17 Mei 2015

opini musri nauli : Makna putusan MK 35


Dua tahun MK sudah memutuskan Putusan MK No. 35. Kata negara dihapus dari rumusan Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan. “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. (Yance Arizona)

Dengan demikian menurut MK berdasarkan pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan maka Pemerintah menetapkan status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.

Eforia terhadap putusan MK disambut berbagai kalangan. Putusan MK semakin mengukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat.

Namun berlalunya waktu, putusan MK “dikesankan” tidak dapat dilaksanakan di lapangan. Putusan MK belum dapat memenuhi ekspetasi masyarakat hukum adat terhadap hutan adat di kawasan hutan dalam hutan negara.

Pertanyaan mengganggu. Apakah putusan MK tidak bisa dikatakan sebagai putusan yang final dan mengikat (final dan binding). Apakah Putusan MK kemudian “dihormati” ?

Apabila kita telisik lebih jauh, maka putusan MK harus dilihat secara utuh (holistik). Bukan parsial dan sepotong-potong.

Sebelum kita melihat putusan MK 35 secara utuh, menurut Mr. M.P. Stein sebagaimana yang dikutip oleh Maruarar Siahaan dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya.

Menjatuhkan putusan adalah salah satu kewenangan MK yang telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 200. Didalam penjelasan pasal 10 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh (inkracht van gewijsde). Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).

Dalam praktek, putusan dikenal dengan Putusan sela (tussenvonnis) dan putusan akhir (eindvonnis). Didalam putusan akhir (eindvonnis), kemudian dikenal putusan condemnatoir, putusan constitutief dan putusan declaratoir.

Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang kalah untuk memenuhi prestasi. Putusan constitutief adalah putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. Putusan declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum.

Putusan yang memerlukan pelaksanaan (executie) hanyalah putusan akhir yang bersifat condemnatoir. Sedangkan putusan akhir lainnya hanya mempunyai kekuatan mengikat (binding)

Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitusief. Putusan MK berisikan pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan suatu keadaan hukum baru.

Dalam perkara pengujian Undang-Undang atau Judicial Review, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang- undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru (constitusief)

Didalam Peraturan MK No. 1 Tahun 2012, hanya diterangkan tentang produk hukum MK yang terdiri dari putusan, Ketetapan, peraturan dan Keputusan dari MK.

Sedangkan Peraturan MK No 6 tahun 2005 hanya menyebutkan putusan “mengabulkan permohonan pemohon (baik terhadap proses pembentukan UU maupun materi ayat, pasal dari UU), menyatakan permohonan ditolak dan permohonan tidak dapat diterima (niet onvan kelijk verklaring)

Menilik dari putusan MK yang menegaskan Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”merupakan putusan yang bersifat declaratoir. Pernyataan dari negara yang mengakui masyarakat hukum adat dan mengakui haknya terhadap hutan adat. Putusan ini semakin mengukuhkan dengan pertimbangan MK yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara.

Bahkan putusan MK kemudian menyatakan Pemerintah menetapkan status hutan dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”. Dengan demikian, pertimbangan MK terhadap pasal 5 ayat 3 UU Kehutanan kemudian menyebabkan adanya suatu keadaan hukum yang baru. Pertimbangan MK inilah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai “Putusan constitutief”.

Dalam tahap condemnatoir, MK kemudian “menugaskan kepada Pemerintah” agar mengakui hutan adat dengan persyaratan yang cukup ketat. Kata-kata sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya merupakan proses pengakuan (recognisi) dengan persyaratan didalam UU Kehutanan dan berbagai rumusan peraturan lainnya.

Mengenai kata-kata “masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya” kemudian berdasarkan pasal 51 ayat 1 huruf b UU MK “kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Pasal 3 UUPA menyebut tentang Masyarakat Hukum Adat yang menyebutkan “Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu, sebagai lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.

Dengan demikian maka Masyarakat hukum adat kemudian mengajukan permohonan kepada Pemerintah terhadap keberadaan masyarakat Hukum adat.

Keberadaan masyarakat Hukum adat dapat dikukuhkan baik melalui PERDA seperti Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu (Riau) atau cukup melalui SK Kabupaten Lebak seperti Masyarakat Adat Cisitu Kesatuan Sesepuh Adat Cisitu Banten Kidul. Sebuah esensi harus menafikan Surat Edaran Menteri Kehutanan No. 1/Menhut II/2013.

Setelah dilakukan penilaian persyaratan masyarakat hukum adat sebagaimana persyaratan diatur didalam UU Kehutanan, masyarakat hukum adat kemudian mengajukan wilayah adat.

Pemerintah kemudian mengeluarkan wilayah hukum adat dari kawasan hutan negara.

Proses inilah yang harus dilakukan oleh masyarakat hukum adat agar “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”” dikeluarkan dari kawasan hutan negara. Proses ini tidak mungkin “dicover” oleh putusan MK.

Dengan demikian, untuk membuktikan luas hutan adat 55 juta hektar (AMAN) memerlukan kerja keras dari berbagai pihak.

Sebuah tanggung jawab dari pemerintah untuk melaksanakannya.

Baca : Catatan Kritis NKB 12 Sektor Kehutanan

Dimuat di Mongabay, 25 Mei 2015.

http://www.mongabay.co.id/2015/05/25/opini-makna-putusan-mk-35/