Memang
“demam” Jokowi telah memberikan pelajaran kepada kita semua.
Setiap denyut dan setiap langkah Jokowi tidak terlepas dari sorotan
liputan media massa. Mulai dari blusukan ke tempat-tempat yang sering
luput dari perhatian Pemerintah DKI, gaya Jokowi, cengengesan, tidak
peduli penampilang, deman baju kotak-kotak hingga setiap pernyataan
ataupun harapan yang disampaikan. Hampir setiap hari kemudian selalu
dikabarkan perkembangan terhadap langkah Jokowi. Mengalahkan berita
entertainment. Mengalahkan issu artis sekalipun.
Dalam
kancah “politik lokal” demam Jokowi kemudian menular ke “politik
nasional”. Memimpin Kota Solo yang “adem”, sejuk, tenang
kemudian “menjajaki” Pilkada Jakarta. Dari kota kecil yang jauh
dari hiruk pikuk kota Besar kemudian “mengadu nasib” ke Jakarta.
Kota metropolitan. Kota seribu masalah. Kota dimana “pertarungan
nasional” dimulai. Kota dimana partai besar “ saling menunjukkan
jati diri. Partai besar menjajaki berbagai kekuatan (show of power)
sebagai partai yang mengklaim didukung oleh rakyat.
Secara
politik harus diakui, kekuatan dan peran Jakarta cukup
diperhitungkan. Negara telah memberikan amanat khusus sebagai kota
yang kemudian kita kenal sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI). Sebuah
amanat khusus yang memang diberikan dengan mempertimbangkan berbagai
indikator berbagai persoalan negara. UU juga telah “membedakan”
kandidate yang harus menang. Apabila didaerah lain, kemenangan
kandidate cukup ditentukan suara terbanyak (single mayority), maka
khusus untuk di Jakarta kemudian diterapkan “harus meraih suara
mayoritas ditambah satu (absolute mayority).
Ini
dapat dimengerti karena berbagai problem pelik terjadi di Jakarta.
Mulai dari macet, semrawut, banjir, arus mudik dan berbagai problema
lainnya yang membuktikan memang dibutuhkan keahlian khusus untuk
menata Jakarta.
Dengan
melihat berbagai “Kekhususan” maka setiap kandidate yang mencoba
peruntungannnya harus benar-benar berhitung. Harus mengkalkulasikan
kekuatan yang dahsyat. Meminjam istilah Fauzi Bowo “harus yang
ahli”nya.
Maka
partai-partai besar “seakan-akan” tidak pede untuk memajukan
calonnya sendiri. Partai-partai besar harus “berkoalisi” untuk
mencalonkannya. Maka Partai-partai besar seperti Partai Golkar,
Partai Demokrat, ataupun partai menegah seperti PKS harus berhitung
untuk menentukan kandidate Gubernur yang harus diusung.
Sudah
banyak teori dihasilkan untuk mengkalkulasikan “kemenangan”
kandidate Gubernur DKI. Sudah banyak lembaga-lembaga survey yang
memaparkan hasilnya. Semuanya sepakat, Fauzi Bowo merupakan kandidate
terkuat dibandingkan dengan nama-nama yang beredar untuk menjadi
Gubernur DKI Jakarta.
Namun
semuanya buyar. Dengan ketenangan dan tentu saja perhitungan matang
dari Jokowi, Jokowi kemudian “membalikkan” berbagai teori akan
kemenangan Fauwi Bowo. Jokowi kemudian menang. Baik pada putaran
pertama maupun putaran kedua. Jokowi “membalikkan” kalkulasi
politik. “membalikkan” penghitungan dari lembaga-lembaga survey.
Jokowi
kemudian “membangkitkan” harapan baru. Membangun kesadaran
politik. Demokrasi untuk rakyat. Sebuah teori usang yang hampir
praktis tenggelam dengan hiruk-pikuk pilkada yang penuh nuansa “money
politik”.
Jokowi
kemudian mengajarkan akan sebuah sikap, konsisten dan tentu saja
dukungan dari publik mengalir.
Dalam
berbagai tayangan di media sosial, Jokowi berhasil menjadi trend
sitter. Menjadi wacana media sosial yang paling laris. Mengalahkan
Dahlan iskan. Mengalahkan berbagai politisi lainnya.
Secara
sederhana, penulis ingin melihat berbagai kemenangan yang diraih dari
Jokowi agar menjadi pembelajaran penting untuk menatap masa depan.
Memimpin
dengan Hati
Harus
disadari, terlepas dari berbagai kemajuan yang diraih oleh bangsa
Indonesia, ketertinggalan dari berbagai bangsa lain masih mendera
bangsa ini. Kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan masih menjadi
mayoritas. Terlepas dari pendidikan yang belum ditata dengan baik,
berbagai kemajuan tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan,
pengetahuan maupun inovasi kreativitas bangsa.
Berbagai
simbol-simbol yang sering disampaikan oleh penguasa negeri sulit
dipahami. Demokrasi untuk rakyat ternyata dipahami demokrasi untuk
oligarkhi penguasa. Hukum harus diadil dipahami hukum untuk rakyat
kecil. Ekonomi rakyat dipahami ekonomi untuk orang yang kaya.
Sehingga
dapat dipahami acara-acara debat politik, dialog hukum lebih suka
ditonton kaum menengah ke atas. Masyarakat lebih suka menonton
televisi siaran sinetron, takhyul, mistik, gosip. Mereka lebih suka
menonton siaran-siaran itu selain memang “ending”nya bikin lega
didada, acara-acara politik maupun dialog hukum lebih bikin kesal dan
sakit dada.
Dari
alam inilah, kemudian Jokowi sadar. Tidak perlu menjual gagasan yang
“wah-wah”, “ribet”, “canggih” ataupun yang hanya bisa
dipahami oleh kalangan menegah atas. Jokowi kemudian menawarkan
gagasan yang langsung dipahami oleh masyakarat. Maka model kampanya
“kartu Sehat”, “kartu pintar” seakan-akan sihir yang
menghipnotis rakyat. Rakyat seakan-akan disentakkan, kebutuhan yang
“lalai” diurusi negara ternyata diperjuangkan oleh Jokowi. Rakyat
kemudian “tersentuh”. Rakyat merasa “ada” pemimpin yang mau
mendengarkan suara mereka. Rakyat “seakan-akan” bersama-sama
dengan Jokowi untuk memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Dari rasa inilah
kemudian penulis memberikan perumpamaan Jokowi “memimpin dengan
hati”.
Manajemen
Sederhana
Bagaimana
Jokowi “mengelola” gerbong politik menghadapi Pilkada DKI Jakarta
?. Tengoklah laporan dari berbagai media yang menyampaikan bagaimana
Jokowi mengelola tim suksesnya. Tidak ada orang hebat. Tidak perlu
ahli politik. Semuanya membaur. Semua relawan. Menyisihkan waktu,
dana dan ide untuk mengembangkan gerbongnya. Ada tim relawan yang
membangun posko dengan swadaya. Mengetuk pintu rumah-rumah dan
meminta agar memilih Jokowi. Mengajak agar bersama-sama ikut Pilkada
di DKI.
Manajemen
yang memberikan kebebasan kepada tim relawan membuat Jokowi mudah
menghadapi serangan yang bertubi-tubi. Pernyataan seperti “orang
kampung”, “bukan muslim” justru menjadi amunisi yang kemudian
malah berbalik memenangkan Jokowi. Rakyat kemudian sadar ternyata,
kesederhanaan Jokowi mengalahkan berbagai kalkulasi ahli politik.
Dengan
manajemen inilah kemudian menjadi rentang kendali mudah dijangkau,
langsung dirasakan oleh rakyat, murah dan tentu saja effektif
memenangkan Pilkada
Teladan
Yang Nyata
Sebenarnya
apa yang dilakukan oleh Jokowi tidaklah begitu dahysat. Hampir setiap
politisi sering menyampaikannya. Namun yang dilupakan oleh politisi,
apa yang disampaikan oleh Jokowi merupakan teladan yang sudah
dipraktekkannya sehari-hari. Sudah menjadi rutinitas yang bagian yang
tidak dipisahkan.
Baik
cara memimpin, cara menyelesaikan masalah, inovasi berbagai persoalan
sudah dibuktikkannya.
Di
Solo sendiri, cara memindahkan pedagang kaki lima banyak
menginspirasi berbagai kalangan. Cara ini effektif selain berhasil
menjadikan kota Solo lebih manusiawi dan bermartabat juga tidak
menimbulkan ekses. Dari cara-cara inilah kemudian rakyat menganggap
apa yang disampaikan oleh Jokowi sesuai dengan apa yang telah
dilakukan. Dalam kacamata inilah, kemudian pernyataan Jokowi
merupakan tipikal Teladan yang memang benar-benar ada. Teladan yang
Nyata.
Program
Sederhana
Yang
disampaikan Jokowi sebenarnya banyak dan memang berat untuk dikaji
secara teknis dalam menyelesaikan berbagai masalah Jakarta. Masalah
banjir, masalah transportasi, masalah kemacetan, masalah kendaraan
dan sebagainya.
Namun
dalam kemasan yang sering disampaikan oleh Jokowi di berbagai media
massa terutama media sosial termasuk Youtube, program ini dikemas
menjadi sederhana sehingga berbagai lapisan masyarakat kemudain
mengerti dan mau turut berjuang dengan Jokowi.
Program
ini kemudian dipahami secara sederhana. Dan merekapun percaya.
Namun
yang ditunggu oleh masyarakat adalah program kesehatan dan program
pendidikan. Jokowi mengemas menjadi “kartu sehat” dan “kartu
pintar”. Program ini menyentuh dan langsung dirasakan sebagai
kebutuhan utama dari rakyat. Masyarakat sudah melihatnya secara nyata
di Solo.
Maka
tanpa perdebatan panjang, mereka kemudian secara sadar mau mendukung
Jokowi. Dan memang terbukti. Dalam hitungan hari, program ini
berhasil dilaksanakan oleh Jokowi. Dan Jokowi sendiri yang langsung
mengantarkannya ke rumah-rumah penduduk.
Tentu
saja masih banyai pelajaran penting yang telah diajarkan oleh Jokowi.
Namun kemenangan Jokowi tidak menjadi kemenangan rakyat Jakarta.
Namun kemenangan kita semua. Ada harapan baru menatap Indonesia.
Baca : Jokowi, Dahlan Iskan dan Hidayat Nur Wahid
Dimuat di Posmetro tanggal 18 November 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12067-lagi-lagi-jokowi.html
Dimuat di Posmetro tanggal 18 November 2012
http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12067-lagi-lagi-jokowi.html