Dalam
sebuah pemberitaan online, adanya wacana “mempidanakan”
penganjur “golput”.
Tema
ini sangat serius. Selain digagas anggota DPR juga menggelinding di
pemikiran Ketua KPU.
Ketua
Komisi Pemilihan Umum (KPU), Husni Kamil Manik, menerangkan bahwa
penganjur golput masuk dalam tindak pidana. Pernyataan ini juga
diamini oleh Komisioner lainnya.
Alasannya
agar partisipasi rakyat dalam Pemilu dapat ditingkatkan menjadi 75 %.
Logika
ini sungguh-sungguh sesat.
Pertama.
Tidak ada alasan yang bisa diterima dengan logika, apakah dengan
“mempidanakan” golput” maka partisipasi pemilu 2014 akan
meningkatkan.
Sekarang
mari kita bedah satu persatu.
Kita
masih ingat bagaimana “kisruh” e-KTP dan Daftar Pemilih
Tetap. Belum tuntasnya dan sempat dimundurkan penetapan DPT oleh KPU
membuktikan “kisruh” ini belum selesai.
Belum
lagi masih adanya 1 juta lebih rakyat yang “terancam”
tidak ikut memilih.
Seharusnya
itu yang menjadi tugas KPU sehingga “kisruh” DPT dapat
diselesaikan.
Kedua.
Memilih adalah hak. Maka, tidak memilih juga hak. Konstitusi telah
tegas mengaturnya. Sehingga sebagai hak, maka hak itu dapat
disampaikan kepada orang lain. baik dengan menyampaikan gagasan
maupun seruan untuk memilih atau tidak memilih.
Yang
menjadi persoalan adalah ketika orang yang mau memilih, namun
dihalang-halangi, diancam ataupun diganggu sehingga hak untuk
memilihnya menjadi tidak sah ataupun batal.
Dari
ranah ini maka, hukum pidana bekerja dan menyelesaikannya.
Begitu
juga ketika orang yang tidak mau memilih. Orang juga tidak boleh
dipaksa-paksa, diancam, diteror hingga harus memilih. Hukum pidana
juga mengatur tentang ancaman kekerasan ataupun tindakan kekerasan
terhadap pelaku yang hendak memaksa agar dapat memilih.
Ketiga.
Didalam pasal 292 dan 308 Undang- undang nomor 8 tahun 2012,
menyebut adanya tindakan sengaja menghilangkan hak memilih,
penggunaan kekerasan, menghalang-halangi kegiatan yang mengganggu
penggunaan hak pilih orang lain, masuk dalam kategori pidana.
Dengna
melihat ketentuan pasal ini, maka kita tidak dibenarkan untuk
“menafsirkan” lebih lanjut. Pasal ini tidak dapat
digunakan sebagai pasal untuk “mempidanakan” orang yang mengajak
untuk golput.
Logika
ini tentu sesuai dengan konstitusi.
Keempat.
Logika Ketua KPU agar “mempidanakan” penganjur golput
justru “menyesatkan”. Selain gagasan “mengajak”
golput dengan menyampaikan fakta-fakta kandidate anggota parlemen,
memilih juga hak, namun mengajak golput juga haka.
Ingat.
Memilih juga hak. Tidak memilih juga hak. Dengan demikian, maka
mengajak memilih tidak boleh “dikriminalisasi'. Begitu juga
agar tidak memilih juga tidak boleh dikriminalisasi”.
Alasan
Ketua KPU apabila “mengajak tidak memilih” diseret dalam
ranah hukum adalah pandangan yang sungguh-sungguh berbahaya.
Selain
karena memilih adalah hak sehingga mengajak untuk memilih tidak dapat
dipidana, maka tidak memilih juga hak sehingga mengajak tidak memilih
tidak dapat dipidana.
Pernyataan
itu harus sesuai dengan konteksnya.
Lalu.
Apabila adanya “pemaksaan” baik untuk memilih ataupun
“pemaksaan” tidak memilih, KUHP sudah jelas mencantumkan
dengan tegas.
Selain
itu juga Tindak pidana pemilu dapat menjawabnya.
Dengan
demikian, saya menegaskan. Ruang untuk “memilih” juga
harus disesuaikan dengan ruang “untuk tidak memilih”.
Keduanya mendapatkan porsi yang seimbang. Agar tidak ada lagi
diskriminasi terhadap hak untuk “memilih” dan hak untuk tidak
“memilih”.