Saya
mendapatkan kabar duka kepergian Slamet Sibariang ketika sedang berada di luar
kota Jambi. Kekagetan itu didasarkan kepada kepergian beliau di tengah berbagai
persoalan kompleks hukum pidana dan berbagai derita penyakit yang diterima oleh
beliau.
Secara
administrasi, saya tidak pernah “diasuh” mata kuliah yang dipegang oleh
Alm Slamet Sibariang. Waku kuliah, sekitar 200 mahasiswa Fakultas Hukum Unja
dibagi menjadi 4 kelas. Kelas A, Kelas B, Kelas C dan Kelas D. Pemilihan dan
pembagian kelas diurut berdasarkan nomor mahasiswa. Penulis mendapatkan nomor
urut ganjil. Sehingga kuliah lebih banyak dikelas A ataupun di kelas C.
Sedangkan Alm Slamet Sibariang mengasuh mata kuliah yang diajarkan di kelas B
ataupun kelas D.
Dalam
perjalanan menyelesaikan masa studi, saya banyak mendengarkan “keluhan”
mahasiswa kelas B dan kelas D terhadap pola pengajaran oleh Alm Slamet
Sibariang. Kami biasanya menyebutkan dosen “killer”. Saya kurang
tertarik dengan istilah “killer”. Selain karena lebih menampakkan “rasa
minder”, juga didasarkan kepada “ketakutan” mahasiswa Fakultas hukum
yang sering “ogah-ogahan” untuk kuliah secara serius.
Entah memang
karena iseng ataupun penasaran, suatu waktu saya mengikuti kuliah yang diajarkan
oleh Alm Slamet Sibariang. Saya memang tidak mengambil mata kuliah yang
diajarkan. Namun pada saat bersamaan, kuliah sedang kosong. Sayapun bergerombol
masuk kelas yang diajarkan oleh Pak Slamet.
Saya ingat
persis ketika setiap memulai kuliah, beliau selalu memesan kopi es. Ya. Kopi
tapi pakai es batu. Sayapun masih mengenang peristiwa itu selain karena “unik”
namun wajahnya cukup berwibawa.
Waktu itu,
dosen yang bergelar magister hukum sedikit sekali. Seingat saya, hanya
dosen-dosen senior yang telah memiliki gelar magister. Tidak lama kemudian,
barulah dosen fakultas hukum berbondong-bondong mengambil magister hukum.
Sehingga “kepakaran” pak Slamet memang diatas rata-rata dosen hukum apalagi
hukum pidana.
Dalam
menguraikan teori hukum dasar, kepakaran Pak Slamet memang “menggigit”. Dia
mampu dengna jernih menjelaskan baik dilihat dari perkembangan dasar hukum
maupun dalam perkembangan hukum pidana. Kepakaran beliau memang ditunggu
berbagai pihak. Sayapun sering mendapatkan kabar beliau sering menjadi saksi
ahli baik diminta oleh Kepolisian, oleh Pengadilan maupun di Kejaksaan.
Kepakaran itu ditunjang dengan “ketelitian” beliau membaca berkas, kemampuan
menulis hingga “jago berdebat” dalam menyampaikan gagasannya. Saya
berkesempatan mendiskusikan berbagai persoalan hukum ketika setelah selesai
masa studi.
Dengan khas
suaranya yang berat, ditunjang dengan badan yang tegap, cara menyampaikan
gagasan memang “menyilaukan”. Dengan tenang beliau mampu “menjelaskan”
tanpa harus menyakiti pihak lawan sehingga menerima pendapatnya. Teknik ini
memang sulit dan penulis masih harus belajar banyak dari beliau.
Intelektual
Organik
Setelah
menyelesiakan masa studi, saya sering bertemu dengan Pak Slamet dalam berbagai
forum pertemuan diluar kampus. Sebagai sesama jaringan, kami berdiskusi.
Berbeda
dengan sebelumnya ketika di kampus, setelah diluar kampus, beliau sering
memanggil saya dengan “Pak Nauli”. Sebuah panggilan menurut saya cukup
janggal. Selain karena beliau adalah dosen saya, panggilan saya cukup dengan
panggilan akrab “nauli”. Namun dia membantah dan memberikan argument. “Saya
menghormati anda. Tidak pantas lagi memanggil Nauli”. Sayapun tetap ngotot
agar tetap memanggil “Nauli”. Dia diam. Tapi setahu saya, dia tidak
pernah mau mengikuti saran saya. Beliau tetap memanggil saya dengan panggilan
resmi “Pak Nauli”. Sayapun menghormati pilihan dia.
Ketika saya
dan Pak Slamet untuk bersama-sama mendampingi supir taksi yang diberhentikan
oleh pemiliknya. Saya dan Pak Slamet kemudian menjadi kuasa hukum. Kami
melakukan advokasi bersama-sama. Mengadukan ke berbagai pihak. Mulai dari
demonstrasi ke kantor Taksi, melaporkan ke Gubernuran hingga supir taksi “bermalam”
di DPRD Propinsi. Aksi ini juga banyak didukung oleh berbagai kalangan
mahasiswa.
Setiap sore
beliau berkesempatan hadir di kantor DPRD memberikan dukungan. Namun menurut
saya, kehadiran beliau di tengah aksi “Bermalam” di DPRD memberikan
pesan kepada siapapun. Agar para supir taksi yang bermalam di DPRD tidak boleh
diganggu dengan upaya kekerasan oleh siapapun.
Namun dalam
dimensi yang lain, kehadiran fisik pak Slamet adalah lambang dari sikap
“intelektual” dari personal pak Slamet yang begitu agung.
Pak Slamet “keluar”
kungkungan dunia akademis yang kaku dan
duduk di menara gading. Pak Slamet kemudian dari konsepsi “dosen” yang
memegang spidol di kampus. Antonio Gramsi memberikan definisi “intelektual
organik”.
Intelektual
organik adalah mereka yang “keluar dari out of the box”, sebagaimana
dijelaskan oleh Antonio Gramsi dalam bukunya “negara dan Hegemoni”. Bagi
Gramsci, setiap orang memiliki bakat dan potensi intelektual. Gramsci membagi
pengertian intelektual dalam dua kategori, yakni intelektual tradisional dan
intelektual organic.
Yang
dimaksud dengan intelektual tradional adalah intelektual yang belum meluas dan
digerakan oleh produksi. Sedangkan intelektual organic yakni intelektual yang
memiliki kemampuan untuk sebagai organisator politik yang menyadari identitas
yang mewakili dan diwakili.
Jenis
intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut
Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual
tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan
kebutuhan masyarakat.
Pekerjaan
Intelektual organik merupakan antitesa ketika disaat bersamaan setiap tahun,
Indonesia menghasilkan ratusan ribu sarjana. Namun harus diakui pendidikan di
Indonesia kemudian “hanya” berhasil mencetak tukang. Hanya menjadikan kaum
terdidik sebagai teknorat semata.
Hampir
praktis, sedikit sekali yang mau menoleh kepada Paulo Freire, pendidik
multikultural yang mengabdikan dirinya kepada pendidikan yang memihak kepada
penindas.
Pesannya
jelas. Pendidikan selalu merupakan tindakan politis. Padahal pendidikan harus
menegaskan pertanyaan seperti “apa ? Mengapa ? Bagaimana ? Untuk tujuan apa ?
Bagi siapa ?. Pertanyaan itu sering disampaikan dalam diskusi-diskusinya.
Di dunia
hukum juga mengalami persoalan yang sama. Para calon sarjana hukum “cuma
dididik” sebagai “tukang” membaca rumusan pasal-pasal. Dipersiapkan sebagai
teknorat seperti menjadi hakim, jaksa, polisi atau penasehat hukum.
Apabila
dipersiapkan masuk kedalam struktur negara, para calon sarjana hukum kemudian
dididik menjadi legal drafter. Kering makna.
Gugatan ini
sudah sering disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dengan mengajak keluar dari
“pakem” kaku kurikulum kampus. Slogan “Hukum untuk manusia” merupakan refleksi
terhadap “kakunya sarjana hukum memandang hukum.
Sehingga
tidak salah kemudian sarjana hukum gagap menghadapi putaran zaman dan masih
“bernostalgia” dengan jimat hukum sebagai panglima. Mereka ketinggalan dengan
perkembangan dunia yang terus berputar dan bergeraknya masyarakat Indonesia
yang semakin dinamis.
Kemudian
sarjana hukum gagap menciptakan pekerjaan dan cukup merasa zona aman dengan
menjadi teknokrat.
Tidak salah
kemudian sarjana hukum yang mempunyai nilai yang baik lebih merasa “aman”
mengisi hari-harinya dengan memasuki pekerjaan yang tersedia.
Mereka tidak
mau “mengambil resiko” untuk memasuki dunia diluar zona aman.
Sehingga
tidak salah kemudian menjadi aneh“ mahasiswa yang mengambil pilihan hidup
keluar di zona aman. Turun ke kampung-kampung, membentangkan poster, berdialog
dari kampung-kampung, membangun kesadaran rakyat, belajar dari kampung.
Pak Slamet
kemudian pergi meninggalkan kampus untuk “bertarung” dengan rakyat untuk
mendapatkan keadilan. Dan Pak Slamet telah memulainya. Der Excellent.
Selamat
datang intelektual organik. Selamat jalan Pak Slamet. Keteladananmu memberikan
arti. Siapa dirimu sebenarnya.