Dua
tahun MK sudah memutuskan Putusan MK No. 35. Kata negara dihapus dari
rumusan Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan. “Hutan adat adalah hutan
negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. (Yance
Arizona)
Dengan
demikian menurut MK berdasarkan pasal 5 ayat (3) UU Kehutanan maka
Pemerintah menetapkan status hutan dan hutan adat ditetapkan
sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang
bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
Eforia
terhadap putusan MK disambut berbagai kalangan. Putusan MK semakin
mengukuhkan keberadaan masyarakat hukum adat.
Namun
berlalunya waktu, putusan MK “dikesankan” tidak dapat
dilaksanakan di lapangan. Putusan MK belum dapat memenuhi ekspetasi
masyarakat hukum adat terhadap hutan adat di kawasan hutan dalam
hutan negara.
Pertanyaan
mengganggu. Apakah putusan MK tidak bisa dikatakan sebagai putusan
yang final dan mengikat (final dan binding). Apakah Putusan MK
kemudian “dihormati” ?
Apabila
kita telisik lebih jauh, maka putusan MK harus dilihat secara utuh
(holistik). Bukan parsial dan sepotong-potong.
Sebelum
kita melihat putusan MK 35 secara utuh, menurut Mr. M.P. Stein
sebagaimana yang dikutip oleh Maruarar Siahaan dalam bukunya yang
berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Putusan
dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara
berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat
secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak
kepadanya.
Menjatuhkan
putusan adalah salah satu kewenangan MK yang telah diatur dalam Pasal
10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 200. Didalam penjelasan pasal 10 ayat (1)
UU No. 8 Tahun 2011, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum
tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh
(inkracht van gewijsde). Sifat final dalam putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum
mengikat (final and binding).
Dalam
praktek, putusan dikenal dengan Putusan sela (tussenvonnis)
dan putusan akhir (eindvonnis). Didalam putusan akhir
(eindvonnis), kemudian dikenal putusan condemnatoir,
putusan constitutief dan putusan declaratoir.
Putusan
condemnatoir adalah putusan yang bersifat menghukum pihak yang
kalah untuk memenuhi prestasi. Putusan constitutief adalah
putusan yang menciptakan suatu keadaan hukum yang baru. Putusan
declaratoir adalah putusan yang menyatakan suatu keadaan
sebagai suatu keadaan yang sah menurut hukum.
Putusan
yang memerlukan pelaksanaan (executie) hanyalah putusan akhir
yang bersifat condemnatoir. Sedangkan putusan akhir lainnya
hanya mempunyai kekuatan mengikat (binding)
Secara
umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitusief.
Putusan MK berisikan pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan
sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan suatu
keadaan hukum baru.
Dalam
perkara pengujian Undang-Undang atau Judicial Review, putusan yang
mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang
menjadi hukum dari suatu norma undang- undang, yaitu bertentangan
dengan UUD 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut
meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan
menciptakan keadaan hukum baru (constitusief)
Didalam
Peraturan MK No. 1 Tahun 2012, hanya diterangkan tentang produk hukum
MK yang terdiri dari putusan, Ketetapan, peraturan dan Keputusan dari
MK.
Sedangkan
Peraturan MK No 6 tahun 2005 hanya menyebutkan putusan “mengabulkan
permohonan pemohon (baik terhadap proses pembentukan UU maupun materi
ayat, pasal dari UU), menyatakan permohonan ditolak dan permohonan
tidak dapat diterima (niet onvan kelijk verklaring)
Menilik
dari putusan MK yang menegaskan Hutan adat adalah hutan negara
yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”merupakan
putusan yang bersifat declaratoir. Pernyataan dari negara yang
mengakui masyarakat hukum adat dan mengakui haknya terhadap hutan
adat. Putusan ini semakin mengukuhkan dengan pertimbangan MK yang
mengeluarkan hutan adat dari hutan negara.
Bahkan
putusan MK kemudian menyatakan Pemerintah menetapkan status hutan
dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”.
Dengan demikian, pertimbangan MK terhadap pasal 5 ayat 3 UU Kehutanan
kemudian menyebabkan adanya suatu keadaan hukum yang baru.
Pertimbangan MK inilah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai
“Putusan constitutief”.
Dalam
tahap condemnatoir, MK kemudian “menugaskan kepada
Pemerintah” agar mengakui hutan adat dengan persyaratan yang
cukup ketat. Kata-kata sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya
merupakan proses pengakuan
(recognisi) dengan persyaratan didalam UU Kehutanan dan berbagai
rumusan peraturan lainnya.
Mengenai
kata-kata “masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan
diakui keberadaannya” kemudian
berdasarkan pasal 51 ayat 1 huruf b UU MK “kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang.
Pasal
3 UUPA menyebut tentang Masyarakat Hukum Adat yang menyebutkan
“Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu
sebagai subyek hak ulayat. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas
tertentu, sebagai lebensraum yang merupakan obyek hak ulayat. Adanya
kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu.
Dengan
demikian maka Masyarakat hukum adat kemudian mengajukan
permohonan kepada Pemerintah terhadap keberadaan masyarakat Hukum
adat.
Keberadaan
masyarakat Hukum adat dapat dikukuhkan baik melalui PERDA seperti
Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu (Riau) atau cukup melalui SK
Kabupaten Lebak seperti Masyarakat Adat Cisitu Kesatuan Sesepuh Adat
Cisitu Banten Kidul. Sebuah esensi harus menafikan Surat Edaran
Menteri Kehutanan No. 1/Menhut II/2013.
Setelah
dilakukan penilaian persyaratan masyarakat hukum adat sebagaimana
persyaratan diatur didalam UU Kehutanan, masyarakat hukum adat
kemudian mengajukan wilayah adat.
Pemerintah
kemudian mengeluarkan wilayah hukum adat dari kawasan hutan negara.
Proses
inilah yang harus dilakukan oleh masyarakat hukum adat agar “Hutan
adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat”” dikeluarkan dari kawasan hutan negara. Proses ini
tidak mungkin “dicover” oleh putusan MK.
Dengan
demikian, untuk membuktikan luas hutan adat 55 juta hektar (AMAN)
memerlukan kerja keras dari berbagai pihak.
Sebuah
tanggung jawab dari pemerintah untuk melaksanakannya.
Baca : Catatan Kritis NKB 12 Sektor Kehutanan
Dimuat di Mongabay, 25 Mei 2015.
http://www.mongabay.co.id/2015/05/25/opini-makna-putusan-mk-35/
Dimuat di Mongabay, 25 Mei 2015.
http://www.mongabay.co.id/2015/05/25/opini-makna-putusan-mk-35/