Asap
pekat yang terus menutupi matahari di Jambi ternyata belum mampu
memberikan empati kepada persoalan asap. Dalam kurun Januari 2014 –
Agustus 2015, di Jambi sudah menunjukkan 1300 titik api (hotspot).
Angka ISPO sudah mencapai 324, angka level sangat membahayakan bagi
kesehatan. Minggu pertama September saja, angka ISPA sudah mencapai
angka ribuan. Kematian bayi, perebutan air bersih, terhentinya
penerbangan melalui udara. Tidak melautnya nelayan, hingga
diliburkannya anak sekolah adalah fakta-fakta yang sudah terpapar di
depan mata.
Dengan
menggunakan berbagai sumber, titik api menunjukkan berada di kawasan
izin konsesi HTI dan sawit. Walhi Jambi sendiri memastikan 80 %
letak titik api berada di izin HTI dan sawit. Pola yang sama,
berulang, canggih dan “terkesan” dilindungi dari hukum.
Melihat
pola kebakaran asap maka bisa dihitung secara periodik. Memulai
“tradisi” asap di Jambi tahun 1997 (sebuah kebakaran massal
yang menyelimuti Indonesia dengan titik api berada di 23 Propinsi)
kemudian berulang 5 tahun kemudian. Namun sejak tahun 2006, pola ini
semakin massif dengan berulang dua tahun sekali. Yang lebih
memilukan, sejak tahun 2010, pola ini semakin berulang setiap tahun
dengan titik konsentrasi tahun 2013 dan tahun 2015.
Tahun
2013, Indonesia kemudian “diprotes” oleh Singapura dan
Malaysia yang menerima “ekspor” asap dari Indonesia. Namun
tahun 2015, pesisir pantai timur Sumatera yang berkawasan gambut
memanjang dari Riau, Jambi dan Sumsel kemudian “merasakan”
akibat dengan titik api yang berada di gambut.
Entah
memang “tidak menguasai kondisi di lapangan” atau memang
ada indikasi “melindungi” kepentingan bisnis yang
mencengkram pesisir pantai timur Sumatera, issu pokok tentang asap
kemudian “dikamuflase” dan menggiring publik untuk melihat
persoalan asap dari sudut yang lain. Dan perdebatan publik kemudian
“digiring” menjadi polemik “tuduhan” terhadap
masyarakat yang membakar. Dan pesan ini disampaikan berulang-ulang.
Baik dari level tertinggi seperti Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan hingga petinggi negeri di Jambi.
Melihat
pernyataan dari petinggi negeri, penegak hukum dan sesat pikir
tentang asap membuat penulis berkeyakinan. Ada sesuatu yang keliru
memandang persoalan asap.
Berangkat
dari keprihatinan dan menjaga persoalan asap tidak bergeser dari
persoalan substansi, penulis ingin rembug untuk melihat persoalan ini
lebih obyektif.
KELIRU
MELIHAT PERSOALAN ASAP
Kekeliruan
ini dimulai dari rapat penting di Pemerintahan. Petinggi pemerintahan
Jambi kemudian “meminta” agar bandara disediakan alat
canggih untuk menuntun pesawat di tengah asap. Semacam earlning
system yang memandu pesawat sehingga dapat turun di tengah asap.
Penulis
kemudian kaget dengan pernyataan ini. Kekagetan dilandasi dengan
belum empatinya petinggi pemerintahan Jambi melihat persoalan asap.
Kekagetan
juga dilihat bagaimana “terlalu lamanya” respon melihat
persoalan asap di Jambi. Desakan berbagai kabupaten untuk menetapkan
“status darurat asap” kemudian baru dilaksanakan setelah
memasuki awal bulan September.
Padahal
pertengahan Agustus merupakan momentum untuk menetapkan “status
darurat asap” sehingga segala potensi bisa dikerahkan sebelum
keadaan asap belum separah sekarang. Momentum itu kemudian hilang dan
asap tidak mampu lagi dibendung sehingga praktis “melumpuhkan”
keadaan kehidupan masyarakat. Sekolah diliburkan. Jalanan sepi.
Bandara tutup. Penerbangan dibatalkan tanpa kepastian waktu. Awan
belum bisa berkumpul sehingga tidak bisa dilakukan rekayasa hujan
dengan menggunakan pesawat udara.
Belum
hilang rasa kaget melihat berbagai pernyataan petinggi pemerintahan
Jambi, pernyataan “titik api nol” menjadi cara pandang
melihat persoalan asap.
Keadaan
semakin kronis yang ditandai mulai meninggalnya bayi berumur 2 tahun,
perebutan air bersih, panen gagal namun ditangkap dengan pernyataan
“titik api nol”.
Bukan
terlibat didalam polemik berapa titik api yang berada di Jambi. Namun
tidak mampu menegakkan hukum terhadap perusahaan penyebab titik api
dan penyebar asap.
Disisi
lain, penegak hukum cuma mengabarkan telah dilakukan penangkapan
terhadap masyarakat yang membakar. Tanpa mengganggu proses hukum yang
telah berlangsung. Namun titik api (hotspot) yang berada areal
konsensi perusahaan baik HTI dan sawit sama sekali tidak tersentuh.
Perusahaan tidak mampu dijangkau oleh hukum. Perusahaan kebal dari
hukum (imunity).
Padahal
mekanisme hukum telah memberikan “tugas” yang mudah kepada
penegak hukum untuk menyeret perusahaan sebagai penanggungjawab
“titik api” diareal perusahaannya. Dengan berbagai
informasi yang telah tersedia, penegak hukum dapat meminta
pertanggungjawaban (liability) perusahaan terdapat titik api
(hotspot).
Mekanisme
yang disediakan oleh hukum dengan pembuktian “absolute liability”
telah tegas diatur didalam pasal 49 UU Kehutanan, pasal 85 UU
Lingkungan Hidup, UU Perkebunan. Bahkan didalam PP No. 4 Tahun 2001
dan PP nomor 45 tahun 2004 dengan tegas menyatakan “setiap
pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal didalam izinnya.
Dengan
term “setiap pemilik izin bertanggungjawab terhadap areal
didalam izinnya”, maka maka
pemilik izin tidak dapat menghindarkan dan pengecualian
pertanggungjawaban apapun (defende).
Ditambah
dengan berbagai kenyataan, sedikit sekali perusahaan yang mempunyai
alat pemadam kebakaran untuk memadamkan titik api (hotspot) di
arealnya. Sehingga “walaupun” perusahaan tidak melakukan
pembakaran, namun terjadinya titik api (hotspot) di arealnya dan
tidak ditunjang dengan peralatan memadai untuk memadamkan titik api
api (hotspot), maka perusahaan “nyata-nyata” harus diminta
pertanggungjawaban secara hukum. Asas ini biasa dikenal dengan
Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without Schuld)
dalam praktek sistem hukum Anglo Saxon. Asas ini kemudian
mengenyampingkan asas dalam sistem hukum Eropa kontinental asas
“tiada pidana tanpa kesalahan (GEEN
STRAF ZONDER SCHULD)” atau asas
culpabilitas.
Dengan
menggunakan asas “liability without
Schuld”, maka penegak hukum langsung
bergerak meminta pertanggungjawaban dari perusahaan dan menyeret ke
muka hukum.
Penegak
hukum tidak perlu lagi harus terlebih dahulu mencari barang bukti,
mencari pelaku pembakar dan mencari saksi. Dengan menggunakan
mekanisme “liability without Schuld”,
titik api sudah menunjukkan bagaimana
perusahaan tidak dapat menghindarkan dari tanggungjawab terhadap
titik api (hotspot)
yang berada di areal konsesinya.
Mudah
bukan ? Lalu ? Kalau Mudah Mengapa belum juga dilakukan ? Pertanyaan
kemudian bergeser. Bukan persoalan mudah atau sulit mencari
pertanggungjawaban kebakaran. Tapi apakah Mau ?