Pemerintah
sudah resmi membubarkan anak usaha PT Pertamina yakni PT Pertamina
Energy Trading Ltd (Petral). Sebuah
kabar yang sudah lama ditunggu. Sejak mulai diwacanakan tahun 2006,
selalu gagal. Termasuk dari Menteri BUMN, Dahlan Iskan.
Bayangkan.
Petral yang dianggap “anak emas” dan tidak pernah
disentuh, namun penuh sarat dengan praktik gelap. Namun
belum terhitung waktu lama menjabat. Jokowi kemudian menyiapkan tim
tangguh dipimpin Faisal Basri untuk melakukan investigasi terhadap
Petral.
Kepercayaan
kepada Faisal Basri merupakan “signal”
untuk mengungkapkan persoalan Petral secara serius. Sehingga ketika
wacana pembubaran semakin menguat. Nyali Jokowi diuji. Tantangan
membubarkan Petral dikukuhkan Jokowi. Jokowi berhasil membubarkan
Petral. Sebuah kemandirian dan melihat persoalan ini secara utuh.
Menurut
Faisal Basri, dengan dibubarkan Petral, maka Pertamina bisa hemat 250
milyar rupiah/hari. Pakar energi Darmawan Prasodjo
menuturkan, kebocoran sebanyak 15 persen terjadi pada bahan bakar
minyak bersubsidi. Dia mengatakan, jika subsidi BBM yang ditetapkan
dalam APBN 2014 sebesar Rp 285 triliun, maka artinya ada Rp 42
triliun kerugian negara hilang akibat diselundupkan ke luar negeri.
Angka-angka
fantastis untuk sebuah negara yang memberikan subsidi “minyak”
kepada rakyat.
Sedangkan
menurut Menteri ESDM, transaksi tiap hari mencapai 150 juta AS (1,7
trilyun rupiah/hari). Dengan dibubarkan Petral, maka Pertamina bisa
menghemat 22 US$ (250 milyar rupiah/hari).
Tentu
saja upaya membubarkan sudah lama diwacanakan berbagai kalangan
melihat “gerahnya”
kelakuan dari mafia migas. Dengan “kekuasaan kroni”,
setiap rupiah mengalir ke kantong mafia migas. SBY sendiri tidak
“mampu” melawan
mafia migas. Entah apa sebab utamanya. Namun issu mafia migas sudah
berurat akar. Sudah mengelilingi pemerintahan sehingga pemerintah
tidak berani membubarkannya.
Dengan
dibubarkannya Petral, maka “sedikit”
persoalan migas mulai terkuak. Issu permainan “dibelakang layar',
mulai dibaca oleh publik. Dengan dibubarkan Petral, maka Pertamina
yang memiliki Integrated Supply Chain (ISC) yang mengurus pengadaan
impor minyak tidak perlu lagi melalui Petral. Pertamina bisa langsung
membeli bbm bersubsidi yang selama ini harus “mutar-mutar”
dan tiap tetes minyak “ngendon”
di Petral.
Cost
yang selama ini “terbuang percuma”
dapat dihemat. Angka yang tidak main-main.
Berita
ini harus disambut gembira. Berita di tengah kegetiran “harga”
BBM yang “terus naik”.
Janji
Faisal Basri setelah dibubarkan Petral, maka nama-nama yang
“menikmati”
permainan kotor dari mafia migas di Petral diserahkan kepada penegak
hukum. KPK sudah mengendus dan kita tunggu cerita tentang
pengungkapan kasus ini.
Selanjutnya
tinggal kita lihat langkah “piawai”
Jokowi menghadapi Total Group, perusahaan migas asal Prancis
Total dan perusahaan migas asal Jepang Inpex di blok
Mahakam yang berakhir tahun 2017. Sikap tegas ini diperlukan, untuk
mengambil alih 100 persen pengelolaan dan menyerahkannya kepada
Pertamina. Langkah ini diperlukan karena Blok Mahakam tidak boleh
berhenti beroperasi.
Dengan
menguasai blok Mahakam, maka Pemerintah mempunyai cadangan 2P minyak
saat ini sebesar 185 juta barel dan cadangan 2P gas sebesar 5,7 TC
(SKK Migas.go.id). Blok Mahakam berpotensi menghasilkan pendapatan
kotor sebesar 187 miliar Dollar AS atau sekitar Rp. 1.700 triliun.
Pengelolaan
Blok Mahakam selain menguntungkan secara “bisnis” juga
sebagai simbol kedigdayaan sebagai bangsa yang “Berdaulat”
secara energi. Dengan menyerahkannya kepada Pertamina, “kekalahan
sebelumnya” dari Freeport akan mengembalikan sebagai bangsa
yang berdaulat.
Kita
tunggu kabar baik selanjutnya.