04 Oktober 2010

opini musri nauli : ROBOHNYA SEKOLAH KAMI


Judul diatas diinspirasi dari Novel “ROBOHNYA SURAU KAMI”, sebuah novel apik karya A.A. Navis. Judul ini sengaja dipaparkan melihat kondisi “akan dirobohkannya” sekolah di Jambi. 

Itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan sebanyak 132 bangunan SD negeri di Kota Jambi berdiri di atas lahan yang belum jelas status kepemilikannya. Sertifikat tanah sekolah inpres yang dibangun sejak tahun 1970-80-an ini, dimiliki perorangan. 

Tidak menutup kemungkinan, ratusan sekolah tersebut bisa bubar jika pemilik hendak menjual tanahnya kepada orang lain. 

Pasalnya, hampir 70 persen SDN Inpres di Kota Jambi dibangun pada tahun 1980-an dan belum jelas statusnya. Jumlah SD se-Kota Jambi sendiri sebanyak 219 yang terdiri dari SDN sebanyak 188 sekolah dan SD swasta sebanyak 31 sekolah. 

Namun bukan memperjuangkan pendidikan dan melawan kapitalisme, Petinggi Pemkot berteriak dan dengan alasan “tidak ada sertifikat” dan bersikap pasrah melihat akan “dirobohkannya” sekolah di Jambi. SESAT PIKIR BUKTI KEPEMILIKAN Mengenai pembuktian terhadap Sekolah Dasar yang yang sudah dikuasai tidak perlu pembuktian sertifikat. Pasal 1963 Buku IV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang ini yang intinya berbunyi :“bahwa seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama 30 tahun, maka ia memperoleh hak milik atas sesuatu tersebut tanpa dipaksa untuk menunjukkan alas haknya”. 

Penerapan Pasal 1963 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut telah sejalan pula dengan pendapat Prof. DR. Soebekti S.H. dalam bukunya yang berjudul POKOK POKOK HUKUM PERDATA halaman 186, yang menyatakan bahwa dengan lewatnya waktu 30 tahun, bizitter yang jujur tersebut tidak diharuskan mempertunjukkan sesuatu titel lagi, artinya ia dapat menolak tiap tuntutan dengan hanya menunjukkan bezitnya selama 30 tahun berturut-turut dengan tidak pernah mendapat gangguan, dan ia akan dianggap telah memperoleh hak milik atas barang itu ; Sesat pikir ini didasarkan kepada ketentuan normatif sistem pembuktian hukum barat (perdata) juga didasarkan kepada pembuktian tertulis dalam rezim pemikiran domain verklaring. 

Prinsip domein verklaringnya menyatakan semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda. 

Dalam pembicaraan tentang “pembuktian hukum barat” didasarkan pembuktian tertulis sebagaimana didalam Hukum Acara Perdata. Sesat pikir dari Pemkot kemudian mendasarkan kepada bukti tertulis yang kemudian diterjemahkan dengan sertifikat. 

 Dengan menggunakan ketentuan UUPA yang mengelimir domain pemikiran “domein verklaring” dan merujuk kepada pembuktian hukum acara perdata pasal 1963 KUHPer, maka terhadap “penguasaan” sekolah lebih dari 30 tahun tidak perlu dibuktikan dengan sertifikat sebagaimana disampaikan petinggi Pemkot Jambi. 

HAK MENDAPATKAN PENDIDIKAN 

Namun membicarakan status kepemilikan dengan pembuktian tertulis sertifikat tidak menjadi persoalan hukum semata. “Hak mendapatkan pendidikan” sebagaimana hak-hak mendasar diatur didalam konstitusi Pasal 31 ayat (1) dan pasal 12 UU HAM. 

 Amanat konstitusi dan penghormatan HAM menjadi persoalan yang serius dalam pendidikan. 

Negara yang memegang mandat untuk melaksanakan konstitusi dan penghormatan HAM harus melaksanakannya tanpa alasan apapun. Persoalan konstitusi dan Pelanggaran HAM terhadap “hak mendapatkan pendidikan” merupakan persoalan kenegaraan dan HAM. 

Persoalan kenegaraan merupakan persoalan semua pihak. Negara harus menjadi garda terdepan melindungi dan menghormati konstitusi dan HAM. 

Negara harus mengalahkan berbagai kepentingan yang bertujuan “merobohkan” sekolah. Termasuk kepentingan “ekonomi” yang berjangka pendek dan berfikir sempit yang akan “merobohkan” sekolah di Jambi. 

 Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 6 Oktober 2010