Beberapa
hari ini kita disuguhkan “kampungan”, “murahan”, “norak”
yang mendayu-dayu terhadap pemeriksaan Anas Urbaningrum (AU) sebagai
tersangka. Pemeriksaan AU sebagai tersangka “ditunggu”
kehadirannya di KPK. Hingga panggilan kedua, AU ternyata tidak
datang.
Dengan
kalimat yang normatif, AU mengirimkan Pengacara dan tim-nya untuk
“mempertanyakan” mengenai surat pemanggilannya. Lewat juru
bicaranya, mereka mempertanyakan kalimat “kasus Hambalang dan
kasus-kasus lainnya”. Dengan alasan kalimat itu membingungkan,
AU kemudian tidak datang.
Belum
selesai mengenai kalimat “kasus Hambalang dan kasus-kasus
lainnya”, juru bicara AU mengeluarkan pernyataan,
ketidakdatangan AU ke KPK juga dilatarbelakangi salah satu komisioner
KPK, Bambang Widjajanto ke Cikeas ditemani Wamenhumkam, Denny
Indrayana.
Penulis
kesulitan memahami langkah dan strategi yang digunakan AU dengan
menghindari panggilan KPK dengan alasan kalimat didalam surat
panggilan dan mengeluarkan pernyataan mengenai BW ke Cikeas.
Sebagai
tokoh politik yang cukup matang berpolitik, langkah dan pernyataan
itu justru membuat posisi AU menjadi sulit dan “terkesan”
pengecut.
Pertama.
Siapapun yang dipanggil penyidik baik sebagai saksi dan tersangka,
harus hadir. KUHAP sudah menegaskannya. Yang tidak datang selain
“tidak menghormati” proses hukum juga akan berdampak
secara hukum.
Tokoh
sekaliber AU yang tidak datang terhadap panggilan penyidik selain
“akan memberikan pendidikan hukum yang buruk”, juga
terkesan tidak konsistern dengan pernyataannya sendiri. Padahal AU
sendiri didalam berbagai kesempatan selalu menyatakan “menghormati
proses hukum”.
Belum
lagi didalam KUHAP, penyidik mempunyai kewenangan untuk “menghadirkan
secara paksa” siapapun yang tidak datang pemanggilan dari
penyidik.
Kedua.
Berbagai pernyataan seperti “gantung di monas”,
“menghormati proses hukum”, tidak terbukti. AU ternyata
tidak mencerminkan “petarung sejati” yang rela menghadapi
masalah dan commited dengan pernyataannya sendiri.
Selain
itu juga AU dianggap tidak konsisten dan “plintat-plintut”
Ini
berbeda dengan Akbar Tanjung (AT) salah satu mentor politik AU yang
siap menghadapi proses hukum dan tetap berkibar namanya di jagat
politik kontemporer.
Ketiga.
Strategi mempersoalkan kalimat didalam surat panggilan meruapakan
strategi yang kurang strategis. Selain memang tidak bermasalah
dilihat dari KUHAP, pertanyaan itu bisa disampaikan ketika didalam
pemeriksaannya di KPK.
Keempat.
Pernyataan juru bicara AU mengenai kedatangan BW ke Cikeas selain
kontraproduktif juga akan memberikan penilaian tersendiri kepada AU.
AU dianggap “tokoh yang paling pengecut” dalam pemeriksaan
di KPK. Publik akan terus mengingatnya.
Kelima.
Strategi mempersoalkan kalimat didalam surat pemanggilan dan
pernyataan BW di Cikeas meruapakan interpretasi yang tidak mendidik
di tengah masyarakat.
Keenam.
Ada upaya yang serius yang tengah digalang oleh AU dan kelompoknya
untuk menggiring dari persoalan hukum menjadi persoalan politik.
Dengan
menggiring persoalan hukum, selain memang bukan dunia AU, AU juga
sadar dan berhitung apabila proses hukum semakin menggelinding, maka
AU akan kalah telak.
Maka
AU kemudian memindahkan persoalan hukum menjadi “panggung
politik”, dunia yang sangat dikuasai oleh AU.
Tanda-tandanya
sudah kelihatan. Bagaimana upaya yang sangat sistematis dengan tidak
“mempersiapkan dalil-dalil bantahan secara hukum”,
memperlihatkan seakan-akan “korban dari Partai Demokrat”,
mengirim peluru “fitnah” terhadap BW, dan komisioner lainnya
yang kebetulan pernah menjadi KAJATI Jawa Timur dan tetap menampilkan
wajah yang cool dan tenang menghadapi proses hukum.
Strategi
ini mengingatkan serial novel Silat Kho Ping Ho yang mengeluarkan
jurus “mabuk”. Jurus yang digunakan ketika berbagai jurus
sudah dikeluarkan, namun dengan sekali tepok, sang jurus mabuk malah
terpental.
Namun
AU dan tim-nya lupa. KPK yang “digawangi” tokoh yang
mumpuni. Ada Abraham Samad (AS) yang terkenal “petarung”
tangguh. Belum lagi dibentengi oleh Bambang Widjajanto yang malang
melintang di dunia gerakan di LSM.
Menghadapi
kedua orang yang sudah terbukti “melewati” zaman sulit di
rezim orde Soeharto, AU saja sudah kesulitan. Apalagi kedua tokoh ini
“diberi Kewenangan” yang luar biasa di KPK.
Maka
strategi jurus mabuk dari AU dan kelompoknya hanya menghadapi AS akan
mudah dikalahkan. AS sudah terbukti “handal” menghadapi
dalam kasus Kakorlantas. Sebuah kasus yang cukup pelik menghadapi
pendukung di Mabes Kepolisian.
Bahkan
AS harus “langsung” menongkrongi seluruh tim untuk
mengamankan barang bukti di Kantor Kakorlantas.
AS
juga berhasil melewati hadangan para pendekar pendukung Gubernur
Banten. Dengan tenang, AS sendiri yang langsung memimpin pengamanan
kasus ini.
Bahkan
AS sendiri yang pasang badan untuk mengamankan penyidik Novel
Baswedan ketika “penyerbuan” kepolisian di KPK.
Belum
lagi ada BW yang sudah terbukti “piawai” dan cerdik
menghadapi berbagai kasus rumit. Sebagai tim dalam kasus pengungkapan
Munir, BW terbukti memberikan banyak warna pengungkapan kasus.
Padahal
sebelumnya dia sukses memimpin LBH Jayapura di bawah tekanan rezim
Soeharto pada saat itu AU masih “sibuk” mengurusi kuliah.
AS
dan BW merupakan tokoh-tokoh penting yang membuat KPK cukup
dihormati. Dengan mengeluarkan berbagai argumentasi hukum –
argumentasi yang tidak dipersiapkan oleh tim AU, AS dan BW
membawa KPK sebagai lembaga kredibel yang cukup terpercaya.
Maka
dengan melihat cara-cara yang dipamerkan oleh AU, penulis
menggelengkan kepala. Apakah AU tidak berhitung lagi dengan melihat
figur AS dan BW sehingga mengeluarkan strategi senaif itu ?
Dengan
kharismatik, AS dan BW dengan tim yang cukup solid membuat KPK sulit
ditembus dengan strategi-strategi murahan yang dipamerkan oleh AU dan
kelompoknya.