22 Agustus 2013

opini musri nauli :NASIB POLITIK DJOKO SUSILO


Rasanya seluruh energi bangsa ini dikerahkan “melawan” koruptor. Sanksi yang berat, perampasan harta koruptor, dibikin lembaga yang superbody, diberi kewenangan yang luarbiasa, diseret dengan UU TPPU (tindak pidana pemberantasan pencucian uang), diarak dengan pakaian yang bertuliskan KPK. Rasanya sudah cukup usaha kita “melawan”nya.


Namun bukan menurun trend kejahatan korupsi. Bahkan semakin massif, menggila dan cenderung semakin tinggi nilai korupsi.

Apabila sebelumnya KPK berkonsentrasi terhadap para penyelenggara negara, kemudian berlanjut ke sektor keuangan negara (baik sektor pemasukkan negara maupun sektor pengeluaran negara), kemudian ke sektor penting (Pajak, Penegak hukum) kemudian ke sektor penggalian potensi SDA (Sawit, tambang) maka konsentrasi mulai dari upaya penerapan UU TPPU, perampasan harta dan terakhir paling teranyar adalah “pencabutan hak politik”.

Informasi ini penting untuk dijadikan bahan diskusi setelah hampir praktis seluruh energi untuk melawan korupsi justru “pelaku” korupsi tidak juga kapok. Setelah menerapkan UU TPPU (kasus Wa Ode, Nazaruddin), maka kemudian “menuntut” Hak politik terhadap mantan Kakorlantas Djoko Susilo.

Pencabutan hak politik baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih menjadi bagian dari Pasal 10 KUHP. Selain sanksi seperti hukuman mati, hukum seumur hidup, hukum penjara, denda, KUHP sendiri juga memberikan kewenangan kepada hakim untuk memutuskan untuk mencabut hak politik. Baik hak untuk memilih dan hak untuk dipilih.

Dalam sejarah hukum di Indonesia (menurut catatan penulis), hampir praktis penerapan sanksi pidana mengenai “hak politik” belum pernah diterapkan. Terhadap narapidana politik baik dalam kasus subversif, kasus pemberontakan PKI, kasus politik di masa orde baru sama sekali “belum pernah” dicabut hak politik.

Walaupun belum pernah dinyatakan dan diputuskan hak politik (baik memilih dan dipilih), namun dalam prakteknya sudah sering menimbulkan persoalan.

Sebagai contoh, masyarakat yang kemudian “dituduh” terlibat pemberontakan komunis (G-30 S/PKI) didalam UU sering dicabut haknya untuk memilih. Hak ini kemudian menjadikan persoalan diskriminasi. Mereka sering diperlakukan “tidak adil. Mereka tidak boleh “memilih”. Padahal tidak pernah ada sidang untuk memeriksa apalagi ada putusan pengadilan yang menyatakan “mencabut hak untuk memilih

MK kemudian telah “menganulir” Menurut MK, hak ini tidak boleh “diambil” oleh negara dengan alasan politik. Hak memilih harus dicabut berdasarkan keputusan Pengadilan. Tidak boleh dicabut secara politik.

Begitu hak untuk dipilih. Sebelum dicabut oleh MK, banyak jabatan politik yaitu jabatan untuk dipilih sering dicantumkan didalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, untuk menjadi angota DPR atau menjadi Kepala Daerah “tidak pernah melakukan perbuatan pidana yang ancamannya paling rendah 5 tahun”. MK kemudian menganurnya sehingga hak berpolitik untuk dipilih tidak boleh diterapkan kecuali oleh putusan pengadilan.

Jadi walaupun belum pernah diterapkan ternyata sering menimbulkan “ketidakadilan” sehingga MK dengan menyatakan pencabutan hak politik baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih harus berdasarkan keputusan pengadilan.

Kembali kepada kasus Djoko Susilo, Kakorlantas, tuntutan Jaksa penuntut Umum KPK terhadap Djoko Susilo merupakan salah “ganjaran” yang keras dari KPK terhadap terdakwa korupsi. Selain Kakorlantas merupakan salah satu lembaga yang “harus dibersihkan” dari korupsi, persoalan Kakorlantas membuat hubungan antara KPK dan Mabes Polri sempat memanas. Mabes Polri yang merasa “dikerjain” (waktu penggeledahan) kemudian melakukan perlawanan. Baik dengan cara menghalang-halangi penggeledahan, upaya penangkapan Noval Baswedan dan berbagai upaya yang membuat Presiden SBY harus turun tangan.

Selain itu, harta yang “ditumpuk” Djoko Susilo membuat publik tercengang. Setiap hari berbagai harta kekayaan yang didapatkan dari “tidak wajar” disampaikan oleh media massa. Entah berapa banyak harta yang “berserak”. Baik apartemen, rumah, travel, bis, permata yang tidak terhitung jumlahnya. Bahkan harta-harta itu sudah banyak diatasnamakan kepada orang lain.

Namun yang sering dilupakan oleh pelaku kejahatan. Setiap kejahatan selalu meninggalkan “jejak”. Dan teori ini masih relevan untuk “mengungkapkan” kejahatan korupsi.

Belum lagi cara Djoko Susilo yang mengaburkan persidangan dengan cara “mendesain” saksi-saksi sehingga banyak saksi yang kemudian mencabut keterangan di persidangan.

Cara-cara inilah yang kemudian membuat publik geram. Dan upaya penuntutan dari Jaksa Penuntut umum KPK salah satu bentuk dukungan publik kepada KPK kepada terdakwa kasus korupsi harus diberi hukuman setimpal.

Dan kasus Djoko Susilo telah menorehkan sejarah baru perkembangan hukum. Penjatuhan “pencabutan hak politik”.

Tinggal kita menunggu apa langkah selanjutnya dari KPK.