Beberapa waktu yang lalu, kita
disuguhi berita “habisnya” masa
penahanan Ariel Peterpan dari penjara setelah menjalani penjara dengan tuduhan
pasal UU ITE. Berita itu sungguh mengusik nurani baik dari perspektif moral
maupun dari sudut pandang hukum.
Dari perspektif moral, kita
diingatkan “video porno” yang sempat
menghebohkan jagat belantara baik politik, sosial maupun dari sudut pandang
hukum. “Video porno” sempat membuat
Kepala Negara harus urun rembug memberikan pendapat dan berkomentar. Dari sudut
pandang sosiologi, “Video porno”
memantik diskusi panjang dan menggugat nurani kita terhadap berbagai
perkembangan sosial yang kurang disikapi secara arif oleh negara.
Harus disadari, adanya pergeseran sosial di tengah masyarakat. Tolerannya dan sikap permisif dari penonton Indonesia. Harus disadari, dibombardirnya berita infotainment kepada penonton Indonesia, memaksa, adanya keinginan dari penonton ingin mengetahui “persoalan kamar artis” (MENGINTIP KAMAR ARTIS, Jambi Ekspress, 7 Agustus 2010).
Dalam kajian sosiologi, pergeseran sosial di tengah masyarakat berhadapan dengna sikap fundamentalis kelompok islam disisi lain. Namun fakta sosial tidak terbantahkan, persoalan “video porno” Ariel Peterpan menjadi magnet tersendiri.
Namun dalam kajian hukum, terlalu sederhana memandang persoalan Ariel Peterpan. Ada persoalan “ketidakadilan” yang mengganggu. Dalam tulisan PENYEBARAN VIDEO PORNO DILIHAT UU ITE DAN UU PORNOGRAFI, Jambi Ekspress, 12 Juni 2010, penulis sudah mengingatkan.
Pertanyaan
pertama. Harus dibuktikan apakah artis didalam “video porno” telah memenuhi unsur didalam UU ITE dan UU Pornografi
?. Didalam rumusan dalam pasal 27 (1) dinyatakan “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Apabila kita perhatikan rumusan ini, maka
kata-kata yang penting dan menjadi sorotan penulis adalah frase kata-kata “tanpa hak”. Sebagaimana didalam lapangan
hukum pidana, kata-kata “tanpa hak”,
adalah perbuatan yang dilakukan dimana hukum tidak mempunyai hak untuk
melakukan perbuatan yang dilakukan oleh subject hukum. Apabila kita perhatikan
rumusan ini, maka kata-kata yang penting dan menjadi sorotan penulis adalah
frase kata-kata “tanpa hak”.
Apabila kita perhatikan dengan frase kata-kata “tanpa hak”, dengna melihat kata-kata selanjutnya, “mendistribusikan/ mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses informasi elektronik…. yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”, maka perbuatan itu diterjemahkan secara singkat, “seseorang tidak mempunyai hak untuk melakukan perbuatan mendistribusikan… yang memiliki kesusilaan”. Frase kalimat itu menggambarkan bahwa seseorang “tanpa hak” untuk “mendistribusikan..”.
Pertanyaan
Kedua. Apakah artis yang ada didalam “video
porno” kemudian melakukan perbuatan untuk “mendistribusikan/mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses” ?
Dari ranah, ini maka pembuktian inilah yang harus dilakukan penyidik sebagai
bahan untuk melakukan pekerjaan untuk menjawab pertanyataan yang penulis
maksudkan. Dan apabila kemudian hasil penyidikan, artis didalam “video porno” yang kemudian tidak “mendistribusikan/mentransmisikan dan atau
membuat dapat diakses”, maka Dengan demikian, maka frase kata-kata “tanpa hak”
tidak tepat dikenakan kepada artis “video porno”
Pertanyaan Ketiga. Siapa yang “mendistribusikan/
mendistribusikan/mentransmisikan dan atau membuat dapat diakses”. Apakah
artis yang ada didalam “video porno”
dengan maksud untuk menjadi lebih populer. Pembuktian selanjutnya untuk
mengetahui siapa yang untuk “mendistribusikan/mentransmisikan
dan atau membuat dapat diakses” ?
Pertanyaan Keempat. Apakah artis didalam video porno dapat dipersalahkan dan
dipertanggungjawabkan melakukan perbuatan pornografi. Didalam UU Pornografi
sendiri, apabila artis didalam video porno dilakukan didalam tertutup dan tidak
“bermaksud (means rea)” untuk konsumsi publik, maka tidak dapat dikategorikan
melakukan perbuatan sebagaimana rumusan didalam UU Pornografi. Begitu juga
terhadap pihak “mendistribusikan/mendistribusikan/mentransmisikan
dan atau membuat dapat diakses” tidak dapat dikategorikan untuk memenuhi
unsur pasal didalam rumusan UU Pornografi.
Beberapa pertanyaan kunci yang telah penulis sampaikan hingga putusan tidak ditemukan. Ariel dianggap bertanggungjawab terhadap “tersebarnya” video porno. Indikasi ini kemudian diperkuat ketika terhadap Luna Maya dan Cut Tari tidak dapat disidangkan (walaupun pihak penyidik masih berargumentasi masih sedang dalam proses penyidikan). Selain itu juga “berlarut-larutnya” pemeriksaan terhadap Cut Tari dan Luna Maya membuktikan, adanya “keraguan” dari penegak hukum untuk menjerat sebagai pelaku yang dengan “sengaja” memenuhi unsur dari pasal-pasal UU ITE.
Dari perspektif lain, ada “ketidakadilan” proses terhadap Ariel Peterpan. Kasus yang cenderung menjadi perhatian publik, maka hukuman dijatuhkan lebih cenderung mengikuti “kemauan” publik. Hukuman dijadikan sarana “memuaskan” dahaga publik. Dari ranah ini, maka “ketidakadilan” senantiasa selalu diteriakkan.
Baca : RUU Pornografi