Laporan
resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan
baru 45,70% kawasan hutan yang telah dikukuhkan. Meminjam data
kehutanan, dari 122.404.872 hektar maka kawasan hutan yang telah
ditetapkan 55.939.412 hektar. Angka jauh dari ideal setelah 69 tahun
Indonesia merdeka. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
berjanji akan menyelesaikan hingga 100% paling lama akhir tahun 2015
Sementara
FWI sendiri menyebutkan, dari 162 juta hektar hutan tinggal 98 juta
hektar yang mempunyai tutupan hutan yang relatif baik (cover forest).
Pekerjaan
besar dari instansi yang berwenang untuk menetapkan kawasan hutan
berbanding terbalik dengan penguasaan lahan. Sekitar 10 juta sudah
diberikan kepada perusahaan HTI. Angka ini mewakili kesuraman setelah
sebelumnya sampai tahun 1997 kawasan hutan telah diberikan kepada
perusahaan HPH seluas 70 juta kepada 657 HPH. Belum lagi kawasan
hutan telah dialihkan kepada perusahaan sawit seluas 7 juta hektar.
Data-data ini belum dilengkapi dengna kawasan hutan yang kemudian
dijadikan pertambangan (izin pinjam pakai) seluas 3,5 juta hektar.
Myrna
Savitri dengan keras menunjukkan 99,7% dari izin yang diberikan untuk
memanfaatkan hutan diakses oleh perusahaan berbanding hanya 0,3%
diakses oleh masyarakat. Sedangkan Hariadi Kartodihardjo menyebutkan
dari 112,3 juta Ha, 5,6 juta Ha (2030) dialokasikan untuk HTR, HKm,
HD. Padahal baru 0,21 juta Ha atau 0,51% dari luas pemanfaatan hutan
seluruhnya oleh masyarakat lokal/adat
Padahal
Kementerian Kehutanan menyebutkan 31.957 desa yang ada di dalam, di
tepi dan sekitar kawasan hutan. Dengan rincian 1305 desa terdapat di
dalam kawasan, 7.943 berada di tepi kawasan hutan, dan 22.709 berada
di luar kawasan hutan. Jumlah ini merupakan 36,17% dari seluruh desa
yang ada di Indonesia.
Bahkan
Dokumen Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014 menyatakan
adanya 48,8 juta orang penduduk yang tinggal di pedesaan sekitar
kawasan hutan. Angka yang tidak berbeda jauh dari BPS. Sekitar 48,8
juta jiwa atau 12% tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari
48,8 juta jiwa penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan
tersebut, 10,2 juta jiwa atau 25% diantaranya tergolong dalam
kategori miskin (Badan Pusat Statistik 2000-2005).
Di
Jambi sendiri, dari 2,1 juta ha kawasan hutan baru 294 ribu ha (10%
lebih) yang sudah ditetapkan.
Padahal
818 ribu ha sudah ditetapkan sebagai HTI berbanding hanya 53 ribu
ditetapkan Hutan Desa. Belum lagi kawasan hutan konservasi dan hutan
lindung yang digunakan untuk tambang seluas 63,6 ribu ha.
Penguasaan
hutan oleh industri menyebabkan salah satu biang terjadinya konflik.
Walhi Jambi mencatat 300-an konflik terjadi sejak tahun 1998.
APP
sebagai group PT. WKS telah menguasai 293.812 Ha dengan komposisi
untuk Kabupaten Tanjung Jabung Barat seluas 138.669 Ha, Kab. Tanjung
Jabung Timur 48.507 Ha, Kab. Batanghari 76.691 Ha, Kab. Muaro Jambi
13.029 Ha dan Kab. 16.916 Ha.
Akibatnya
adalah konflik yang telah memakan korban. Dimulai dari penguasaan
tanah lebih kurang 37 ribu yang berada di 5 Kabupaten (Kabupaten
Tebo, Kabupaten Muara jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Tanjung
Jabung Timur dan kabupaten Tanjung jabung Barat)
Dalam
proses di persidangan, PT. WKS telah berhadapan dengan terdakwa 17
orang di Pengadilan Negeri Tebo, Pengadilan Negeri Muara Jambi,
Pengadilan Negeri Kuala Tungkal dan Pengadilan Negeri Tanjung Jabung
Timur.
Di
Pengadilan Negeri Muara Tebo dengan tuduhan pembakaran pos jaga PT.
WKS di jalur koridor. Di Pengadilan Negeri Muara Jambi dengan tuduhan
“penggelapan uang anggota PPJ”, di Pengadilan Negeri Kuala
Tungkal dengan tuduhan “pembakaran areal perusahaan” dan di
Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur dengan tuduhan “menyerobot
lahan perusahaan”.
Dari
catatan yang telah penulis sampaikan, maka konsentrasi penulis
terhadap konflik antara masyarakat dengan HTI, maka konsentrasi
terhadap penguasaan areal APP merupakan salah satu persoalan yang
paling banyak menyita perhatian.
Catatan
Tim Resolusi Konflik Propinsi Jambi tahun 2010 menyebutkan konflik
yang berkaitan dengan APP merupakan dua pertiga konflik di Jambi.
Catatan
ini merupakan rangkaian panjang dari surat dari Pemerintah Propinsi
Jambi yang menyebutkan adanya berbagai opsi penyelesaian terhadap
areal APP. Baik dengan model enclave, ganti rugi/kompensasi dan
penegakkan hukum
Selain
itu negara tidak mampu menjaga kawasan hutan. Penurunan
luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun
berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,1
juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun 2000
atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan
tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan,
yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut. Ini
mengakibatkan kawasan hutan sudah kritis 341 ribu hektar dan sangat
kritis seluas 1,078 juta.
Penguasaan
sumber daya alam juga menimbulkan kebakaran. Kejadian tahun 2014
merupakan kebakaran yang terulang setelah tahun 2013, 2012, 2010,
2004, 1997. Tahun 2014 telah menghentikan penerbangan lebih dari 2
minggu per minggu naik menjadi 5.700 kasus (per oktober). Kebakaran
telah Meliburkan sekolah
Angka
ini mewakili kesuraman penetapan kawasan hutan dari konsepsi “hak
menguasai negara” oleh Pemerintah Indonesia.
Implikasi
Putusan MK
Semangat
penetapan kawasan hutan harus berlandaskan dari Putusan MK Nomor
45/PUU/IX/2011 (Putusan MK Nomor 45/2011) dan Putusan MK Nomor
35/PUU-X/2012 (Putusan MK Nomor 35/2012). Putusan MK Nomor 45/2011,
Secara tegas, MK menyatakan Penunjukan belaka atas suatu kawasan
untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap
yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai
dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan
pemerintahan otoriter. Dengan demikian maka terhadap pengukuhan
kawasan hutan tidak hanya dengan penunjukkan tapi harus melalui
tahap-tahap hingga penetapan kawasan hutan.
Sedangkan
Putusan MK Nomor 35/2012 menegaskan “Hutan Adat adalah Hutan
yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara”.
Dua
putusan MK ini penting untuk “memastikan” proses yang adil
(Putusan MK Nomor 45/2011)dan memberi ruang kepada masyarakat
(Putusan MK Nomor 35/2012).
Mengikuti
putusan MK, maka penetapan kawasan hutan harus dilakukan tahap-tahap
seperti penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan,
pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan.
Maka
selama setahun kedepan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
baru menetapkan kawasan hutan baru mencapai 55 juta hektar akan
menyelesaikan hingga 122 juta hektar. Dengan demikian, maka selama
setahun harus menyelesaikan kawasan hutan hingga 70 juta hektar.
Upaya serius yang harus dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan apabila tidak dikatakan sebagai utopia.
Sedangkan
di Jambi sendiri, penetapan kawasan hutan baru mencapai 290 ribu dari
2,1 juta hektar. Maka diperlukan 1,8 juta hektar selama setahun untuk
melakukan penetapan kawasan hutan. Upaya yang serius dan tidak mudah
dilakukan.
Selain
melakukan pekerjaan serius selama setahun untuk mengukuhkan kawasan
hutan seluas 70 juta hektar, penetapan kawasan hutan juga harus
memastikan pengukuhan hutan adat. Pengukuhan hutan adat yang terdapat
31.957 desa yang ada di dalam, di tepi dan sekitar kawasan hutan.
Penetapan
kawasan hutan yang tidak melalui tahap-tahap seperti penunjukan
kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan
dan penetapan kawasan hutan selain akan bermasalah dan bertentangan
dengan konstitusi juga akan mengabaikan hutan adat di 31 ribu Desa.
Dan menjadi tirani baru terhadap keberadaan masyarakat sekitar 48,
juta jiwa.
Sehingga
penetapan kawasan yang tidak merujuk kepada Putusan MK Nomor 45/2011
dan Putusan MK Nomor 35/2012 tidak akan menyelesaikan masalah. Justru
akan menimbulkan masalah baru dan meminggirkan masyarakat.
Baca : CATATAN TERCECER NKB 12 dan Konflik dan HTI [1]