Pasal 317 KUHP (Pencemaran Nama Baik), Pasal 335 KUHP (Perbuatan tidak menyenangkan), pasal 170
KUHP, pasal 187 KUHP (Melakukan kekerasan
dimuka umum dan melakukan kekerasan terhadap Benda), Pasal 212 KUHP, pasal
218 KUHP (Melawan perintah petugas yang
berwenang dan melawan perintah bubar) akan senantiasa mengintai dan
mengintip pejuang demokrasi. Belum lagi akan diterapkan UU No. 12 Tahun 1951 (Larangan Memiliki dan Membawa Senjata Api
dan Senjata Tajam tanpa izin), UU No. Tahun 1998 (Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka
Umum)
Rekomendasi
Dengan
memperhatikan potensi sumber daya alam yang ada di Provinsi Jambi, konflik yang
telah dan akan terjadi, merupakan perjalanan panjang untuk menyelesaikan
problema konflik yang ada di Jambi. Terlepas dari berbagai upaya advokasi yang
telah dilakukan berbagai kelompok yang peduli dan mendampingi kasus-kasus yang
selama ini terjadi, peran partai sebagai penyambung suara rakyat harus
menemukan momentum untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Di saat momentum yang
diharapkan rakyat kepada partai yang ingin bekerja dan berbuat untuk rakyat
telah dipercayakan kepada rakyat, amanah itu harus diutamakan diatas
kepentingan kelompok, golongan ataupun kepentingan politik jangka pendek.
[1] Advokat, Tinggal di Jambi
[2] Dirattanhun, POTENSI KELAPA SAWIT SEBAGAI BAHARAI BAKU BIODIESEL,
www.ditjenbun.deptan.go.id, 31 July 2008
[3] Data-data yang tersedia adalah
data-data yang telah dimuat di berbagai media massa. Data-data yang berhasil dihimpun yang kemudian penulis analisis hanyalah
data-data pendukung untuk memperkuat argumentasi yang hendak dipaparkan.
[4] Harian Posmetro, Jumat, 21 Januari 2011
[5] catatan PIL-Net, hingga
medio 2010, telah ada 106 kasus kriminalisasi petani berhadapan dengan sejumlah
perusahaan kakap. LSM Sawit Watch menunjukkan ada
514 kasus di 2007, 576 kasus pada 2008, dan 604 kasus pada 2009. Sedangkan di semester pertama
2010, tercatat 608 kasus.
[6] Para terdakwa dengan hukuman 3 bulan 20
hari
[7]
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/02/02/brk,20110202-310768,id.html
[8]
http://www.antaranews.com/berita/1282304502/uu-perkebunan-digugat
[9] Disertasi Mahfud, MD kemudian terbit
menjadi buku yang berjudul, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
2009
[10] Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Nomor 012/PUU-I/2003
[11] Tafsiran bebas dari Putusan Mahkamah
Agung Nomor 1475/K/Kr/2010