Beberapa hari yang lalu,
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI selanjutnya sering
disebut dengan istilah MK) telah memutuskan mengenal pasal 33 KUHP.
Putusan ini menarik perhatian kalangan dunia hukum selain karena
pertimbangan yang disampaikan oleh MK, putusan ini akan banyak
mewarnai dunia penegakkan hukum di Indonesia (law enforcement).
Rumusan pasal 335 KUHP
banyak menimbulkan polemik. Selain karena pasal ini sering digunakan
terhadap para penentang negara, pasal ini juga sering disorot ketika
diterapkan dalam berbagai perselisihan antara pihak.
Didalam KUHP dirumuskan
pasal 335 (1) Diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Butir (1) barang siapa secara melawan
hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau
membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain
maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman
kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain.
Sedangkan butir (2) barang siapa memaksa
orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu
dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
Ayat (2) Dalam hal sebagaimana
dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan
orang yang terkena.
Menurut R. Soesilo dalam
Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal, Politeia, Bogor, bahwa yang harus
dibuktikan dalam pasal ini ialah bahwa ada orang yang dengan
melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu
atau membiarkan sesuatu.
Paksaan itu dilakukan
dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau perbuatan yang
tidak menyenangkan ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain
atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan baik terhadap orang
itu, maupun terhadap orang lain; Paksaan itu dilakukan dengan ancaman
menista atau ancaman menista dengan tulisan;
Menurut R. Soesilo, yang
dimaksud dengan kekerasan telah diatur didalam pasal 89 bahwa
menurut pasal 89 yang dapat disamakan dengan melakukan kekerasan
yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi atau lemah;
Bahwa yang dimaksud dengan melakukan kekerasan artinya “mempergunakan
tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah”.
Misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata,
menyepak dan menendang.
Memaksa adalah menyuruh
orang melakukan sesuatu sedemikian rupa, sehingga orang itu melakukan
sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri; Paksaan dalam ancaman
tersebut haruslah melawan hukum
Maka terhadap orang yang
telah diperlakukan dengan ancaman tersebut, orang tersebut haruslah
dalam posisi yang tidak melawan hukum dan orang yang melakukan
perbuatan tersebut haruslah melakukan perbuatan melawan hukum;
Didalam berbagai
literatur, melawan hukum dapat dipergunakan kata “unlawfulness”
karena adanya perbedaan pendapat dalam pemakaian istilah dalam bahasa
Belanda. Sebagian sarjana memakai istilah “onrechtmatige daad”
dan sebagian lagi memakai kata “wederrechtelijk”
Unlawfullness dalam
bahasa Inggeris dapat disinonimkan dengan “illegal’
yang dalam bahasa Indonesia selalu diterjemahkan dengan “tidak
sah” oleh Drs. P.A.F Lamintang SH, dipakai istilah “secara
sah” yang menurut Hoge Raad “zonder eigenrecht” (tanpa
hak yang ada pada diri seseorang) atau menurut
Hazewinckel-Suringa “Zonder bevoegdheid” (tanpa kewenangan)
Meskipun suatu perbuatan
telah memenuhi semua syarat unsur rumusan UU, tetapi jika sifat dari
unlawfullness atau wederrechttelijk belum terbukti, maka pelaku tidak
dapat dihukum.
Maka “wederrechttelijk”
itu didalam delik, apabila kita lihat dalam pasal yang dituduhkan,
maka secara tegas dirumuskan sebagai komponen atau unsur yang
merupakan komponen atau unsur dari delik tersebut.
Yang dimaksud dengan
klacht delicten atau delik aduan adalah delik yang telah dirumuskan
didalam pasal-pasal. Delik ini hanya dapat dituntut apabila adanya
suatu pengaduan dari orang yang merasa dirugikan atau “delicten
allen op klachte vervolgbaar” atau “Antragsdelikte”.
Dalam
delik aduan, tempo yang dimaksud dalam pasal 74 ayat 1 K.U.H.P.
dihitung sejak yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang
dilakukan, bukan sejak ía mengetahui benar /tidaknya perbuatan yang
dilakukan.Putusan MA. No. 57 K/kr/1968 tanggal 15 Februari 1969.
Pemeriksaan
yang tidak memenuhi syarat klacht delict (delik
aduan) dari korban atau orang yang disebut dalam pasal delik tersebut
maka dakwaan tidak dapat diterima.
Dalam putusan No.: 675
K/Pid/1985 tanggal 4 Agustus 1987 yang memperbaiki putusan bebas
(vrijspraak) dari Pengadilan Negeri Ende No.: 15/Pid.B/1984 tanggal
26 Maret 1985, MA telah memberi kualifikasi perbuatan pidana yang
tidak menyenangkan yaitu: “Dengan sesuatu perbuatan, secara melawan
hukum memaksa orang untuk membiarkan sesuatu.” Artinya, ada
rangkaian perbuatan terdakwa yang bersifat melawan hukum yang
melahirkan akibat yaitu orang lain atau korban tidak berbuat apa-apa
sehingga terpaksa membiarkan terjadinya sesuatu sedang dia (korban)
tidak setuju atau tidak mau terjadinya sesuatu tersebut, baik karena
dia tidak suka maupun karena dia tidak membolehkan terjadinya sesuatu
tersebut; akan tetapi dia tidak mempunyai kemampuan fisik dan psikis
untuk menolak, menghalangi, menghindar dari terjadinya perbuatan yang
bersifat melawan hukum tersebut.
Dalam prakteknya,
penerapan pasal 335 KUHP oleh Mahkamah Agung R.I. (MA) akan
menekankan pada penafsiran terhadap “unsur paksaan”
sebagai unsur utama yang harus ada dalam rangkaian perbuatan yang
tidak menyenangkan. Unsur paksaan, menurut MA, tidak selalu
diterjemahkan dalam bentuk paksan fisik, tapi dapat pula dalam bentuk
paksaan psikis. (www.hukumonline.com)
Nah. Dalam prakteknya,
masih banyak ditemukan penerapan pasal 335 KUHP yang keliru
ditafsirkan oleh penegak hukum baik di tingkat kepolisian, penuntutan
maupun dalam berbagai putusan pengadilan. Sehingga tidak salah
kemudian, kegeraman dari ahli hukum terhadap kekeliruan penerapan
pasal 335 KUHP di tengah masyarakat.
Publik kemudian sering
“menuduh” pasal-pasal ini kemudian dipelintir sehingga sering
juga disebut sebagai pasal “karet'. Sering dikenakan terhadap
suara-suara yang kritis atau pihak yang berseberangan.
Pasal-pasal ini sering
disandingkan dengan pasal-pasal yang mudah dilaksanakan oleh penyidik
seperti pasal 134 KUHP, pasal 155 KUHP ataupun pasal 160 KUHP. Entah
berapa banyak korban aktivitis dikenakan akibat penerapan pasal
tersebut. Sehingga tidak salah kemudian pasal ini kemudian dikritik
dan menjadi persoalan dalam ilmu hukum pidana.
Sebagai contoh perdebatan
tentang tindak pidana “penghinaan” yang kemudian
digabungkan dengan pasal 335 KUHP. Pasal secara subtansi tindak
pidana ini berbeda sekali. Namun menggunakan pasal 335 KUHP dengan
“target” bisa dilakukan penahanan sebagaimana diatur
didalam pasal 21 KUHAP. Sehingga ketika di persidangan kemudian
tersangka bebas, namun telah mengalami penahanan yang cukup lama.
Sehingga tidak salah
ketika MK memutuskan dengan “Menyatakan frasa
“sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan”
dalam pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP bertentangan dengan UUD 1945
dan “ Menyatakan frase “sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan” tidak
mempunya kekuatan hukum mengikat.
Sehingga pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP menjadi menyatakan “Barang
siapa melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak
melakukan atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan atau
dengan memakai ancaman kekerasan baik terhadap orang itu maupun orang
lain” kemudian
disambut publik dengan antusias. Publik kemudian memberikan
apresiasi. Sehingga ke depan kemudian hukum tidka dijadkan sebagai
alat untuk “menindas”
atau hukum dijadikan “alat”
sebagai “penekan'.
Melihat
pertimbangan yang telah disampaikan dalam putusannya, MK memandang
KUHP sebagai produk hukum yang bersifat nasional. KUHP harus
dipandang dan dipergunakan sebagai kitab Undang-undang sebagai negara
yang merdeka dan demokratis. KUHP tidak menjadi alat kolonial yang
menyelesaikan berbagai perselisihan namun tetap menempatkan kolonial
Belanda sebagai manusia privilege.
Sekali
lagi kita menyambut dengna baik setelah sebelumnya MK juga memutuskan
pasal-pasal seperti pasal 134 KUHP, pasal 154 KUHP dan pasal 160
KUHP.
Dari
ranah ini kemudian, apresiasi disampaikan ke MK yang terus mengawal
berbagai perundang-undangan yang nyata-nyata bertentangan dengan
demokrasi, bertentangan dengan konstitusi. Dan yang pasti
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum.