Belum
usai rasa capek penulis ketika melihat sebuah berita tayangan di
televisi “kekagetan” Presiden SBY mengenai kenaikan harga LPG 12
kg. Kekagetan penulis tidak sama dengan “kekagetan” SBY yang
“mengaku tidak mengetahui kenaikan LPG 12 kg”.
Selama
2 hari kemudian kita melihat melodrama mendayu-dayu bagaimana berita
“ketidaktahuan” SBY, penting atau tidak naiknya LPG 12 kg hingga
berbagai peristiwa silih berganti.
Penulis
tidak terjebak dengan issu kenaikan LPG 12 kg. Selain karena sudah
pasti “Pemerintah akan menunjukkan “keseriusan” akan mengikuti
Perintah SBY, issu itu sudah akan menjadi bola liar yang akan mudah
ditangkap dari berbagai sudut kepentingan politik.
Pertama.
Pertanyaan sederhana pasti muncul. Apakah mungkin kenaikan harga LPG
12 kg tidak diketahui Presiden SBY sehingga SBY menyampaikan
kekagetannya di twitter dan kemudian menggelar sidang kabinet
terbatas ?
Apabila
disampaikan pertanyaan itu, maka sungguh aneh, inkoordinasi,
mustahil, segala sesuatu yang berkaitan dengan publik, Presiden
sebagai kepala Pemerintahan yang pemegang saham mayoritas di
Pertamina tidak mengetahuinya ?
Pertamina
sebagai BUMN merupakan mandat pasal 33 ayat (3) UUD dalam pengelolaan
Migas di Indonesia. Pemerintah kemudian menugaskan Menteri Negara
BUMN sebagai pemegang mayoritas.
Tentu
saja. Pertanyaan itu tidak pantas disampaikan. Rasanya sudah pasti
Pemerintah tidak mengetahuinya.
Sebagai
bukti, Pertamina dengan runut dan jelas telah memaparkan proses dan
kronologis yang panjang sebelum dilakukan kenaikan harga LPG 12 kg.
Penjelasan
resmi dari Pertaminan kemudian membantahnya apabila Pemerintah tidak
mengetahui proses dan mekanisme sebelum kenaikan.
Kedua.
Bagaimana mungkin seorang Presiden sampai tidak mengetahui
perkembangan informasi yang begitu penting yang langsung berdampak
kepada masyarakat secara luas ?
Pertanyaan
itu sungguh-sungguh tidak pantas disampaikan apabila mekanisme dan
check balance informasi yang berkembang di seputar istana begitu
baik.
Ketiga.
Apakah bisa ada tuduhan serius, ketika kenaikan harga LPG 12 kg
dilemparkan ke publik, namun ternyata mendapatkan penolakan sehingga
harga kemudian “diturunkan” agar tidak menjadi bola liar.
Keempat.
Perdebatan penting atau tidak kenaikan harga LPG 12 kg sudah menjadi
ranah yang tidak menarik. Terlepas dari angka-angka yang telah
dipaparkan berbagai pihak, menurut penulis, issu ini “harus
diredam” oleh SBY agar tidak menjadi bola liar yang akan berdampak
kepada SBY sendiri.
Kelima.
Lantas mengapa issu-issu yang begitu sensitif “dilemparkan” oleh
SBY melalui twitternya dan kemudian “menggelar” sidang kabinet
terbatas ?
Dari
pendekatan ini, kening penulis berkerut. Mengapa SBY begitu “lemah”
dan tidak menggunakan kekuasaannya sebagai Presiden untuk
menyelesaikannya dengan baik. Mengapa melontarkannya terlebih dahulu
kepada publik barulah diselesaikan pekerjaannya.
Mengapa
SBY tidak meniru langkah Jusuf Kalla yang langsung bekerja barulah
menyampaikannya kepada publik. Kita masih ingat dengan langkah Jusuf
Kalla yang “memerintahkan” Kapolri untuk menangkap Robert
Tantular dalam kasus Bank Century. Dan publik kemudian puas dengan
langkah Jusuf Kalla justru bukan karena “akan menangkap” tapi
justru mendapatkan laporan lengkap setelah Kapolri menangkap Robert
Tantular.
Keenam.
Tentu saja banyak asumsi peristiwa yang saling bersinggungan sehingga
kadang-kadang penulis bingung dengan berbagai langkah SBY.
Sudah
saatnya di masa tahun terakhir SBY memimpin republik Indonesia,
cara-cara dan status “lebay” kayak begini harus dihentikan. Tidak
elok sebagai pemimpin yang memimpin negara sebesar Indonesia dengan
cara begini.
Tentu
saja, banyak yang berpendapat. Khan sudah juga upaya dari SBY untuk
menurunkan harga LPG 12 kg. Namun peristiwa ini tidak boleh dipandang
sebagai peristiwa politik yang biasa.
Kita
masih ingat dengan rencana pengangkatan Anggito Abimayu sebagai Wakil
Menteri Keuangan setelah “kepergian” Sri Mulyani.
Anggita
Abimayu tidak dilantik karena “belum memenuhi persyaratan” karena
kekurangtelitian dari Sekkab.
Kita
juga masih ingat berbagai peristiwa yang justru memperlihatkan
bagaimana buruknya manajemen di sekitar istana.
Sekali
lagi peristiwa ini tidak boleh dipandang dengan sederhana.
Lantas
apa peristiwa yang bisa kita tarik sebagai bahan untuk perbaikan ?
Pertama.
Dalam hukum administrasi kenegaraan, hampir bisa dipastikan,
peristiwa demi peristiwa di masa SBY merupakan masa yang paling
buruk. Kontrol terhadap berbagai kekuasaan di sekitar istana begitu
lemah. Kurang berjalannya koordinasi antar kementerian.
Kedua.
Tidak ada mekanisme dan controlling di seputaran Kementerian di
sekeliling Presiden. Begitu buruknya mekanisme dan controlling
menyebabkan seorang Presiden tidak dapat melakukan “tracking”
pembenahan managemen.
Padahal
di dunia yang sudah sangat maju, berbagai perangkat dan teknologi
telah dipersiapkan sehingga dapat dipergunakan dengan baik.
Ketiga.
SBY tidak perlu mengeluarkan “rencana keputusan” dan status yang
“seakan-akan” berpihak kepada rakyat. Padahal dengan kekuasaannya
yang begitu besar yang diberikan oleh UUD 1945, SBY sebagai kepala
pemerintahan dapat langsung “memerintahkan” untuk membereskan
berbagai persoalan.
Bandingkan
dengan aktifnya Barack Obama dalam status di Facebook yang tidak
pernah “status” Lebay, namun selalu membangkitkan optimisme
sehingga setiap pagi selalu mengajak kita menatap pagi hari dengan
harapan baru.