15 Februari 2014

opini musri nauli : MITOLOGI GUNUNG KELUD





Malam tadi, penulis bertemu dengan sahabat lama dari Kalimantan Timur. Secara sekilas, dia menceritakan “sedikit' tentang Gunung Kelud dari pendekatan mitologi Jawa.

Penulis tertarik dengan cerita yang disampaikan. Sebagai bagian dari “kekayaan” pengetahuan, bacaan kita tentang alam semesta masih “dikuasai' bacaan pengetahuan modern.

Tentu saja cerita yang disampaikan haruslah dilihat dari perspektif yang berbeda. Pengetahuan yang disampaikan bisa menceritakan “sedikit' pandangan kita mengenai alam semesta yang kadangkala luput dan diabaikan dari pengamatan kita.

Meletusnya Gunung Kelud sudah menjadi pembicaraan di berbagai media massa. Baik online maupun cetak dan tayangan televisi.

Berbeda dengan Gunung Sinabung yang “terlalu misteri', Gunung Kelud mempunyai catatan yang cukup panjang.

Keunikan dari Gunung Kelud, yang kerap juga disebut Gunung Kelut (1.731 m dpl), sebenarnya memang terletak pada sulitnya memperkirakan kapan gunung itu akan meletus. Gunung Kelud, berdasarkan survei Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, merupakan gunung api tipe stratovolcano.

Dari berbagai sumber disebutkan, Sejak abad ke-15, Gunung Kelud telah memakan korban lebih dari 15.000 jiwa. Letusan gunung ini pada tahun 1586 merenggut korban lebih dari 10.000 jiwa.



Atas dasar itu, sebuah sistem untuk mengalihkan aliran lahar telah dibuat secara ekstensif pada tahun 1926 dan masih berfungsi hingga kini setelah letusan pada tahun 1919 memakan korban hingga ribuan jiwa akibat banjir lahar dingin menyapu pemukiman penduduk. Pada abad ke-20, Gunung Kelud tercatat meletus pada tahun 1901, 1919, 1951, 1966, dan 1990.

Letusan di 1919, termasuk yang paling mematikan karena menelan korban 5.160 jiwa, merusak sampai 15.000 ha lahan produktif karena aliran lahar mencapai 38 km, meskipun di Kali Badak telah dibangun bendung penahan lahar pada tahun 1905. Selain itu Hugo Cool pada tahun 1907 juga ditugaskan melakukan penggalian saluran melalui pematang atau dinding kawah bagian barat. Usaha itu berhasil mengeluarkan air 4,3 juta meter kubik.

Tahun 2007 gunung kembali meningkat aktivitasnya.



Aktivitas gunung ini meningkat pada akhir September 2007 dan masih terus berlanjut hingga November tahun yang sama, ditandai dengan meningkatnya suhu air danau kawah, peningkatan kegempaan tremor, serta perubahan warna danau kawah dari kehijauan menjadi putih keruh. Status awas dikeluarkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi sejak 16 Oktober 2007 yang berimplikasi penduduk dalam radius 10 km dari gunung (lebih kurang 135.000 jiwa) yang tinggal di lereng gunung tersebut harus mengungsi. Namun letusan tidak terjadi.

Dalam mitologi Jawa Gunung Kelud sering juga disebutkan Lembu Sura. Mitologi ini berdasarkan cerita Raja Brawijaya penguasa kerajaan Majapahit, mempunyai seorang putri yang cantik yaitu Dyah Ayu Pusparani. Putri ini memang benar-benar ayu sesuai dengan namanya.

Prabu Brawijaya bingung memilih calon menantu. Lalu raja mengadakan sayembara siapa yang bisa merentang busur sakti Kyai Garodayaksa dan sanggup mengangkat gong Kyai Sekardelima, dialah yang berhak menikah dengan Putri Pusparani.

Menjelang akhir sayembara itu datang seorang pemuda berkepala lembu yaitu Raden Lembu Sura atau Raden Wimba. Dia mengikuti sayembara itu dan berhasil merentang busur serta mengangkat gong Kyai Sekardelima.

Melihat kemenangan Lembu Sura, Putri Pusparani langsung meninggalkan Sitihinggil. Ia sangat sedih karena harus menikah dengan pemuda yang berkepala lembu. Dia tidak mau menikah dengan manusia berkepala binatang, betapapun saktinya.

Putri Pusparani disarankan mengajukan syarat kepada Lembu Sura. Syaratnya, Raden Lembu Sura harus bisa membuat sumur di puncak gunung Kelud.

Raden Wimba putra adipati Blambangan itu segera meninggalkan keraton Majapahit menuju puncak Gunung Kelud. Dengan kesaktiannya, konon dia mampu mengerahkan makhluk halus untuk membantunya menggali sumur di puncak Gunung Kelud.

Akhirnya Prabu Brawijaya menemukan cara. Lembu Sura harus ditimbun hidup-hidup di dalam sumur itu. Kemudian Prabu Brawijaya menitahkan seluruh prajurit yang menyertainya untuk menimbun sumur itu dengan batu-batuan besar. Juga gundukan tanah yang ada di sekitar itu. Sebentar saja sumur tadi telah rata seperti semula. Lembu Sura tertimbun di dasarnya.

Lembu Sura selalu mengeluarkan amarahnya. "Yoh, Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping-kaping, yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, lan Tulungagung dadi kedung".

Dalam versi yang lain, adalah cerita dengan perempuan cantik Dewi Kilisuci yang adalah anak Jenggolo Manik. Versi lain, ini adalah kisah tentang Dyah Ayu Pusparani, putri dari Raja Brawijaya, penguasa tahta Majapahit. Ada versi-versi lain tetapi inti cerita sama.

Terlepas dari mitos Lembu Sura, tiga wilayah yang disebut dalam kutukannya itu memang kemudian luluh lantak. Para ahli sejarah memperkirakan letusan pada1586 yang menewaskan lebih dari 10.000 orang adalah akhir dari sejarah kekuasaan Kerajaan Majapahit.

Tentu saja, penulis hanya “melihat” gejala alam dari sudut pandang yang lain. Pengetahuan lokal memandang “semesta” sedikit memberikan gambaran. Bagaimana pengetahuan yang mereka ketahui berangkat dari alam yang telah mengajarkannya. Dan cerita dari teman penulis tersebut melengkapi pengetahuan lokal masyarakat didalam memandang semesta.


Catatan dari berbagai sumber