PASAL
PENEBAR KEBENCIAN
...
bukan 1915, 1918, apalagi 1946, sebagaimana kebanyakan literatur
hukum pidana di Indonesia mengutip. Tetapi, 7 Januari 1914, persis
seabad yang lalu, haatzaai artikelen (pasal penebar kebencian)
diperkenalkan ke tanah Hindia Belanda, melalui pasal 63a dan 63b.
Aturan yang dibuat di s-Gravenhage/Den Haag itu adalah Koninklijk
Besluit no. 28, Staadsblad van Nederlandsch-Indies No. 205, soal
amandemen Wetboek van Strafrecht voor Europeanen in
Nederlandsch-Indie. 12 Februari 1914, kemudian AWF Idenburg (Gubernur
Jenderal) menyusupkan pasal itu ke WvS v Ned. Indies, melalui pasal
66a dan 66b. Yang membedakan di dua aturan itu cuma satu:
diskriminasi hukuman buat kaum pribumi kerja paksa dengan rantai di
tubuhnya.
Status
Facebook dari Herlambang P. Wiratraman, Presiden Asosiasi Filsafat
Hukum Indonesia menarik penulis. Dengan sedikit “menggugat”
- kesan yang penulis tangkap, Herlambang “mempersoalkan”
mulai diterapkannya pasal-pasal haatzaai artikelen (pasal penebar
kebencian) bukan tahun 1915, 1918 tapi 7 Januari 1914. Persis
“seabad” yang lalu.
Peristiwa
ini penting dilihat dari sejarah hukum pidana di Indonesia. Begitu
pentingnya pasal ini maka “gugatan” Herlambang terlalu
sayang dilewatkan menjadi peristiwa biasa. Apalagi “cuma”
sekedar status facebook.
Informasi
yang penting yang telah disampaikan Herlambang akan “memperbarui
catatan yang selama ini praktis “tercecer” dari
pengetahuan kita di dalam perkembangan hukum pidana.
Pertama.
Memang diakui “kesulitan” para sarjana hukum di Indonesia
(termasuk penulis), membaca literatur hukum di Indonesia yang
sebagian besar menggunakan bahasa Belanda. Informasi penting yang
disampaikan oleh Herlambang haruslah dilihat dari berbagai KUHP
berbagai penulis.
Sebagai
informasi “penting” dengan melampirkan “tulisan”
Belanda, penulis akan melihat rumusan kata-kata yang dilampirkan dan
tampilan JPEG, maka penulis “menelusuri” dalam pasal-pasal
didalam KUHP. Dengan scooping sederhana, maka kita akan
“menangkap” pesan dari Herlambang.
Kedua.
Rumusan pasal haatzaai artikelen dengan mudah kita padankan dengan
pasal 154 – pasal 157 KUHP.
Menurut
riwayatnya, KUHP Indonesia berasal dari Het Wetboek van Strafrecht,
lazim disingkat WvS. Ketika Indonesia merdeka, kitab peninggalan
Belanda itu diberlakukan melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1946.
Wvs
sendiri merupakan Staatsblad No. 57, mulai berlaku pada tanggal 1 Mei
1848 berdasarkan Pengumuman Gubernur Jenderela tanggal 3 Desember
1847 (Soetanyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum
Nasional – Dinamika Sosial – Politik dalam perkembangan Hukum di
Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 40)
Nah.
Ternyata KUHP yang merupakan padanan dari Wvs ternyata diselipkan
pasal-pasal haatzaai artikelen melalui stb 205-206. Informasi
“penting” dari Herlambang dengan tepat menyampaikan
tanggal 7 Januari 1914 merupakan informasi yang menarik untuk
menambah bacaan kita tentang pasal 154 – pasal 157 KUHP.
Ketiga.
Dalam berbagai praktek peradilan, pasal 154 dan pasal 156 KUHP telah
dipertimbangkan berbagai putusan di Mahkamah Agung (Yurisprudensi).
Misalnya
perbuatan “mengeluarkan
pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan” dalam pasal 154 dan
156 K.U.H.P. diartikan oleh Mahkamah Agung sebagai pengeluaran
pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan dalam bentuk penghinaan
sebagaimana dimaksudkan dalam Titel XVI Buku Kedua K.U.H.P.
Pengertian tersebut sebagai pengeluaran pernyataan dalam bentuk
penghinaan tidak lagi memperkenankan suatu penafsiran secara
luas dan tidak lagi menyinggung secara jauh kebebasan materiil
untuk menyatakan pendapat (Yurisprudensi No. 71 K/Kr/1973)
Perbuatan
“mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan”
dalam pasal 154 dan 156 K.U.H.P. diartikan oleh Mahkamah Agung
sebagai pengeluaran pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan
dalam bentuk penghinaan sebagaimana dimaksudkan dalam Titel XVI Buku
Kedua K.U.H.P. Pengertian tersebut sebagai pengeluaran pernyataan
dalam bentuk penghinaan tidak lagi memperkenankan suatu penafsiran
secara luas dan tidak lagi menyinggung secara jauh kebebasan
materiil untuk menyatakan pendapat (Yurisprudensi No. 71 K/Kr/1973)
Moejatno
sendiri merumuskan pasal 154 KUHP “Dahulu Perumusan pasal 154
KUHP adalah menimbulkan atau mempermudah timbulnya (opwekken if
bevorderen) perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap
pemerintah Hindia Belanda. Jadi suatu akibat tertentu yang dilarang
(materiil). Dalam tahun 1918 diganti dengan; dimuka umum mengatakan
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadpa pemerintah
Hinda Belanda (Formal). Kalau sudah dibuktikan terdakwa di muka umum
menyatakan perasaan seperti tersebut diatas, sudah cukup untuk adanya
tindak pidana trsebut. Dahulu harus dibuktikan adanya perasaan
permusuhan, kebencian dan penghinaan terhadap pemerintah di kalalngan
penduduk. Kemudian harus dibuktikan bahwa perasaan itu disebabkan
karean perbuatan terdakwa, hal-hal demikian tentunya cukup sukar.
(Moejatno, Azaz-azaz Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, Hal.
69)
Keempat.
Nasib pasal 154 dan pasal 155 KUHP sudah diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi berdasarkan nomor perkara 6/PUU-V/2007. Putusanya kemudian
menyatakan (1) Menyatakan Pasal 154 dan Pasal 155 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2) Menyatakan Pasal 154 dan
Pasal 155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Walaupun
MK sudah “membatalkan” pasal 154 – pasal 155 KUHP, namun
pendapat para ahli didalam pertimbangannya menarik untuk
didiskusikan.
Ketentuan
dalam Pasal 154 dan 155 KUHP tersebut diadopsi oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda dari Pasal 124a British Indian Penal Code
Tahun 1915 yang di India sendiri sudah dinyatakan tidak berlaku lagi
oleh Indian Supreme Court dan East Punjab High Court karena dinilai
bertentangan dengan Pasal 19 Konstitusi India tentang kebebasan untuk
memiliki dan menyatakan pendapat. Sementara di Belanda sendiri,
ketentuan demikian juga dipandang tidak demokratis karena
bertentangan dengan gagasan freedom of expression and opinion,
sehingga hanya dapat diberi toleransi untuk diberlakukan di daerah
jajahan. (Keterangan Dr. Jayadi Damanik,
SP. M.Si. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-V/2007 yang
diajukan oleh Dr. Panji Utomo yang pada pokoknya mempersoalkan pasal
154 KUHP, 155 KUHP Hal. 41)
Bahkan,
pada saat munculnya ide untuk memasukkan ketentuan demikian ke dalam
KUHP Belanda pada abad ke-19, Menteri Kehakiman Belanda ketika itu
secara terang-terangan menyatakan penolakan terhadap usul demikian
dengan mengatakan, “De ondergeteekende zou deze bepalingen, welke
op zichzelf te verklaren zijn door de behoefte van een koloniale
samenleving, zeker niet voor het Rijk in Europa willen overnemen”
(Peraturan di bawah ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku
bagi kebutuhan masyarakat kolonial, jelas tidak diperuntukkan bagi
negara-negara di Eropa). [vide Prof. Mr. J.M.J. Schepper, “Het
gevaar voor de vrijheid van godsdienstige belijdenis te duchten van
het in artikel 156 No. 1 SW. Omschreven haatzaaidelict”, T. 143,
halaman 581-582].
Dengan
demikian, nyatalah bahwa ketentuan Pasal 154 dan 155 KUHP, menurut
sejarahnya, memang dimaksudkan untuk menjerat tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan di Hindia Belanda (Indonesia).
Tidak salah kemudian pasal-pasal ini kemudian bertentangan dengan
konstitusi. Dan berdasarkan putusan MK, pasal ini kemudian dicabut.
Informasi
yang disampaikan oleh Herlambang “memperkaya”
gagasan kita membaca pasal-pasal ini.