Rasanya seluruh energi
bangsa ini dikerahkan “melawan” koruptor. Sanksi yang
berat, perampasan harta koruptor, dibikin lembaga yang superbody,
diberi kewenangan yang luarbiasa, diseret dengan UU TPPU (tindak
pidana pemberantasan pencucian uang), diarak dengan pakaian yang
bertuliskan KPK. Rasanya sudah cukup usaha kita “melawan”nya.
Namun bukan menurun trend
kejahatan korupsi. Bahkan semakin massif, menggila dan cenderung
semakin tinggi nilai korupsi.
Apabila sebelumnya KPK
berkonsentrasi terhadap para penyelenggara negara, kemudian berlanjut
ke sektor keuangan negara (baik sektor pemasukkan negara maupun
sektor pengeluaran negara), kemudian ke sektor penting (Pajak,
Penegak hukum) kemudian ke sektor penggalian potensi SDA (Sawit,
tambang) maka konsentrasi mulai dari upaya penerapan UU TPPU,
perampasan harta dan terakhir paling teranyar adalah “pencabutan
hak politik”.
Informasi ini penting
untuk dijadikan bahan diskusi setelah hampir praktis seluruh energi
untuk melawan korupsi justru “pelaku” korupsi tidak juga
kapok. Setelah menerapkan UU TPPU (kasus Wa Ode, Nazaruddin),
maka kemudian “menuntut” Hak politik terhadap mantan
Kakorlantas Djoko Susilo.
Pencabutan hak politik
baik hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih menjadi bagian dari
Pasal 10 KUHP. Selain sanksi seperti hukuman mati, hukum seumur
hidup, hukum penjara, denda, KUHP sendiri juga memberikan kewenangan
kepada hakim untuk memutuskan untuk mencabut hak politik. Baik hak
untuk memilih dan hak untuk dipilih.
Dalam sejarah hukum di
Indonesia (menurut catatan penulis), hampir praktis penerapan
sanksi pidana mengenai “hak politik” belum pernah
diterapkan. Terhadap narapidana politik baik dalam kasus subversif,
kasus pemberontakan PKI, kasus politik di masa orde baru sama sekali
“belum pernah” dicabut hak politik.
Walaupun belum pernah
dinyatakan dan diputuskan hak politik (baik memilih dan dipilih),
namun dalam prakteknya sudah sering menimbulkan persoalan.
Sebagai contoh,
masyarakat yang kemudian “dituduh” terlibat pemberontakan
komunis (G-30 S/PKI) didalam UU sering dicabut haknya untuk memilih.
Hak ini kemudian menjadikan persoalan diskriminasi. Mereka sering
diperlakukan “tidak adil. Mereka tidak boleh “memilih”.
Padahal tidak pernah ada sidang untuk memeriksa apalagi ada putusan
pengadilan yang menyatakan “mencabut hak untuk memilih”
MK kemudian telah
“menganulir” Menurut MK, hak ini tidak boleh “diambil”
oleh negara dengan alasan politik. Hak memilih harus dicabut
berdasarkan keputusan Pengadilan. Tidak boleh dicabut secara politik.
Begitu hak untuk dipilih.
Sebelum dicabut oleh MK, banyak jabatan politik yaitu jabatan untuk
dipilih sering dicantumkan didalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai contoh, untuk menjadi angota DPR atau menjadi Kepala Daerah
“tidak pernah melakukan perbuatan pidana yang ancamannya paling
rendah 5 tahun”. MK kemudian menganurnya sehingga hak
berpolitik untuk dipilih tidak boleh diterapkan kecuali oleh putusan
pengadilan.
Jadi walaupun belum pernah diterapkan
ternyata sering menimbulkan “ketidakadilan” sehingga MK
dengan menyatakan pencabutan hak politik baik hak untuk memilih
maupun hak untuk dipilih harus berdasarkan keputusan pengadilan.
Kembali kepada kasus
Djoko Susilo, Kakorlantas, tuntutan Jaksa penuntut Umum KPK terhadap
Djoko Susilo merupakan salah “ganjaran” yang keras dari
KPK terhadap terdakwa korupsi. Selain Kakorlantas merupakan salah
satu lembaga yang “harus dibersihkan” dari korupsi,
persoalan Kakorlantas membuat hubungan antara KPK dan Mabes Polri
sempat memanas. Mabes Polri yang merasa “dikerjain” (waktu
penggeledahan) kemudian melakukan perlawanan. Baik dengan cara
menghalang-halangi penggeledahan, upaya penangkapan Noval Baswedan
dan berbagai upaya yang membuat Presiden SBY harus turun tangan.
Selain itu, harta yang
“ditumpuk” Djoko Susilo membuat publik tercengang. Setiap
hari berbagai harta kekayaan yang didapatkan dari “tidak wajar”
disampaikan oleh media massa. Entah berapa banyak harta yang
“berserak”. Baik apartemen, rumah, travel, bis, permata
yang tidak terhitung jumlahnya. Bahkan harta-harta itu sudah banyak
diatasnamakan kepada orang lain.
Namun yang sering dilupakan oleh pelaku
kejahatan. Setiap kejahatan selalu meninggalkan “jejak”.
Dan teori ini masih relevan untuk “mengungkapkan”
kejahatan korupsi.
Belum lagi cara Djoko Susilo yang
mengaburkan persidangan dengan cara “mendesain”
saksi-saksi sehingga banyak saksi yang kemudian mencabut keterangan
di persidangan.
Cara-cara inilah yang kemudian membuat
publik geram. Dan upaya penuntutan dari Jaksa Penuntut umum KPK salah
satu bentuk dukungan publik kepada KPK kepada terdakwa kasus korupsi
harus diberi hukuman setimpal.
Dan kasus Djoko Susilo
telah menorehkan sejarah baru perkembangan hukum. Penjatuhan
“pencabutan hak politik”.
Tinggal kita menunggu apa langkah
selanjutnya dari KPK.