28 November 2014

opini musri nauli : Catatan Kritis NKB 12 Sektor Kehutanan


Laporan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan baru 45,70% kawasan hutan yang telah dikukuhkan. Meminjam data kehutanan, dari 122.404.872 hektar maka kawasan hutan yang telah ditetapkan 55.939.412 hektar. Angka jauh dari ideal setelah 69 tahun Indonesia merdeka. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berjanji akan menyelesaikan hingga 100% paling lama akhir tahun 2015

Sementara FWI sendiri menyebutkan, dari 162 juta hektar hutan tinggal 98 juta hektar yang mempunyai tutupan hutan yang relatif baik (cover forest).

Pekerjaan besar dari instansi yang berwenang untuk menetapkan kawasan hutan berbanding terbalik dengan penguasaan lahan. Sekitar 10 juta sudah diberikan kepada perusahaan HTI. Angka ini mewakili kesuraman setelah sebelumnya sampai tahun 1997 kawasan hutan telah diberikan kepada perusahaan HPH seluas 70 juta kepada 657 HPH. Belum lagi kawasan hutan telah dialihkan kepada perusahaan sawit seluas 7 juta hektar. Data-data ini belum dilengkapi dengna kawasan hutan yang kemudian dijadikan pertambangan (izin pinjam pakai) seluas 3,5 juta hektar.

Myrna Savitri dengan keras menunjukkan 99,7% dari izin yang diberikan untuk memanfaatkan hutan diakses oleh perusahaan berbanding hanya 0,3% diakses oleh masyarakat. Sedangkan Hariadi Kartodihardjo menyebutkan dari 112,3 juta Ha, 5,6 juta Ha (2030) dialokasikan untuk HTR, HKm, HD. Padahal baru 0,21 juta Ha atau 0,51% dari luas pemanfaatan hutan seluruhnya oleh masyarakat lokal/adat

Padahal Kementerian Kehutanan menyebutkan 31.957 desa yang ada di dalam, di tepi dan sekitar kawasan hutan. Dengan rincian 1305 desa terdapat di dalam kawasan, 7.943 berada di tepi kawasan hutan, dan 22.709 berada di luar kawasan hutan. Jumlah ini merupakan 36,17% dari seluruh desa yang ada di Indonesia.

Bahkan Dokumen Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014 menyatakan adanya 48,8 juta orang penduduk yang tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan. Angka yang tidak berbeda jauh dari BPS. Sekitar 48,8 juta jiwa atau 12% tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari 48,8 juta jiwa penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tersebut, 10,2 juta jiwa atau 25% diantaranya tergolong dalam kategori miskin (Badan Pusat Statistik 2000-2005).

Di Jambi sendiri, dari 2,1 juta ha kawasan hutan baru 294 ribu ha (10% lebih) yang sudah ditetapkan.

Padahal 818 ribu ha sudah ditetapkan sebagai HTI berbanding hanya 53 ribu ditetapkan Hutan Desa. Belum lagi kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang digunakan untuk tambang seluas 63,6 ribu ha.

Penguasaan hutan oleh industri menyebabkan salah satu biang terjadinya konflik. Walhi Jambi mencatat 300-an konflik terjadi sejak tahun 1998.

APP sebagai group PT. WKS telah menguasai 293.812 Ha dengan komposisi untuk Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 138.669 Ha, Kab. Tanjung Jabung Timur 48.507 Ha, Kab. Batanghari 76.691 Ha, Kab. Muaro Jambi 13.029 Ha dan Kab. 16.916 Ha.

Akibatnya adalah konflik yang telah memakan korban. Dimulai dari penguasaan tanah lebih kurang 37 ribu yang berada di 5 Kabupaten (Kabupaten Tebo, Kabupaten Muara jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan kabupaten Tanjung jabung Barat)

Dalam proses di persidangan, PT. WKS telah berhadapan dengan terdakwa 17 orang di Pengadilan Negeri Tebo, Pengadilan Negeri Muara Jambi, Pengadilan Negeri Kuala Tungkal dan Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur.

Di Pengadilan Negeri Muara Tebo dengan tuduhan pembakaran pos jaga PT. WKS di jalur koridor. Di Pengadilan Negeri Muara Jambi dengan tuduhan “penggelapan uang anggota PPJ”, di Pengadilan Negeri Kuala Tungkal dengan tuduhan “pembakaran areal perusahaan” dan di Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur dengan tuduhan “menyerobot lahan perusahaan”.

Dari catatan yang telah penulis sampaikan, maka konsentrasi penulis terhadap konflik antara masyarakat dengan HTI, maka konsentrasi terhadap penguasaan areal APP merupakan salah satu persoalan yang paling banyak menyita perhatian.

Catatan Tim Resolusi Konflik Propinsi Jambi tahun 2010 menyebutkan konflik yang berkaitan dengan APP merupakan dua pertiga konflik di Jambi.

Catatan ini merupakan rangkaian panjang dari surat dari Pemerintah Propinsi Jambi yang menyebutkan adanya berbagai opsi penyelesaian terhadap areal APP. Baik dengan model enclave, ganti rugi/kompensasi dan penegakkan hukum

Selain itu negara tidak mampu menjaga kawasan hutan. Penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,1 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut. Ini mengakibatkan kawasan hutan sudah kritis 341 ribu hektar dan sangat kritis seluas 1,078 juta.

Penguasaan sumber daya alam juga menimbulkan kebakaran. Kejadian tahun 2014 merupakan kebakaran yang terulang setelah tahun 2013, 2012, 2010, 2004, 1997. Tahun 2014 telah menghentikan penerbangan lebih dari 2 minggu per minggu naik menjadi 5.700 kasus (per oktober). Kebakaran telah Meliburkan sekolah

Angka ini mewakili kesuraman penetapan kawasan hutan dari konsepsi “hak menguasai negara” oleh Pemerintah Indonesia.

Implikasi Putusan MK

Semangat penetapan kawasan hutan harus berlandaskan dari Putusan MK Nomor 45/PUU/IX/2011 (Putusan MK Nomor 45/2011) dan Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 (Putusan MK Nomor 35/2012). Putusan MK Nomor 45/2011, Secara tegas, MK menyatakan Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Dengan demikian maka terhadap pengukuhan kawasan hutan tidak hanya dengan penunjukkan tapi harus melalui tahap-tahap hingga penetapan kawasan hutan.

Sedangkan Putusan MK Nomor 35/2012 menegaskan “Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara”.

Dua putusan MK ini penting untuk “memastikan” proses yang adil (Putusan MK Nomor 45/2011)dan memberi ruang kepada masyarakat (Putusan MK Nomor 35/2012).

Mengikuti putusan MK, maka penetapan kawasan hutan harus dilakukan tahap-tahap seperti penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.

Maka selama setahun kedepan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru menetapkan kawasan hutan baru mencapai 55 juta hektar akan menyelesaikan hingga 122 juta hektar. Dengan demikian, maka selama setahun harus menyelesaikan kawasan hutan hingga 70 juta hektar. Upaya serius yang harus dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan apabila tidak dikatakan sebagai utopia.

Sedangkan di Jambi sendiri, penetapan kawasan hutan baru mencapai 290 ribu dari 2,1 juta hektar. Maka diperlukan 1,8 juta hektar selama setahun untuk melakukan penetapan kawasan hutan. Upaya yang serius dan tidak mudah dilakukan.

Selain melakukan pekerjaan serius selama setahun untuk mengukuhkan kawasan hutan seluas 70 juta hektar, penetapan kawasan hutan juga harus memastikan pengukuhan hutan adat. Pengukuhan hutan adat yang terdapat 31.957 desa yang ada di dalam, di tepi dan sekitar kawasan hutan.

Penetapan kawasan hutan yang tidak melalui tahap-tahap seperti penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan selain akan bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi juga akan mengabaikan hutan adat di 31 ribu Desa. Dan menjadi tirani baru terhadap keberadaan masyarakat sekitar 48, juta jiwa.

Sehingga penetapan kawasan yang tidak merujuk kepada Putusan MK Nomor 45/2011 dan Putusan MK Nomor 35/2012 tidak akan menyelesaikan masalah. Justru akan menimbulkan masalah baru dan meminggirkan masyarakat.