Penahanan Tersangka Ada Syarat Objektif
Tribun Jambi - Minggu,
29 Juli 2012 10:29 WIB
Laporan Wartawan
Tribun Jambi, Muhlisin
BELAKANGAN kasus dugaan korupsi pejabat dan mantan pejabat mencuat dalam pemberitaan mediamassa
di Jambi. Berita itu melengkapi pemberitaan April lalu terhadap sejumlah mantan
kepala daerah yang disangka terlibat kasus pengadaan damkar. Kejati Jambi
terbukti mampu memainkan perannya dalam pemberantasan korupsi.
Terkait apakah setelah menyandang status tersangka dilanjutkan dengan penahanan. Rujukan menjawabnya tentu saja KUHAP. Menurut teori dikenal dengan kewenangan penahanan subyektif dan kewenangan penahanan obyektif. Kewenangan penahanan obyektif dilihat di dalam rumusan pasal 21 KUHAP.
Intinya penahanan diperlukan terhadap tindak pidana itu diancam dengan pidana penjaralima
tahun atau lebih. Atau tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat
(3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 351 ayat (1), pasal 353 ayat (1),
pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459,
pasal 480 dan pasal 506 KUHP, pasal 25 dan pasal 26 Rechtenordonnantie
(pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai).
Pasal ini terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Sedangkan kewenangan penahanan subyektif ditandai dengan rumusan kalimat seperti "diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Dengan melihat rumusan yang sudah ditentukan di dalam KUHAP, maka tidak menjadi polemik apakah penyidik melakukan penahanan atau tidak. Namun menjadi persoalan yang serius apabila tidak adanya persamaan di muka hukum (equality before the law). Dalam satu perkara, para tersangka diperlakukan berbeda.Ada yang ditahan atau ada
yang tidak ditahan. Ini salah satu polemik yang menjadi persoalan dimuka hukum.
(musri nauli
praktisi hukum)
BELAKANGAN kasus dugaan korupsi pejabat dan mantan pejabat mencuat dalam pemberitaan media
Terkait apakah setelah menyandang status tersangka dilanjutkan dengan penahanan. Rujukan menjawabnya tentu saja KUHAP. Menurut teori dikenal dengan kewenangan penahanan subyektif dan kewenangan penahanan obyektif. Kewenangan penahanan obyektif dilihat di dalam rumusan pasal 21 KUHAP.
Intinya penahanan diperlukan terhadap tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara
Pasal ini terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Sedangkan kewenangan penahanan subyektif ditandai dengan rumusan kalimat seperti "diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Dengan melihat rumusan yang sudah ditentukan di dalam KUHAP, maka tidak menjadi polemik apakah penyidik melakukan penahanan atau tidak. Namun menjadi persoalan yang serius apabila tidak adanya persamaan di muka hukum (equality before the law). Dalam satu perkara, para tersangka diperlakukan berbeda.
praktisi hukum)