Mahkamah
Konstitusi berdasarkan putusan MK Nomor Nomor 27/PUU-X/2012 telah
menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa konstitusionalitas Pasal I Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. UU ini mengatur tentang kriteria nilai dua ratus lima puluh rupiah
didalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, dan Pasal 407 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Para pemohonan berkeinginan mengubah
frasa “dua ratus lima puluh rupiah”
menjadi “dua juta lima ratus ribu rupiah”
yang tertera dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, dan Pasal 407
ayat (1) KUHP.
Persoalan ini sempat “menghebohkan”
disaaat Indonesia “berperang” melawan
korupsi malah lebih sibuk “disidangkan”
kasus remeh temeh. Pencurian
kakao, semangka, pencurian sandal, pencurian listrik cas HP, persidangan e-mail
”Prita” memang menarik perhatian nasional. Disatu sisi persidangan tidak boleh
“menolak” perkara yang disampaikan
oleh Jaksa Penuntut Umum. Namun disisi lain, nurani dan teriakan kaum progresif
menolak persidangan yang urusan “nilai”
kerugian hanya berkisar sekitar puluhan ribu.
Kalangan
positivisme berdalil, persidangan tidak bisa dihentikan, karena unsur mengambil (dalam bahasa lain dikatakan “mencuri/ wegnemen) telah terbukti. Adanya unsur “mencuri (wegnemen)” dalam berbagai peristiwa telah terpenuhi
sehingga para pelaku tidak dapat dibebaskan (Vrijpaark). Sementara kaum progresif mendalilkan unsur “dua ratus lima puluh perak” yang dibuat
oleh UU No. 16 Prp Tahun 1960 harus dilihat pada konteks terkini. Ukuran “dua ratus lima puluh perak” dalam konteks terkini
sungguh tidak relevan lagi. Dalam berbagai ukuran yang sering dikonversi dengan
nilai emas, maka “dua ratus lima puluh perak”
dapat dikalkulasikan sekitar Rp 2,5 juta rupiah. Dalam konteks ini, maka kaum
progresif berpendapat, unsur “dua ratus lima puluh perak”
tidak tepat dikenakan kepada para pelaku. Dengan demikian, maka terdakwa
seharusnya dibebaskan dari segala dakwaan (vrijpaark)
Selain itu juga,
peristiwa-peristiwa persidangan terhadap para pelaku menimbulkan “ketidakadilan”. Persidangan terhadap
para pelaku menusuk nurani kemanusiaan. Indonesia
kemudian dicap sebagai negara “sepatu
butut” karena menyidangkan kasus-kasus yang berkisar “dua ratus lima
puluh perak”. Indonesia
menjadi sorotan disaat bersamaan disidangkan kasus-kasus korupsi yang hanya
menyangkut kepada operator lapangan. Mereka orang kecil dan sama sekali tidak
mendapatkan akses politik.
Dalam berbagai tayangan
televisi dunia, persidangan terhadap para pelaku menimbulkan “keprihatinan” dunia. Dalam
persidangan “pencurian sandal butut”
dimana pelakunya seorang siswa SMA, dukungan publik meluas. Masyarakat kemudian
menghimpuan diri untuk menyumbangkan ”sepatu
butut” dan kemudian menyerahkan kepada KOMNAS ANAK.
Dari ranah inilah, sebenarnya ”ketidakadilan” telah dipertontonkan kepada publik.
Berangkat dari keprihatinan yang mendalam, Mahkamah Agung
sebagai benteng terakhir mencari keadilan telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 2 Tahun 2012 (Perma No 2 Tahun 2012). didalam pertimbangannya, MA merumuskan harga ”duaratus lima puluh perak” didasarkan
kepada harga emas pada tahun 1960. dengan demikian, maka akan meningkat 10.000
x dari dua ratus lima puluh perak. Dengan menggunakan ukuran yang telah
dkalkulasikan 10.000 maka dapat ditentukan Rp. 2,5 juta rupiah. Perma No 2
Tahun 2012 dapat memberikan arah dan pedoman untuk menafsirkan unsur ”dua ratus lima puluh perak”.
Bahkan MA juga memberikan pedoman hukum acara terhadap
nilai ”dua ratus lima puluh perak”.
Seperti hakim tunggal, acara pemeriksaan cepat sebagaimana diatur didalam pasal
205 – 210 KUHAP. Sedangkan mengenai penahanan, maka tersangka tidak perlu
dilakukan penahanan.
Namun dalam konteks tata urutan peraturan
perundang-undangan, kekuatan PERMA selain tidak dikenal, namun daya ikatnya
tidak kuat. Sehingga rumusan ”dua ratus
lima puluh perak” didalam rumusan Undang-Undang
Nomor 16 Prp Tahun 1960 harus
diberi tafsir konstitusional. Dengan demikian, maka para pemohon kemudian
mengajukan kepada MK agar dapat memberikan tafsiran ”dua ratus lima puluh perak”.
Walaupun MK kemudian menyatakan tidak berwenang untuk
memutuskan tafsiran ”dua ratus lima puluh
perak” dan menjadi menjadi kewenangan para pembuat UU, namun panduan yang
diberikan oleh MA berdasarkan PERMA No. 2 Tahun 2012 dapat menjawab persoalan
yang menarik perhatian publik. PERMA No. 2 Tahun 2012 memberikan ”sedikit” dahaga terhadap teriakan kaum
progresif terhadap persidangan yang menusuk nurani ketidakadilan publik.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 26 JUni 2012
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 26 JUni 2012