Malam
tadi, penulis bertemu dengan sahabat lama dari Kalimantan Timur.
Secara sekilas, dia menceritakan “sedikit' tentang Gunung Kelud
dari pendekatan mitologi Jawa.
Penulis
tertarik dengan cerita yang disampaikan. Sebagai bagian dari
“kekayaan” pengetahuan, bacaan kita tentang alam semesta masih
“dikuasai' bacaan pengetahuan modern.
Tentu
saja cerita yang disampaikan haruslah dilihat dari perspektif yang
berbeda. Pengetahuan yang disampaikan bisa menceritakan “sedikit'
pandangan kita mengenai alam semesta yang kadangkala luput dan
diabaikan dari pengamatan kita.
Meletusnya
Gunung Kelud sudah menjadi pembicaraan di berbagai media massa. Baik
online maupun cetak dan tayangan televisi.
Berbeda
dengan Gunung Sinabung yang “terlalu misteri', Gunung Kelud
mempunyai catatan yang cukup panjang.
Keunikan
dari Gunung Kelud, yang kerap juga disebut Gunung Kelut (1.731 m
dpl), sebenarnya memang terletak pada sulitnya memperkirakan kapan
gunung itu akan meletus. Gunung Kelud, berdasarkan survei Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, merupakan gunung api tipe
stratovolcano.
Dari
berbagai sumber disebutkan, Sejak abad ke-15, Gunung Kelud telah
memakan korban lebih dari 15.000 jiwa. Letusan gunung ini pada tahun
1586 merenggut korban lebih dari 10.000 jiwa.
Atas
dasar itu, sebuah sistem untuk mengalihkan aliran lahar telah dibuat
secara ekstensif pada tahun 1926 dan masih berfungsi hingga kini
setelah letusan pada tahun 1919 memakan korban hingga ribuan jiwa
akibat banjir lahar dingin menyapu pemukiman penduduk. Pada abad
ke-20, Gunung Kelud tercatat meletus pada tahun 1901, 1919, 1951,
1966, dan 1990.
Letusan
di 1919, termasuk yang paling mematikan karena menelan korban 5.160
jiwa, merusak sampai 15.000 ha lahan produktif karena aliran lahar
mencapai 38 km, meskipun di Kali Badak telah dibangun bendung penahan
lahar pada tahun 1905. Selain itu Hugo Cool pada tahun 1907 juga
ditugaskan melakukan penggalian saluran melalui pematang atau dinding
kawah bagian barat. Usaha itu berhasil mengeluarkan air 4,3 juta
meter kubik.
Tahun
2007 gunung kembali meningkat aktivitasnya.
Aktivitas
gunung ini meningkat pada akhir September 2007 dan masih terus
berlanjut hingga November tahun yang sama, ditandai dengan
meningkatnya suhu air danau kawah, peningkatan kegempaan tremor,
serta perubahan warna danau kawah dari kehijauan menjadi putih keruh.
Status awas dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi sejak 16 Oktober 2007 yang berimplikasi penduduk dalam radius
10 km dari gunung (lebih kurang 135.000 jiwa) yang tinggal di lereng
gunung tersebut harus mengungsi. Namun letusan tidak terjadi.
Dalam
mitologi Jawa Gunung Kelud sering juga disebutkan Lembu Sura.
Mitologi ini berdasarkan cerita Raja Brawijaya penguasa kerajaan
Majapahit, mempunyai seorang putri yang cantik yaitu Dyah Ayu
Pusparani. Putri ini memang benar-benar ayu sesuai dengan namanya.
Prabu
Brawijaya bingung memilih calon menantu. Lalu raja mengadakan
sayembara siapa yang bisa merentang busur sakti Kyai Garodayaksa dan
sanggup mengangkat gong Kyai Sekardelima, dialah yang berhak menikah
dengan Putri Pusparani.
Menjelang
akhir sayembara itu datang seorang pemuda berkepala lembu yaitu Raden
Lembu Sura atau Raden Wimba. Dia mengikuti sayembara itu dan berhasil
merentang busur serta mengangkat gong Kyai Sekardelima.
Melihat
kemenangan Lembu Sura, Putri Pusparani langsung meninggalkan
Sitihinggil. Ia sangat sedih karena harus menikah dengan pemuda yang
berkepala lembu. Dia tidak mau menikah dengan manusia berkepala
binatang, betapapun saktinya.
Putri
Pusparani disarankan mengajukan syarat kepada Lembu Sura. Syaratnya,
Raden Lembu Sura harus bisa membuat sumur di puncak gunung Kelud.
Raden
Wimba putra adipati Blambangan itu segera meninggalkan keraton
Majapahit menuju puncak Gunung Kelud. Dengan kesaktiannya, konon dia
mampu mengerahkan makhluk halus untuk membantunya menggali sumur di
puncak Gunung Kelud.
Akhirnya
Prabu Brawijaya menemukan cara. Lembu Sura harus ditimbun hidup-hidup
di dalam sumur itu. Kemudian Prabu Brawijaya menitahkan seluruh
prajurit yang menyertainya untuk menimbun sumur itu dengan
batu-batuan besar. Juga gundukan tanah yang ada di sekitar itu.
Sebentar saja sumur tadi telah rata seperti semula. Lembu Sura
tertimbun di dasarnya.
Lembu
Sura selalu mengeluarkan amarahnya. "Yoh, Kediri mbesuk bakal
pethuk piwalesku sing makaping-kaping, yaiku Kediri bakal dadi kali,
Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung".
Dalam
versi yang lain, adalah cerita dengan perempuan cantik Dewi Kilisuci
yang adalah anak Jenggolo Manik. Versi lain, ini adalah kisah tentang
Dyah Ayu Pusparani, putri dari Raja Brawijaya, penguasa tahta
Majapahit. Ada versi-versi lain tetapi inti cerita sama.
Terlepas
dari mitos Lembu Sura, tiga wilayah yang disebut dalam kutukannya itu
memang kemudian luluh lantak. Para ahli sejarah memperkirakan letusan
pada1586 yang menewaskan lebih dari 10.000 orang adalah akhir dari
sejarah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Tentu
saja, penulis hanya “melihat” gejala alam dari sudut pandang yang
lain. Pengetahuan lokal memandang “semesta” sedikit memberikan
gambaran. Bagaimana pengetahuan yang mereka ketahui berangkat dari
alam yang telah mengajarkannya. Dan cerita dari teman penulis
tersebut melengkapi pengetahuan lokal masyarakat didalam memandang
semesta.
Catatan
dari berbagai sumber