07 Januari 2014

opini musri nauli : Membaca Kenaikan Harga LPG



Belum usai rasa capek penulis ketika melihat sebuah berita tayangan di televisi “kekagetan” Presiden SBY mengenai kenaikan harga LPG 12 kg. Kekagetan penulis tidak sama dengan “kekagetan” SBY yang “mengaku tidak mengetahui kenaikan LPG 12 kg”.
Selama 2 hari kemudian kita melihat melodrama mendayu-dayu bagaimana berita “ketidaktahuan” SBY, penting atau tidak naiknya LPG 12 kg hingga berbagai peristiwa silih berganti.

Penulis tidak terjebak dengan issu kenaikan LPG 12 kg. Selain karena sudah pasti “Pemerintah akan menunjukkan “keseriusan” akan mengikuti Perintah SBY, issu itu sudah akan menjadi bola liar yang akan mudah ditangkap dari berbagai sudut kepentingan politik.

Pertama. Pertanyaan sederhana pasti muncul. Apakah mungkin kenaikan harga LPG 12 kg tidak diketahui Presiden SBY sehingga SBY menyampaikan kekagetannya di twitter dan kemudian menggelar sidang kabinet terbatas ?

Apabila disampaikan pertanyaan itu, maka sungguh aneh, inkoordinasi, mustahil, segala sesuatu yang berkaitan dengan publik, Presiden sebagai kepala Pemerintahan yang pemegang saham mayoritas di Pertamina tidak mengetahuinya ?

Pertamina sebagai BUMN merupakan mandat pasal 33 ayat (3) UUD dalam pengelolaan Migas di Indonesia. Pemerintah kemudian menugaskan Menteri Negara BUMN sebagai pemegang mayoritas.

Tentu saja. Pertanyaan itu tidak pantas disampaikan. Rasanya sudah pasti Pemerintah tidak mengetahuinya.

Sebagai bukti, Pertamina dengan runut dan jelas telah memaparkan proses dan kronologis yang panjang sebelum dilakukan kenaikan harga LPG 12 kg.

Penjelasan resmi dari Pertaminan kemudian membantahnya apabila Pemerintah tidak mengetahui proses dan mekanisme sebelum kenaikan.

Kedua. Bagaimana mungkin seorang Presiden sampai tidak mengetahui perkembangan informasi yang begitu penting yang langsung berdampak kepada masyarakat secara luas ?

Pertanyaan itu sungguh-sungguh tidak pantas disampaikan apabila mekanisme dan check balance informasi yang berkembang di seputar istana begitu baik.

Ketiga. Apakah bisa ada tuduhan serius, ketika kenaikan harga LPG 12 kg dilemparkan ke publik, namun ternyata mendapatkan penolakan sehingga harga kemudian “diturunkan” agar tidak menjadi bola liar.

Keempat. Perdebatan penting atau tidak kenaikan harga LPG 12 kg sudah menjadi ranah yang tidak menarik. Terlepas dari angka-angka yang telah dipaparkan berbagai pihak, menurut penulis, issu ini “harus diredam” oleh SBY agar tidak menjadi bola liar yang akan berdampak kepada SBY sendiri.

Kelima. Lantas mengapa issu-issu yang begitu sensitif “dilemparkan” oleh SBY melalui twitternya dan kemudian “menggelar” sidang kabinet terbatas ?

Dari pendekatan ini, kening penulis berkerut. Mengapa SBY begitu “lemah” dan tidak menggunakan kekuasaannya sebagai Presiden untuk menyelesaikannya dengan baik. Mengapa melontarkannya terlebih dahulu kepada publik barulah diselesaikan pekerjaannya.

Mengapa SBY tidak meniru langkah Jusuf Kalla yang langsung bekerja barulah menyampaikannya kepada publik. Kita masih ingat dengan langkah Jusuf Kalla yang “memerintahkan” Kapolri untuk menangkap Robert Tantular dalam kasus Bank Century. Dan publik kemudian puas dengan langkah Jusuf Kalla justru bukan karena “akan menangkap” tapi justru mendapatkan laporan lengkap setelah Kapolri menangkap Robert Tantular.

Keenam. Tentu saja banyak asumsi peristiwa yang saling bersinggungan sehingga kadang-kadang penulis bingung dengan berbagai langkah SBY.

Sudah saatnya di masa tahun terakhir SBY memimpin republik Indonesia, cara-cara dan status “lebay” kayak begini harus dihentikan. Tidak elok sebagai pemimpin yang memimpin negara sebesar Indonesia dengan cara begini.

Tentu saja, banyak yang berpendapat. Khan sudah juga upaya dari SBY untuk menurunkan harga LPG 12 kg. Namun peristiwa ini tidak boleh dipandang sebagai peristiwa politik yang biasa.

Kita masih ingat dengan rencana pengangkatan Anggito Abimayu sebagai Wakil Menteri Keuangan setelah “kepergian” Sri Mulyani.

Anggita Abimayu tidak dilantik karena “belum memenuhi persyaratan” karena kekurangtelitian dari Sekkab.

Kita juga masih ingat berbagai peristiwa yang justru memperlihatkan bagaimana buruknya manajemen di sekitar istana.

Sekali lagi peristiwa ini tidak boleh dipandang dengan sederhana.

Lantas apa peristiwa yang bisa kita tarik sebagai bahan untuk perbaikan ?

Pertama. Dalam hukum administrasi kenegaraan, hampir bisa dipastikan, peristiwa demi peristiwa di masa SBY merupakan masa yang paling buruk. Kontrol terhadap berbagai kekuasaan di sekitar istana begitu lemah. Kurang berjalannya koordinasi antar kementerian.

Kedua. Tidak ada mekanisme dan controlling di seputaran Kementerian di sekeliling Presiden. Begitu buruknya mekanisme dan controlling menyebabkan seorang Presiden tidak dapat melakukan “tracking” pembenahan managemen.

Padahal di dunia yang sudah sangat maju, berbagai perangkat dan teknologi telah dipersiapkan sehingga dapat dipergunakan dengan baik.

Ketiga. SBY tidak perlu mengeluarkan “rencana keputusan” dan status yang “seakan-akan” berpihak kepada rakyat. Padahal dengan kekuasaannya yang begitu besar yang diberikan oleh UUD 1945, SBY sebagai kepala pemerintahan dapat langsung “memerintahkan” untuk membereskan berbagai persoalan.

Bandingkan dengan aktifnya Barack Obama dalam status di Facebook yang tidak pernah “status” Lebay, namun selalu membangkitkan optimisme sehingga setiap pagi selalu mengajak kita menatap pagi hari dengan harapan baru.