16 November 2012

opini musri nauli : LAGI-LAGI JOKOWI


Memang “demam” Jokowi telah memberikan pelajaran kepada kita semua. Setiap denyut dan setiap langkah Jokowi tidak terlepas dari sorotan liputan media massa. Mulai dari blusukan ke tempat-tempat yang sering luput dari perhatian Pemerintah DKI, gaya Jokowi, cengengesan, tidak peduli penampilang, deman baju kotak-kotak hingga setiap pernyataan ataupun harapan yang disampaikan. Hampir setiap hari kemudian selalu dikabarkan perkembangan terhadap langkah Jokowi. Mengalahkan berita entertainment. Mengalahkan issu artis sekalipun.
Dalam kancah “politik lokal” demam Jokowi kemudian menular ke “politik nasional”. Memimpin Kota Solo yang “adem”, sejuk, tenang kemudian “menjajaki” Pilkada Jakarta. Dari kota kecil yang jauh dari hiruk pikuk kota Besar kemudian “mengadu nasib” ke Jakarta. Kota metropolitan. Kota seribu masalah. Kota dimana “pertarungan nasional” dimulai. Kota dimana partai besar “ saling menunjukkan jati diri. Partai besar menjajaki berbagai kekuatan (show of power) sebagai partai yang mengklaim didukung oleh rakyat.

Secara politik harus diakui, kekuatan dan peran Jakarta cukup diperhitungkan. Negara telah memberikan amanat khusus sebagai kota yang kemudian kita kenal sebagai Daerah Khusus Ibukota (DKI). Sebuah amanat khusus yang memang diberikan dengan mempertimbangkan berbagai indikator berbagai persoalan negara. UU juga telah “membedakan” kandidate yang harus menang. Apabila didaerah lain, kemenangan kandidate cukup ditentukan suara terbanyak (single mayority), maka khusus untuk di Jakarta kemudian diterapkan “harus meraih suara mayoritas ditambah satu (absolute mayority).

Ini dapat dimengerti karena berbagai problem pelik terjadi di Jakarta. Mulai dari macet, semrawut, banjir, arus mudik dan berbagai problema lainnya yang membuktikan memang dibutuhkan keahlian khusus untuk menata Jakarta.

Dengan melihat berbagai “Kekhususan” maka setiap kandidate yang mencoba peruntungannnya harus benar-benar berhitung. Harus mengkalkulasikan kekuatan yang dahsyat. Meminjam istilah Fauzi Bowo “harus yang ahli”nya.

Maka partai-partai besar “seakan-akan” tidak pede untuk memajukan calonnya sendiri. Partai-partai besar harus “berkoalisi” untuk mencalonkannya. Maka Partai-partai besar seperti Partai Golkar, Partai Demokrat, ataupun partai menegah seperti PKS harus berhitung untuk menentukan kandidate Gubernur yang harus diusung.

Sudah banyak teori dihasilkan untuk mengkalkulasikan “kemenangan” kandidate Gubernur DKI. Sudah banyak lembaga-lembaga survey yang memaparkan hasilnya. Semuanya sepakat, Fauzi Bowo merupakan kandidate terkuat dibandingkan dengan nama-nama yang beredar untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Namun semuanya buyar. Dengan ketenangan dan tentu saja perhitungan matang dari Jokowi, Jokowi kemudian “membalikkan” berbagai teori akan kemenangan Fauwi Bowo. Jokowi kemudian menang. Baik pada putaran pertama maupun putaran kedua. Jokowi “membalikkan” kalkulasi politik. “membalikkan” penghitungan dari lembaga-lembaga survey.

Jokowi kemudian “membangkitkan” harapan baru. Membangun kesadaran politik. Demokrasi untuk rakyat. Sebuah teori usang yang hampir praktis tenggelam dengan hiruk-pikuk pilkada yang penuh nuansa “money politik”.

Jokowi kemudian mengajarkan akan sebuah sikap, konsisten dan tentu saja dukungan dari publik mengalir.

Dalam berbagai tayangan di media sosial, Jokowi berhasil menjadi trend sitter. Menjadi wacana media sosial yang paling laris. Mengalahkan Dahlan iskan. Mengalahkan berbagai politisi lainnya.

Secara sederhana, penulis ingin melihat berbagai kemenangan yang diraih dari Jokowi agar menjadi pembelajaran penting untuk menatap masa depan.

Memimpin dengan Hati

Harus disadari, terlepas dari berbagai kemajuan yang diraih oleh bangsa Indonesia, ketertinggalan dari berbagai bangsa lain masih mendera bangsa ini. Kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan masih menjadi mayoritas. Terlepas dari pendidikan yang belum ditata dengan baik, berbagai kemajuan tidak diimbangi dengan tingkat pendidikan, pengetahuan maupun inovasi kreativitas bangsa.

Berbagai simbol-simbol yang sering disampaikan oleh penguasa negeri sulit dipahami. Demokrasi untuk rakyat ternyata dipahami demokrasi untuk oligarkhi penguasa. Hukum harus diadil dipahami hukum untuk rakyat kecil. Ekonomi rakyat dipahami ekonomi untuk orang yang kaya.

Sehingga dapat dipahami acara-acara debat politik, dialog hukum lebih suka ditonton kaum menengah ke atas. Masyarakat lebih suka menonton televisi siaran sinetron, takhyul, mistik, gosip. Mereka lebih suka menonton siaran-siaran itu selain memang “ending”nya bikin lega didada, acara-acara politik maupun dialog hukum lebih bikin kesal dan sakit dada.

Dari alam inilah, kemudian Jokowi sadar. Tidak perlu menjual gagasan yang “wah-wah”, “ribet”, “canggih” ataupun yang hanya bisa dipahami oleh kalangan menegah atas. Jokowi kemudian menawarkan gagasan yang langsung dipahami oleh masyakarat. Maka model kampanya “kartu Sehat”, “kartu pintar” seakan-akan sihir yang menghipnotis rakyat. Rakyat seakan-akan disentakkan, kebutuhan yang “lalai” diurusi negara ternyata diperjuangkan oleh Jokowi. Rakyat kemudian “tersentuh”. Rakyat merasa “ada” pemimpin yang mau mendengarkan suara mereka. Rakyat “seakan-akan” bersama-sama dengan Jokowi untuk memenangkan Pilkada DKI Jakarta. Dari rasa inilah kemudian penulis memberikan perumpamaan Jokowi “memimpin dengan hati”.

Manajemen Sederhana

Bagaimana Jokowi “mengelola” gerbong politik menghadapi Pilkada DKI Jakarta ?. Tengoklah laporan dari berbagai media yang menyampaikan bagaimana Jokowi mengelola tim suksesnya. Tidak ada orang hebat. Tidak perlu ahli politik. Semuanya membaur. Semua relawan. Menyisihkan waktu, dana dan ide untuk mengembangkan gerbongnya. Ada tim relawan yang membangun posko dengan swadaya. Mengetuk pintu rumah-rumah dan meminta agar memilih Jokowi. Mengajak agar bersama-sama ikut Pilkada di DKI.

Manajemen yang memberikan kebebasan kepada tim relawan membuat Jokowi mudah menghadapi serangan yang bertubi-tubi. Pernyataan seperti “orang kampung”, “bukan muslim” justru menjadi amunisi yang kemudian malah berbalik memenangkan Jokowi. Rakyat kemudian sadar ternyata, kesederhanaan Jokowi mengalahkan berbagai kalkulasi ahli politik.

Dengan manajemen inilah kemudian menjadi rentang kendali mudah dijangkau, langsung dirasakan oleh rakyat, murah dan tentu saja effektif memenangkan Pilkada

Teladan Yang Nyata

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Jokowi tidaklah begitu dahysat. Hampir setiap politisi sering menyampaikannya. Namun yang dilupakan oleh politisi, apa yang disampaikan oleh Jokowi merupakan teladan yang sudah dipraktekkannya sehari-hari. Sudah menjadi rutinitas yang bagian yang tidak dipisahkan.

Baik cara memimpin, cara menyelesaikan masalah, inovasi berbagai persoalan sudah dibuktikkannya.

Di Solo sendiri, cara memindahkan pedagang kaki lima banyak menginspirasi berbagai kalangan. Cara ini effektif selain berhasil menjadikan kota Solo lebih manusiawi dan bermartabat juga tidak menimbulkan ekses. Dari cara-cara inilah kemudian rakyat menganggap apa yang disampaikan oleh Jokowi sesuai dengan apa yang telah dilakukan. Dalam kacamata inilah, kemudian pernyataan Jokowi merupakan tipikal Teladan yang memang benar-benar ada. Teladan yang Nyata.

Program Sederhana

Yang disampaikan Jokowi sebenarnya banyak dan memang berat untuk dikaji secara teknis dalam menyelesaikan berbagai masalah Jakarta. Masalah banjir, masalah transportasi, masalah kemacetan, masalah kendaraan dan sebagainya.

Namun dalam kemasan yang sering disampaikan oleh Jokowi di berbagai media massa terutama media sosial termasuk Youtube, program ini dikemas menjadi sederhana sehingga berbagai lapisan masyarakat kemudain mengerti dan mau turut berjuang dengan Jokowi.

Program ini kemudian dipahami secara sederhana. Dan merekapun percaya.

Namun yang ditunggu oleh masyarakat adalah program kesehatan dan program pendidikan. Jokowi mengemas menjadi “kartu sehat” dan “kartu pintar”. Program ini menyentuh dan langsung dirasakan sebagai kebutuhan utama dari rakyat. Masyarakat sudah melihatnya secara nyata di Solo.

Maka tanpa perdebatan panjang, mereka kemudian secara sadar mau mendukung Jokowi. Dan memang terbukti. Dalam hitungan hari, program ini berhasil dilaksanakan oleh Jokowi. Dan Jokowi sendiri yang langsung mengantarkannya ke rumah-rumah penduduk.

Tentu saja masih banyai pelajaran penting yang telah diajarkan oleh Jokowi. Namun kemenangan Jokowi tidak menjadi kemenangan rakyat Jakarta. Namun kemenangan kita semua. Ada harapan baru menatap Indonesia. 

Baca : Jokowi, Dahlan Iskan dan Hidayat Nur Wahid

Dimuat di Posmetro tanggal 18 November 2012

http://www.metrojambi.com/v1/home/kolom/12067-lagi-lagi-jokowi.html