Akhir-akhir
ini, media massa
membombardir berita-berita yang berkaitan dengna pejabat atau mantan pejabat
yang “ramai-ramai” dituduh korupsi.
Media massa
seakan-akan berlomba mengabarkan tuduhan korupsi kepada para pejabat atau
mantan pejabat dengan mendasarkan semakin menguaknya korupsi yang dilakukan
oleh pejabat atau mantan pejabat. Berita ini melengkapi pada bulan April
terhadap beberapa mantan kepala Daerah yang dituduh berkaitan dengan kasus
DAMKAR. Sehingga harus diakui, pada periode ini, Kejaksaan Tinggi memang
terbukti mampu memainkan perannya sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi.
Dari sisi ini, kita harus memberikan apreasiasi terhadap kinerja Kejaksaan
Tinggi setelah sebelumnya masih berkutat dan berputar-putar terhadap proses
penyelidikan kasus korupsi.
Konsentrasi
publik “digiring” kepada pertanyaan “Apakah pejabat akan dilakukan penahanan ? Atau
pertanyaan semakin menukik, kapan pejabat
akan ditahan ?
Tanpa
memasuki wilayah yang masih sering diperdebatkan, persoalan yang paling sering
menjadi perhatian dan menjadi polemik berkaitan dengan penangkapan dan
penahanan. Sebenarnya wilayah ini merupakan wilayah yang mudah dapat dilihat di
ketentuan yang berkaitan dengna hukum acara pidana namun sering menjadi
persoalan politik yang bias dan menjadi persoalan jamak didalam pembahasannya.
Kewenangan
mengenai penahanan sudah diatur didalam KUHAP. Menurut teori dikenal dengan kewenangan
penahanan subyektif dan kewenangan penahanan obyektif. Kewenangan penahanan obyektif
dilihat didalam rumusan pasal 21 KUHAP yang pada pokoknya penahanan diperlukan
terhadap tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih
atau tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296,
Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal
378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan
Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir
diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4
Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955,
Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal
43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Sedangkan
kewenangan penahanan subyektif ditandai dengan rumusan kalimat seperti “diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Dengan
melihat rumusan yang sudah ditentukan didalam KUHAP, maka tidak menjadi polemik
apakah penyidik melakukan penahanan atau tidak.
Namun
menjadi persoalan yang serius apabila tidak adanya persamaan dimuka hukum (equality before the law). Dalam satu
perkara, para tersangka diperlakukan berbeda. Ada yang ditahan atau ada yang tidak ditahan.
Penulis berpendapat, ini salah satu polemik yang menjadi persoalan dimuka
hukum.
Dimuat di Harian Tribun Jambi, 28 Juli 2012
Dimuat di Harian Tribun Jambi, 28 Juli 2012
Advokat, tinggal di Jambi