Menarik
tema yang ditawarkan berbagai kalangan mengenai organisasi ISIS (yang
mengaku mendirikan organisasi islam dengan model sentrum dunia).
Dari berbagai pendapat yang penulis baca, “kesan' yang
ditimbulkan adalah membicarakan ISIS sebagai organisasi Islam yang
hendak mendirikan negara islam ataupun negara yang berasaskan islam.
Titik
sentuh menggunakan konstitusi, hak asasi dan konsep “pemikiran”.
Penulis tertarik menyandingkan pendekatan yang digunakan sebagai alas
membedah konsep ISIS itu sendiri.
Pertama.
Mendirikan negara islam ataupun mendirikan negara yang berasaskan
Islam merupakan “ide” yang terus menerus wacana di lapisan
intelektual. Penulis menghormati dengan menggunakan pendekatan
konstitusi.
Namun
menggunakan ukuran ISIS maka menimbulkan persoalan dalam konstitusi.
ISIS ternyata “tidak cuma sekedar berwacana namun
menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan konstitusi. Selain
melakukan kekerasan, ikrar sebagai bagian dari episentrum politik
internasional menjadi rujukan penting didalam melihat ISIS
ISIS
yang “mengklaim” mendirikan negara islam ataupun negara
yang berasaskan Islam tidaklah menjadi persoalan dilihat dari
konstitusi. Namun ketika gerakan mendirikan dengan cara-cara yang
bertentangan dengan semangat konstitusi seperti “kekerasan”,
menempatkan kebenaran mutlak yang dikuasai “segelintir” orang
justru bertentangan dengan semangat konstitusi itu sendiri.
Ukuran
“hak menyampaikan pendapat” dan hak berpolitik haruslah
dilihat dengan korelasi “menyampaikan” yang tidak
bertentangan dengan hukum. Hak ini akan “hapus' dan
berhadapan dengan hukum. Hak ini tidak dapat disandingkan dengan
cara-cara kekerasan. Itu titik sentuh yang berbeda dengan pandangan
dari sebagian kalangan.
Kedua.
Mengikrarkan diri sebagai bagian gerakan internasional justru
bertentangan dengan “nasionalisme” Indonesia. Didalam
berbagai ketentuan, sudah dijelaskan, Indonesia adalah negara yang
berdaulat yang tidak tunduk kepada kepentingan negara manapun. Justru
semangat mendirikan bagian dari komunitas internasional bertentangan
dengan konstitusi.
Ketiga.
Sebagai organisasi yang menggunakan cara-cara “kekerasan'
dan dapat dikategorikan sebagai organisasi teroris maka tidak bisa
dipadankan dengan 'hak menyampaikan pendapat” dan hak
berpolitik.
Cara-cara
kekerasan dalam gerakan apapun ataupun dengan dalih apapun tidak
dapat dibenarkan dalam konstitusi dan di negara Indonesia.
Cara
ini juga bertentangan prinsip dasar universal. Menjunjung tinggi
kemanusiaan dan menghargai peradaban.
Berangkat
dari cara-cara yang digunakan maka memandang ISIS tidak sesederhana
kita melihat tentang gerakan yang hendak dibangun. Gerakan ISIS sudah
jauh melenceng dan tidak tepat diberikan hak sebagaimana diatur
didalam konstitusi.
Keempat.
Mengikrarkan diri menjadi bagian dari ISIS tidak sesederhana kita
memandang hak menyampaikan pendapat dan hak berpolitik. Sama sekali
tidak tepat.
Sebagai
bagian dari jaringan global, ISIS bisa dikategorikan telah melakukan
berbagai pelanggaran hukum dan berbagai tindak pidana terorisme.
Dengan demikian, maka sebagai jaringan terorisme dan melakukan
pelanggaran hukum, mengikrarkan dan menjadi bagian dari ISIS dapat
dikategorikan sebagai “pendukung” utama dari gerakan itu sendiri.
Dalam
ranah ilmu hukum pidana, sikap ini dapat dikategorikan sebagai
“deelneming (permufakatan jahat). Baik dalam peran aktif
(seperti plegen, doen plegen maupun medeplegen) maupun dalam
peran penyedia sarana (medepleteigheid).
Dari ranah ini, maka para pengikar dan penyetujui ISIS dapat kita kategorikan sebagai pendukung ataupun penyedia sarana.
Tinggal
penegak hukum yang dapat mengklasifikasikan posisi para pendukung
ISIS itu sendiri.
Kelima.
Sebagai gerakan global dan dengan melihat perjalanan akhir-akhir dari
ISIS, maka ISIS dapat dipadankan dengan kejahatan multinasional dalam
kejahatan lain. Seperti Al Qaidah. Ataupun dapat dipadankan dengan
kejahatan seperti narkotika ataupun kelompok kejahatan lain seperti
gangstar ataupun mafia-mafia. Seperti Mafiaso (Itali), Yakuza
(Jepang), Triad (Hongkong).
Apakah
kita mau menerima apabila adanya masyarakat atau sekelompok orang
yang kemudian mengikrarkan diri bagian dari organisasi seperti Al
Qaidah, Mafiaso (Itali), Yakuza (Jepang), Triad (Hongkong) dapat
dikategorikan sebagai “hak berpolitik” dan hak menyampaikan
pendapat ? Terlepas dari ikrar mereka yang belum melakukan tindak
pidana sebagaimana diatur didalam berbagai ketentuan.
Penulis
pikir kita mudah menemukan jawabannya.
Dengan
melihat paparan yang telah penulis maka menurut penulis meletakkan
ISIS dapat disejajarkan dengan organisasi-organisasi teroris dunia.
Dan ISIS juga dapat dipadankan dengan kejahatan global teroris
ataupun kejahatan narkotika ataupun kelompok kejahatan lainnya.
Terlalu
mahal apabila kita “membiarkan” organisasi ini tumbuh di
Indonesia. Terlepas apakah mereka belum melakukan aktivitas apapun,
mengikrarkan diri menjadi bagian dari ISIS merupakan persoalan serius
yang tidak tepat kemudian kita tarik sebagai hak “menyampaikan
pendapat dan hak berpolitik.
Advokat,
Tinggal di Jambi