MENCARI
WAKIL TUHAN
Musri
Nauli1
Abstraksi
Didalam
Konstitusi, posisi MA dihormati. Konstitusi juga memberikan
“perhatian”
terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka. Seorang hakim Agung harus
memiliki integritas dan kepribadian yang diwujudkan dengan berbagai
symbol.
Namun
dalam pola rekrutmen dan berbagai putusannya belum mampu menjawab
kebutuhan. Diperlukan cara rekrutmen yang luar biasa untuk mencari
seorang hakim yang agung
The
Constitution Of Indonesian to respect Supreme Court. The
Constitutution to attention judicial power to independent. A Judge
have integrity and personality to various symbol-syimbol.
However,
recruitment and various decision not enough to needs.
Be
required mechanism exceptional to searching a judge
Didalam
Konstitusi, posisi Mahkamah Agung dihormati (MA). Pasal 14 ayat (1)
Konstitusi menegaskan “Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung.
Pasal
24 ayat (1) menegaskan “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Sedangkan di ayat (2) Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian maka Mahkamah Agung kemudian Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi2,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Mengingat
begitu pentingnya MA , maka Hakim Agung harus memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum3.
Sikap ini kemudian
diwujudkan simbol-simbol seperti Kartika, Cakra, Candra, Sari dan
Tirta.
Begitu
mulianya posisi hakim Agung, maka irrah-irrah “Demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
memiliki makna simbolik. Putusannya selain dapat
dipertanggungjawabkan secara hokum dan kaidah disiplin ilmu hokum
juga menjunjung keadilan dan kebenaran dan dipertanggungjawabkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Irah-irah
““Demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
merupakan adagium that
judgment was that of God.
Putusan Hakim sama dengan putusan Tuhan.
Irah-irah ““Demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
menempatkan putusan hakim sebagai kebenaran terakhir dalam upaya
penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan (the
last resort). Doktrin
ini juga melekat sebagai putusan hakim dianggap tidak berbeda dengan
putusan Tuhan (Judicium
dei)
Di
tangan hakim, putusannya begitu ditunggu untuk menjawab persoalan
hokum di tengah masyarakat4.
Sehingga tidak salah kemudian hakim juga disebut sebagai pencipta
hukum (judge made law)
sebagai penjaga supremasi
hukum (the guardian of
the Rule of Law).
Sebagai pemegang kekuasaan kehakiman dan penjaga supremasi hukum
harus menjadi kekuasaan dan kewajiban untuk memberikan penjelasan
terhadap hukum dalam masyarakat (to
say what the law is).
Kita
kemudian mengenal Bismar
Siregar, Asikin
Kusumah
Atmadja dan Benyamin Mangkudilaga sekedar contoh kecil dari nama-nama
Hakim yang dihormati.
Salah
satu keputusan Hakim Agung Bismar Siregar adalah saat menambah
hukuman seorang guru di Sumatra Utara, yang berbuat cabul dengan
muridnya5.
Posisi
kasusnya adalah ketika Drs. Manginar Manullang, kepala SMPN III
Kisaran, Drs. Manginar Manullang, yang dihukum tujuh bulan penjara
oleh Pengadilan Negeri Kisaran karena berbuat cabul dengan muridnya
kemudian menyatakan banding. Bismar memperberat hukuman buat
Manullang, menjadi tiga tahun penjara. Tidak hanya itu. Bismar
kemudian menjatuhkan hukuman tambahan untuk Manullang, yaitu dipecat
dari pekerjaannya. Bismar merasa berwenang menjatuhkan hukuman
tambahan itu walau pasal 35 ayat 2 KUHP mengecualikan pemecatan
pegawai negen oleh hakim. Alasan Bismar, selain sebagai Kepala
Sekolah tidak pantas melakukan perbuatan itu, terdakwa tidak pantas
menjadi pegawai negeri dan tidak perlu dibina lagi.
Bismar
Siregar “dianggap”
sebagai Hakim yang tidak mengerti hukum yang menggunakan ‘asas
analogi” dalam
peristiwa pidana dan dianggap menabrak asas hokum pidana.
Benyamin
Mangkudilaga tidak terlepas dari namanya muncul ke permukaan ketika
sebagai hakim di sidang PTUN Jakarta, memenangkan gugatan majalah
Tempo yang dibredel pemerintah ORDE BARU, terhadap menteri penerangan
Harmoko.
Sedangkan
Hakim Agung Asikin Kusuma Atmadja ketika beliau mengabulkan
permohonan melebihi dari yang dimintakan oleh pemohon (ultra
petita)6.
M. Asikin Kusuma Atmadja dianggap “tidak
mengetahui hokum acara perdata”
ketika mengabulkan dan memutuskan melebihi dari permohonan (ultra
petita) dari pemohon
kasus di Papua. Sebuah asas yang paling dihindarkan dalam putusan
perdata.
Mereka
kemudian patut
disebut Ikon Integritas dan
membuat Mahkamah Agung diharapkan bersandar dari para pencari
keadilan (justice
artikelen)
Mereka
keluar dari pemikiran keadilan prosedural dan mengedepankan keadilan
yang substantif7.
Mereka bukanlah terompet UU. Mereka bertugas seperti peniup
sangkakala. Mereka bisa menghidupkan teks yang mati, karena di balik
teks terdapat ‘ruh’ yang harus dihidupkan oleh hakim agar relevan
dengan kondisi sosial8.
Bagir
menyatakan “Hakim
adalah mulut atau corong undang-undang (spreekbuis van de wet, bouche
de la hoi). Ajaran ini
menggarisbawahi, bahwa hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum
diluar undang-undang, melainkan dilarang juga menafsirkan
undang-undang. Wewenang menafsirkan undang-undang adaiah pembentuk UU
Bukan wewenang hakim”. Pandangan ini tidak sekedar teori, melainkan
pemah masuk dalam sistem hukum positif seperti didalam pasal 15 AB
yang berbunyi “geeft gewoonte geen recht, dan alien wanneer der wet
daarops verwijst (ketentuan kebiasaan tidak merupakan hukum, kecuali
ditunjuk oleh UU . Dalam diskursus yang lain, konsepsi pemikiran ini
lebih banyak dikenal dengan istilah aliran positivisme.
Sehingga
tidak salah kemudian dikenal sebagai Wakil Tuhan9.
Sebagai wakil Tuhan, maka Hakim “hanya
berbicara” melalui
penetapan dan putusannya. Mantan Ketua Mahkamah Agung pada tahun 2007
telah mengingatkan. Hakim tidak boleh berkomentar terhadap perkara
yang akan masuk di pengadilan, perkara yang bergulir hingga putusan
perkaranya sendiri10.
Sehingga tidak salah kemudian jabatan hakim dikenal sebagai jabatan
diam.
Namun
semuanya tidak cukup. Berbagai peristiwa kemudian membuka mata
terhadap pola rekrutmen hakim agung dan putusannya.
Dalam
proses seleksi hakim agung di DPR, Calon hakim Andi Samsan Nganro
“bercerita”11
mengabulkan gugatan terhadap secure parking ketika bertugas sebagai
hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu juga, Andi
Samsan Nganro juga bercerita tentang putusan yang dibuat melalui
mekanisme gugatan Citizin Laws suit dalam kasus Nunukan. Sebuah
gugatan rakyat atas nama penduduk yang menggugat Pemerintah dalam
kasus buruh migran di Nunukan, Kalimantan Timur.
Begitu
juga “kekeliruan”12
terhadap putusan MA No. 39 K/Pid.sus/2011 di tingkat Peninjauan
kembali (PK) yang menganulir vonis mati bagi pemilik pabrik narkotika
Hengky Gunawan (HG). Dalam putusan PK, HG hanya dihukum 15 tahun
penjara13
dengan alasan hukum mati melanggar konstitusi.
Dalam
perkara yang terpisah di tingkat PK, MA membebaskan mantan Direktur
Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) Sudjiono Timan (ST),
terpidana korupsi Rp 369 miliar melalui permohonan Peninjauan Kembali
(PK) yang diajukan kuasa hukum dan istrinya14.
Membaca
putusan PK terhadap HG dan putusan PK terhadap ST menimbulkan
persoalan. Pertimbangan yang menolak penerapan hukuman mati terhadap
HG tidak berkolerasi dengan “masa
hukuman (straftmaacht)” menjadi
15 tahun. Begitu juga terhadap hokum acara yang dilanggar dalam
putusan ST yang tidak “memberikan
hak” kepada
terpidana untuk mengajukan PK tanpa menjalani eksekusi di tingkat
kasasi.
Dalam
“silogisme“
antara logika satu dengan logika yang lain harus bersesuaian. Tidak
boleh antara logika satu dengan logika lain bertentangan
(menegasikan).
Logika
satu dengan logika lain yang bertentangan akan membangun “kebodohan”
akal pikiran manusia sehingga putusan PK terhadap HG dan Putusan PK
terhadap ST dapat “dibaca”
rakyat akan mencederai keadilan rakyat.
Didalam
berbagai putusan MA baik di tingkat kasasi maupun di tingkat PK, MA
hanya cuma memuat putusan “menolak
permohonan para pemohon kasasi/peninjauan kembali”. Membayar biaya
perkara.. Sangat
sedikit sekali putusan MA yang bertindak sebagai “judex
jurist’15.
Berangkat
dari pemikiran diatas, melihat komposisi hakim Agung di MA maka
diperlukan upaya rekrutmen hakim agung melalui mekanisme yang luar
biasa. Cara-cara konvensional seperti membuka pendaftaran, menunggu
pendaftar, melakukan seleksi bahan dan fit and propertest tidak cukup
lagi dengan cara “mencari
wakil tuhan”16.
Melalui
penelitian dengan mendasarkan kepada berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman,
Mahkamah Agung dan hakim, berbagai asas, prinsip dan berbagai dokumen
yang membicarakan hakim, literature yang berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman, MA maupun berbagai media yang meliput berbagai persoalan
di MA maka kemudian dilakukan pemetaan terhadap berbagai kebutuhan
untuk mengisi Wakil Tuhan di MA.
Sebelum
melakukan pemetaan terhadap kebutuhan hakim agung di komposisi di MA,
maka dilihat dulu berbagai ketentuan yang mengatur tentang kewenangan
MA dan Hakim agung.
Didalam
konstitusi, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang tidak bisa
diintervensi oleh kekuasaan manapun17.
Dengan kekuasaan yang diberikan konstitusi maka peradilan dapat
menjalankan tugasnya baik perkara di tingkat kasasi/PK, judicial
review peraturan dibawah UU. Perkara di tingkat kasasi/PK lebih
sering disebut sebagai “judix jurist”.
Sedangkan
mekanisme perekrutan hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial (KY)
kepada DPR dan ditetapkan oleh Presiden18.
Konstitusi hanya menyebutkan persyaratan untuk menjadi hakim agung
dengan indicator “Hakim
agung harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,
adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum19.
Dengan demikian, maka
KY melakukan pendaftaran calon hakim agung, menetapkan calon hakim
agung dan mengajukan calon hakim agung ke DPR.
UU
MA kemudian mendefinisikan hakim agung berasal karir dan non karir20.
KY kemudian melakukan verifikasi kebutuhan hakim agung untuk mengisi
di MA.
Selain
itu MA menerapkan sistem kamar21.
Dengan menerapkan sistem kamar, maka Hakim agung memeriksa perkara
berdasarkan keahlian dan latar belakang ilmu pendidikannya. Dengan
menerapkan sistem kamar, maka diharapkan tidak lagi terjadi
perkara-perkara di tingkat kasasi dalam perkara pidana kemudian
diperiksa oleh hakim agung yang berlatar belakang militer atau
berlatar belakang tata usaha Negara ataupun berlatar belakang agama.
Sehingga fungsi MA sebagai “judic jurist” dapat terpenuhi.
Namun
sejak berlakunya sistem kamar tahun 2011, hakim agung malah “tersita”
untuk menyelesaikan tunggakan perkara. Sebagai contoh. Jumlah
perkara yang masuk tahun 2014 sejumlah 12.511 dengan sisa perkara
tahun 2013 sejumlah 6.415 perkara. Dengan beban perkara 18.926
perkara tahun 2014, maka MA menyelesaikan 14.501 dan kemudian
menyisakan perkara 4425 perkara. Pencapaian hingga 76 % perkara
membuat Hakim Agung kemudian “tersita”
untuk menyelesaikan tunggakan perkara.
Dengan
melakukan pemetaan kebutuhan hakim agung terhadap sistem kamar, maka
dilakukan tracking latar belakang pendidikan hakim sehingga
didapatkan hasil yang kemudian diukur kualitas dengan memperhatikan
putusan-putusannya di MA. Putusan yang diutamakan adalah putusan MA
yang menarik perhatian masyarakat, putusan yang direkomendasikan
untuk menjadi bahan pelajaran dan putusan-putusan terpilih (landmark
decision). Dengan
demikian, maka hasil yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hakim
untuk menjalankan tugasnya sebagai “judix
jurist”.
Untuk
memulainya, pemetaan dilakukan dengna memperhatikan komposisi hakim
agung didalam sistem kamar dan beban perkaranya.
Didalam
laporan Tahun 2011, Hakim Agung berjumlah 42 orang dengan beban
perkara 21.414 perkara (merupakan
akulumasi perkara sisa tahun 2010 sebanyak 8.424 dan perkara yang
masuk tahun 2011 sebanyak 12.990)22.
Kenaikan perkara terus menjulang tinggi sejak tahun 2005 (7.468),
2006 (7825), 2007 (11.338), 20
Padahal
tahun 2011 MA kehilangan hakim agung Moegihardjo dan Hakim Agung
Prof. Muchsin. Tahun 2011 telah diterapkan sistem kamar.
Di
tahun 201223,
MA menerima perkara 13.412 perkara sehingga perkara di tahun 2012
menjadi 21.107 perkara. Jumlah Perkara yang sulit dipenuhi dengan 44
orang hakim agung. Setelah sebelumnya MA “memecat”
hakim agung. Belum lagi pensiun24
dan meninggal.
Tahun
2013, MA memutuskan perkara 16.034 (akumulasi
perkara yang masuk 12.360 perkara)
dengan meninggalkan jumlah perkara 6.415 perkara.
Sedangkan
tahun 2014, MA memeriksa 18.926 perkara (akumulasi
perkara sisa tahun 2013 6.415 perkara dan perkara yang masuk 12.511
perkara). MA kemudian
memutuskan 14.501 perkara dan menyisakan 4.425 perkara. Tahun 2014,
MA menerima kedatangan 4 hakim agung dari kebutuhan 10 orang hakim
agung. Mereka yang terdiri dari 2 orang di kamar agama, satu kamar
perdata dan satu di kamar TUN25.
Padahal akhir tahun 2014, 3 orang hakim agung pensiun26.
KY
sendiri juga mengakui kesulitan mendapatkan hakim agung untuk mengisi
di MA. Dengan hanya mendapatkan 4 orang hakim agung dari 10 hakim
agung tahun 2014 dan pensiunnya 4 orang hakim agung tahun 2015
menyebabkan kebutuhan hakim agung tahun 2015 menjadi 10 orang hakim
agung.
Sehingga
dengan 51 orang hakim agung belum mampu memenuhi jumlah ideal 60
orang di MA27.
Sebuah kebutuhan hakim agung untuk memeriksa perkara rata-rata 12-13
ribu perkara pertahun. Atau setiap orang hakim agung harus memutuskan
250 perkara/tahun.
Belum
lagi mekanisme sistem kamar yang membuat ketimpangan jumlah perkara
antara satu kamar dengan kamar yang lain.
Di
tahun 2012, ketimpangan itu semakin kelihatan. Untuk perkara perdata
bisa mencapai 3.165 perkara disusul pidana khusus (2.658 perkara),
pidana (2.310 perkara) dibandingkan dengan perdata khusus (853
perkara), perdata agama (670 perkara), TUN (422 perkara) dan militer
cuma 258 perkara28.
Upaya
mengurangi perkara yang diajukan ke MA, telah dilakukan oleh MA.
Peraturan MA No. 2 Tahun 2012 untuk perkara remeh temeh29
dan mengeluarkan Surat Edaran No. 6 Tahun 2012 untuk keterlambatan
pencatatan kelahiran batas satu tahun. Upaya ini diharapkan agar
perkara yang “berujung” ke MA dapat ditekan.
Namun
upaya ini kurang dapat “menekan”
perkara yang diajukan ke MA. Tahun 2013 perkara terus masuk dan naik
di tahun 2014.
Dengan
melihat beban pemeriksaan perkara oleh hakim agung dengan memeriksa
perkara rata-rata 250 perkara/tahun menjadi salah satu faktor, hakim
agung kurang menjalankan fungsinya sebagai judex
jurist.
Perkara-perkara yang diputuskan di tingkat kasasi kering akan makna.
Hakim agung tidak mau terlibat perdebatan panjang untuk menggali
“keadilan”
di tengah masyarakat. Bahkan masih banyak putusan yang masih
menempatkan “kekeliruan’
yang berangkat dari
paradigm pemikiran legisme.
Yang menganggap UU adalah sebagai pijakan. Sebuah otokritik yang
sering disampaikan oleh Sudiksno30.
KY sendiripun mengakui terhadap putusan MA masih standar31.
Melihat
putusan-putusan terpilih (landmark
decision) sejak tahun
2011, maka “kelihatan”
sedikit sekali Hakim
agung yang berkonsentrasi terhadap putusannya. Hakim-hakim yang
memutuskan perkara dan putusannya kemudian dijadikan putusan-putusan
terpilih (landmark
decision) merupakan
hakim-hakim agung yang “menguraikan”
pertimbangannya secara mendalam.
Nama-nama
seperti Harifin A. Tumpa32,
Paulus Effendi Lotulung33,
Artijdo Alkostar34,
Salman Luthan, Komariah E. Sapardjaya, Gayus Lumbuun merupakan
nama-nama yang dikenal publik sebagai orang yang dapat “mewarnai’
MA.
Namum
upaya itu tidak cukup. Dengan beban perkara 250 perkara/tahun dan
sedikit sekali hakim agung yang dapat memberikan “pertimbangan
hukum” untuk
menjalankan fungsi sebagai “judex
jurist”, maka
mekanisme perekrutan yang dilakukan oleh KY harus dilakukan dengan
cara-cara luar biasa.
Mekanisme
ini bisa dilakukan dengan melihat kiprah hakim-hakim karir dan calon
hakim non karir. Perpaduan mekanisme dengan melihat kiprah hakim
karir dan calon hakim non karir merupakan salah satu mekanisme yang
ditempuh untuk mencari calon hakim yang baik.
KY
bisa memulai dengna memotret terhadap perjalanan karir hakim-hakim
yang ditempatkan daerah-daerah utama seperti Pengadilan Tinggi Sumut,
Pengadilan Tinggi Sumsel, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Pengadilan
Tinggi Jawa Timur, Pengadilan Tinggi Kalsel, Pengadilan Tinggi
Sulawesi Selatan.
Dengan
telah ditempuhnya perjalanan karir hakim yang telah melewati
pengadilan tinggi utamanya sudah memberikan “tiket”
kepada calon hakim agung yang memenuhi kualifikasi. Cara ini pernah
ditempuh dalam proses pengangkatan hakim pada masa-masa sebelum orde
baru. Terlepas daripada kelemahan seperti masa lalu, mekanisme ini
bisa ditempuh sebagai bahan bagi KY mencari “mutiara”
yang terserak di Pengadilan Tinggi. Nama-nama seperti Paulus Effendi
Lotulung, Yahya Harahap, Benyamin Mangkudilaga, Bismar Siregar adalah
sebagian kecil nama-nama yang ditemukan dari hakim karir yang
menapaki karir dari bawah dan kemudian cemerlang di Mahkamah Agung.
Menggunakan mekanisme ini secara sekilas diceritakan oleh Daniel S.
Lev35
dan cukup lengkap oleh Sebastian Pompe36.
Nama-nama
seperti Yahya Harahap, Paulus Effendi Lotung adalah nama-nama yang
berasal dari hakim karir namun begitu produksi menghasilkan berbagai
karya dibidang hukum. Produktif menulis buku dapat disejajarkan
dengan Wirjono Prodikoro yang literaturnya masih digunakan dalam
berbagai mata kuliah di Fakultas Hukum di Indonesia.
Selain
itu KY bisa memantau berbagai putusan yang melakukan “terobosan”
hukum didalam putusannya. Teroboson hukum seperti gugatan CLS,
memberikan makna unsur didalam pasal-pasal pidana seperti pasal 362
KUHP yang remeh temeh namun kemudian membuat lahirnya Peraturan
Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2012 ataupun putusan-putusan yang
mengutamakan keadilan substansif atau Putusan hakim yang memberikan
pemaknaan baru untuk melihat unsur-unsur di KUHP dan hakim yang
mempunyai proyeksi kedepan (perspektif) merupakan “mutiara” yang
bisa dijadikan “nurani” kebenaran di MA.
Begitu
juga, KY mendatangi lembaga-lembaga hukum yang mempunyai praktisi
hukum yang integritasnya sudah diketahui publik dan tidak diragukan
lagi. Lembaga-lembaga hukum seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kementerian Hukum dan HAM, Badan
Pembinaan Hukum Nasional, KPK, KOMNAS HAM, LPSK, dan lembaga-lembaga
Negara lain telah menyediakan nama-nama yang bisa disodorkan menjadi
hakim agung.
Cara
selanjutnya KY mendatangi kampus-kampus untuk berdiskusi dengan
berbagai ahli, meminta ahli hukum untuk menjadi hakim agung merupakan
salah satu pilihan mengatasi berbagai “putusan
yang menjemukan”
dari putusan kasasi MA.
Lihatlah
berbagai putusan di tingkat kasasi. Didalam berbagai pertimbangan
dalam perkara di tingkat kasasi, Hakim tingkat kasasi tidak pernah
mempertimbangkan dalil-dalil yang disampaikan para pemohon kasasi.
Tidak ada argumentasi yang muncul. Namun kemudian langsung menyatakan
dengan kalimat, bahwa dalil-dalil pemohon tidak dapat dibenarkan.
Sehingga Hakim tingkat kasasi menolak permohonan para pemohon kasasi.
Dengan
mendatangi kampus-kampus, bertemu dengan berbagai pihak untuk
menemukan ahli hukum menjadi hakim agung merupakan salah satu pintu
mempersiapkan hakim agung yang diharapkan dapat berperan sebagai
“judex jurist”.
Nama-nama
seperti Bagir Manan, Artijdo Alkostar, Komariah E. Sapardjaya, Gayus
Lumbuun Rehngena Purba,
merupakan nama-nama yang
dikenal publik sebagai orang yang berasal dari kampus dengan
keilmuwan yang tidak diragukan lagi.
Selain
itu juga, KY bisa memantau nama-nama ahli hukum yang sering menjadi
saksi ahli di persidangan.
Selanjutnya
dengan mendatangi berbagai perkumpulan organisasi hukum untuk
menemukan praktisi hukum yang sudah teruji dengan perjalanan waktu
yang panjang. Organisasi seperti IKAHI, LBH, PERADI merupakan “kawah
candradimuka” yang
menyediakan calon-calon hakim agung yang bisa didorong ke MA. Artijdo
Alkostar adalah potret hakim agung yang telah lama bergumul praktisi
hukum dari LBH.
Sebelum
menjadi hakim agung, Artidjo aktif sebagai dosen tetap Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan advokat. Pernah
Direktur LBH Yogyakarta pada 1983-1989. Sebagai seorang advokat,
Artidjo pernah menangani beberapa kasus penting, di antaranya Anggota
Tim Pembela Insiden Santa Cruz di Dili, Timor Timur tahun 1992 dan
Ketua Tim Pembela gugatan terhadap Kapolri dalam kasus Pelarungan
Darah Udin (wartawan Bernas Fuad M Syafruddin).
Artidjo
dikenal “public” sebagai hakim agung yang terkenal galak kepada
korupsi. Artidjo justru memperberat hukuman terhadap Angelina
Patricia Pingkan Sondakh (Anggie
dari 4 tahun 6 bulan menjadi 12 tahun penjara sertai denda Rp 500
juta dan uang pengganti Rp 12,58 miliar dan USD 2,35 juta).
Tommy Hindratno (pegawai
pajak pada Kantor Pajak Sidoarjo semula 3 tahun 6 bulan penjara
menjadi 10 tahun penjara),
Umar Zen (15
tahun dari 3 tahun kurungan), Anggodo
Widjojo (10 tahun penjara dari 5 tahun
kurungan). Tentu saja kita tidak lupa
dengan kasus Anas Urbaningrum (diganjar
dengan 14 tahun penjara, denda Rp 5 miliar dan membayar uang
pengganti Rp 57 miliar)37
Polemik
terhadap Artidjo mulai dipersoalkan. Mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva (HZ), mendukung dilakukannya
eksaminasi terhadap 17 putusan sidang kasasi yang dipimpin oleh hakim
agung Artidjo Alkostar. Kajian diperlukan untuk melihat dari sisi
akademik, terhadap putusan yang dibuat telah memenuhi syarat atau
tidak38.
Kajian akademik mengenai putusan hakim Artidjo dilakukan oleh Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI). Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) Fadli Nasution mengatakan, PMHI menilai ada kejanggalan dalam putusan Artidjo terhadap permohonan kasasi yang diajukan beberapa terpidana kasus korupsi. Artidjo dinilai melakukan kekeliruan dalam memutus sidang kasasi. Ia dianggap menggunakan kompetensi MA dalam kasasi untuk menghukum terdakwa dengan menambah jumlah hukuman, bukan memberikan keadilan bagi orang yang melakukan upaya hukum
Mantan
Menteri Kehakiman, Yusril Ihza Mahendra (YIM), menyesal dulu
mengajukan Artidjo Alkostar sebagai calon Hakim Agung ke DPR RI.
Alasan YIM menyesalkan terhadap Artidjo karena Artidjo memutuskan
perkara dengan latar belakang benci terhadap koruptor. YIM
berpendapat, kebencian terhadap sesuatu maka menyebabkan seseorang
untuk berbuat tidak adil39.
Namun
mengutip pendapat dari Bagir Manan, jabatan hakim adalah jabatan
diam, jabatan yang tidak membicarakan pekerjaannya di depan publik,
termasuk memberi komentar terhadap putusannya maupun putusan orang
lain di depan publik.
Yang diperbolehkan adalah membuat catatan-catatan akademis mengenai hal tertentu sepanjang sebagai akademisi40.
Yang diperbolehkan adalah membuat catatan-catatan akademis mengenai hal tertentu sepanjang sebagai akademisi40.
Pendapat
ini merupakan “peringatan”
kepada Artidjo terhadap pernyataan di publik tentang korupsi dan Andi
Samsan Nganro ketika proses seleksi hakim agung di DPR41.
Dalam
teori membuat putusan, van Apel Doorn mengatakan, bahwa hukum itu a
logis, tetapi
penggarapannya logis.
Mengapa a logis karena
hukum itu normatif dan mengandung nilai, karena mengandung nilai maka
sarat dengan emosi42.
Dengan
cara mendatangi organisasi hukum, maka KY mendapatkan “data”
saringan” yang telah teruji dan hasil seleksi yang matang di tengah
masyarakat.
Mekanisme
lain yang bisa ditempuh oleh KY dengan mendengarkan “suara
publik” terhadap
peristiwa yang terjadi. Berbagai pendapat ahli yang disampaikan
dimuka persidangan, tulisan di media massa yang berangkat dari
pendekatan keadilan merupakan mutiara-mutiara yang terpendam namun
terus bersuara. Mereka adalah para punggawa keadilan yang terus
bersuara ditengah apatis publik terhadap hukum. Mereka adalah pemikir
mencari jalan keluar dari berbagai kebuntuan peraturan
perundang-undangan.
Di
tangan mereka, dengan mengeluarkan pendapat baik di persidangan
maupun di media massa, pergumulan pemikiran dan solusi terbaru
menghadapi persoalan masyarakat dapat dipecahkan. Pendekatan yang
digunakan baik dari filsafat, norma, asas hukum, nilai, prinsip
bahkan solusi praktis yang mudah ditangkap oleh publik
Berbagai
peristiwa yang menarik perhatian masyarakat dan berbagai peristiwa
kontroversi kemudian dijadikan bahan analisis untuk melihat
argumentasi yang telah disampaikan para ahli.
Disampaikan Konferensi Nasional II PUSAKO, Padang, 12 September 2015
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Daniel
S Lev. Dalam bukunya “Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan
dan Perubahan, Pustaka
LP3ES, 1990
Sebastiaan
Pompe, The Indonesian
Supreme Court: A Study of Institutional Collapse,
Southeast Asia Program Cornell University, 2005.
Sudikno,
Filsafat Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita.
JURNAL
Jurnal
Konstitusi, Jurnal MK kerjasama dengan Pusat Konstitusi dan Kajian
Publik, Fakultas Hukum Universitas Jambi, Nomor 3 November 2010.
Majalah
Komisi Yudisial, Edisi September – Oktober 2013
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Dasar 1945
UU
No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 Komisi
Yudisial
UU
No. 3 Tahun 2009 TENTANG Perubahan Kedua atas UU No. 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung,
Surat
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011
Surat
Edaran Mahkamah Agung No 1 Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012
PUTUSAN
Putusan
MA No. 2399 K/Pid.Sus/2010
Putusan
MA. No. 1600 K/Pid/2009
Putusan
MA No. 0004 K/Pdt/2009
Putusan
MA No. 1542 K/Pid.sus/2008
LAPORAN
Laporan
Tahun MA 2011.
Laporan
Tahunan MA 2012
Laporan
Tahunan MA 2013
Laporan
Tahunan MA 2014
MEDIA
MASSA
cnn,
8 Oktober 2014
Antara,
21 Oktober 2014
Tempo
31 Desember 1983
hukumonline,
27 September 2011
Jambi
Ekspress, 5 Oktober 2012
gresnews,
22 Oktober 2014
KOMPAS,
13 Juni 2015.
Harian
Fajar 12 Juni 2015
1
Advokat, tinggal di Jambi
2
Mahkamah Agung kemudian mendefinisikan sebagai “judex jurist”.
3
Pasal 24 A ayat (2) Konstitusi
4
Di Negara yang menganut sistem hokum Anglo saxon disebut The
binding force of precedent atau
preseden yang mengikat. Sedangkan di negara yang menganut sistem
hokum Eropa Kontinental disebut yurisprudensi.
5
Tempo
31 Desember 1983
6
Hakim di tingkat kasasi kemudian membuat putusan dalam kasus Kedung
Ombo. Kasus tersebut, dalam tingkat pertama, ganti rugi yang
dituntut hanya Rp. 1000,- (seribu rupiah). Namun dalam tingkat
kasasi, Asikin memutuskan jumlah ganti rugi menjadi berlipat-lipat
dari tuntutan pada tingkat pertama, sehingga jumlahnya menjadi
berpuluh-puluh ribu. Beliau menerobos larangan ‘ultra petitum
petita’. Putusan ini dibangun atas pertimbangan beliau bahwa
rentang waktu antara sidang pada tingkat pertama dengan sidang pada
tingkat kasasi sangat lama, sehingga nilai seribu pada waktu sidang
tingkat pertama nilainya menjadi berpuluh-puluh ribu pada waktu
sidang tingkat kasasi.
7
Istilah Keadilan procedural (procedural justice) atau Asas kepastian
hukum (rechtmatigheid)” dan keadilan substantif (substansif
justice) atau keadilan hukum (gerectigheit) merupakan ranah penting
di MA. MA tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural
(procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan
substantif (substantive justice). Atau dengan kata lain, M tidak
boleh mengutamakan Keadilan
atau kepastian yang lahir dan hakim adalah keadilan atau kepastian
yang dibangun atas dasar dan menurut hukum. Jurnal
Konstitusi, Jurnal MK kerjasama dengan Pusat Konstitusi dan Kajian
Publik, Fakultas Hukum Universitas Jambi, Nomor 3 NOvember 2010.
8
Diskursus mengenai tentang keadilan substansi (substantive justice),
dengan keadilan prosedural (procedural justice) juga disampaikan
Gustav Radbruh. Menurut Gustav Radbruh, Hukum harus mengandung tiga
nilai identitas.(1). Asas kepastian hukum atau rechtmatigheid. Asas
ini meninjau dan sudut yuridis. (2). Asas keadilan hukum
(gerectigheit), asas ini meninjau dan sudut filosofis.(3). Asas
Kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility .
Asas ini meninjau dari sosiologis. Sedangkan didalam Putusan MA No.
2399 K/Pid.Sus/2010, dijelaskan “Mahkamah Agung dalam penerapan
hokum diselaraskan dengan tuntutan keadilan masyarakat. Putusan MA
No. 2399 K/Pid.Sus/2010 termasuk kedalam putusan yang dipilih oleh
MA sebagai putusan penting (landmark decision) tahun 2011
9
Yahya Harahap pernah menyatakan, sebagai wakil Tuhan, maka putusan
hakim adalah putusan yang pertimbangannya dianggap sama dengan
pertimbangan Tuhan, Diskusi Hukum oleh Ditjen Badan Peradilan Agama
MA RI tanggal 30 April 2013 sebagaimana dikutip oleh Achmad Fauzi,
Pengkhianatan Hakim Tuna Integritas, Majalah Komisi Yudisial, Edisi
September – Oktober 2013
10
Jabatan Hakim adalah jabatan diam. Jabatan yang tidak membicarakan
pekerjaannya di depan public. Para hakim juga tidak diperbolehkan
memberi komentar terhadap putusannya maupun putusan orang lain di
muka public. jabatan diam merupakan tradisi para hakim dimanapun
yang harus dihormati. Bahkan Bagir menegaskan “Hakim
dimanapun saja sangat tidak layak mengomentari pekerjaan instansi
lain atau lembaga lain. Tidak boleh, tidak wajar, tidak layak. Hakim
harus independent. Pelantikan
enam hakim agung di Gedung MA, Jakarta, 15 Agustus 2008.
11
Calon Hakim Agung Pamerkan putusannya jadi rujukan, hukumonline, 27
September 2011
12
Musri Nauli, Hukuman Mati dari Sudut Pandang Hakim, Jambi Ekspress,
5 Oktober 2012
13
Padahal menurut pasal 10 KUHP, hakim di tingkat PK bisa menjatuhkan
straftmaacht hukuman seumur hidup atau hukuman penjara selama 20
tahun. Menjatuhkan pidana penjara 15 tidak relevan dengan penolakan
hukuman mati.
14
Sekedar gambaran, 3 Desember 2004, Majelis Kasasi Mahkamah Agung
yang dipimpin Bagir Manan memvonis Sudjiono 15 tahun penjara, denda
Rp 50 juta, dan membayar uang pengganti Rp 369 miliar. Saat hendak
dieksekusi pada Selasa 7 Desember 2004 dia melarikan diri. Sudjiono
Timan termasuk dalam 14 koruptor yang menjadi buronan Jaksa Agung.
PK kemudian diajukan oleh ahli waris. MA membuat Surat Edaran No 1
Tahun 2012 tanggal 28 Juni 2012 (SEMA) yang menegaskan bahwa
permintaan PK yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana tanpa
dihadiri oleh terpidana harus ditolak dan berkas perkaranya tidak
dilanjutkan ke MA.
15
Walaupun MA hampir setiap tahun mengeluarkan landmark decisions
(putusan
terpilih).
namun masih sedikit sekali fungsi MA sebagai “judex
jurist’ menjawab
persoalan hokum di tengah masyarakat.
16
Pasal 13, pasal 18 ayat (1) dan ayat (4) UU No. 18 Tahun 2011
Tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 Komisi Yudisial
17
Pasal 24 ayat konstitusi.
18
Pasal 24 A ayat (3) konstitusi vide pasal 13 huruf a UU No. 18 Tahun
2011
19
Pasal 24 A ayat (2) konstitusi
20
Pasal 6 UU No. 3 Tahun 2009 TENTANG Perubahan Kedua atas UU No. 14
Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung,
21
Berdasarkan Surat keputusan ketua Mahkamah Agung Nomor
142/KMA/SK/IX/2011, Mahkamah Agung kemudian secara resmi menerapkan
sistem kamar. Tujuan penerapan sistem kamar tersebut adalah untuk
menjaga konsistensi putusan, meningkatkan profesionalisme hakim
agung dan mempercepat proses penanganan perkara di MA Laporan
Tahunan Mahkamah Agung 2011
22
Laporan Tahun MA 2011. Perkara yang telah diupload di situs MA
hingga akhir 2011 berjumlah 144.995 putusan dan 122.708 diupload
tahun 2012. Sedangkan perkara di MA tahun 2011 berjumlah 12.189
putusan. Naik dari 5.819 (109%).
23
Laporan Tahunan MA 2012
24
Harifin A. Tumpa, H. Atja Sondjaja, Mieke komar, Imam Haryadi,
Dirwoto, Mansyur Kertayasa, Amhad Sukardja, Rehngena Purba, Achmad
Yamanie, Muhammad Taufik, Djoko Sarwoko.
25
Inilah nama Hakim Agung Baru di MA, antara, 21 Oktober 2014
26
KY Siapkan Enam Calon Hakim MA, cnn, 8 Oktober 2014
27
Ridwan Mansyur, Biror Hukum dan Humas MA, Dapat Tambahan Empat Hakim
Agung, Formasi MA belum Ideal, gresnews, 22 Oktober 2014
28
Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2012
29
Nilai kerugian hanya 2,5 juta rupiah sebagaimana diatur didalam
pasal 364, pasal 373, pasal 379, pasal 384, pasal 407, pasal 482
KUHP
30
Masih banyak anggapan dari ahli hokum bahwa hokum sebagai sesuatu
yang telah tersedia yang tinggal mempergunakan saja. mereka yang
menyamakan hokum dengan UU. Menurut mereka hokum adalah apa yang
diatur oleh UU. Sudiksno, Filsafat Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita,
Hal. 7
31
Majalah Komisi Yudisial, Edisi September – Oktober 2013
32
Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana apabila hakim menemukan
suatu penyelesaian yang efektif berdasarkan asas keseimbanga, rasa
keadilan, pemaafan dan manfaat jauh lebih besar apabila perkara
dihentikan. Putusan MA. No. 1600 K/Pid/2009
33
Majelis hakimnya termasuk Harifin Tumpak. MA tidak dapat melakukan
koreksi atau menguji suatu putusan lembaga yudikatif lain seperti
MK. Putusan MA No. 0004 K/Pdt/2009
34
MA berwenang menilai putusan bebas murni demi kepentingan hokum dan
keadilan. Putusan MA No. 1542 K/Pid.sus/2008
35
Daniel
S Lev. Dalam bukunya “Hukum dan Politik di Indonesia:
Kesinambungan dan Perubahan, Penerbit:
Pustaka LP3ES,
1990, Hal. 15
36
Sebastiaan Pompe,
The
Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse,
Southeast Asia Program Cornell University, 2005, Hal. 40
37
Data dari berbagai sumber
38
Hamdan Zoelva sebagai narasumber
dalam publik yang digelar Perhimpunan Magister Hukum Indonesia
(PMHI), Jakarta, 12 Juni 2015. KOMPAS, 13 Juni 2015.
39
Harian Fajar 12 Juni 2015
40
Disampaikan pada Pelantikan
enam hakim agung di Gedung MA, Jakarta, 15 Agustus 2008.
41
Calon Hakim Agung Pamerkan putusannya jadi rujukan, hukumonline, 27
September 2011
42
PENGKHIANATAN HAKIM TUNA INTEGRITAS, Achmad Fauzi, Majalah Komisi
Yudisial, September-Oktober 2013, Jakarta