Musri Nauli[3]
Ketika
undangan dari Fakultas Kehutanan Universitas Jambi dengan tema “Kearifan dan
Pengetahuan Lokal dalam Konteks Pengelaan Hutan[4]”,
maka penulis berkesempatan untuk menyampaikan persoalan yang paling mendasar.
Persoalan untuk memahami persoalan ini dari konteks dan sudut pandang yang
berbeda.
Penggunakan
kata “sudut pandang yang berbeda”
berangkat semata-mata penulis mengajak kepada kita semua, agar memahami
persoalan ini secara utuh dan sementara meninggalkan pengetahuan yang
didapatkan dari kampus[5].
Kesempatan ini juga digunakan untuk menoleh sejenak kepada tatacara pengetahuan
masyarakat didalam memandang hutan dan tata cara memandang hutan.
Ajakan
kita harus penulis sampaikan selain materi yang disampaikan merupakan
pengetahuan yang telah diwariskan turun temurun di tengah masyarakat juga
materi yang disampaikan merupakan fakta yang tidak terbantahkan terhadap
pengelolaan masyarakat.
Tanpa
mengurangi rasa hormat kepada pengetahuan yang telah didapatkan dari kampus,
pengetahuan dari masyarakat merupakan salah satu kekayaan yang dimiliki
Masyarakat Melayu Jambi. Merupakan kehormatan bagi penulis mendapatkan
berkesempatan memaparkan makalah dalam seminar ini.
Alam
Magis
Masyarakat Melayu Jambi
termasuk kedalam termasuk rumpun kesukuan Melayu[6]. Secara
fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai
cultural termn/terminologi kebudayaan)[7]. Masyarakat Melayu pada dasarnya dapat dilihat (a)
Melayu pra-tradisional, (b) Melayu tradisional, (c) Melayu modern[8].
Dilihat dari kategorinya, maka masyarakat Melayu Jambi dapat diklasifikasikan
dalam Melayu tradisional. Menurut Yusmar Yusuf, kearifan dan tradisi Melayu
ditandai dengan aktivitas di Kampung[9]..
Kampung merupakan pusat ingatan (center
of memory), sekaligus pusat suam (center
of soul). Kampung menjadi pita perekam tradisi, kearifan lokal (local wisdom).
Walaupun
keberadaan masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari diperkirakan sudah
berada jauh sebelum masuknya kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu
dan Islam, namun belum menemukan dokumen-dokumen untuk mendukung pernyataan
tersebut[10]
Prasasti-prasasti
yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan belum bisa mendukung tentang
asal-muasal masyarakat dan sejarah yang bisa menceritakan banyak tentang
masyarakat. Hipotesis yang bisa disampaikan, bahwa keberadaan masyarakat
diperkirakan telah ada jauh sebelum kedatangan masuknya agama-agama Budha,
Hindu dan Islam.[11]
Namun
yang menarik, kesemua Desa-desa mengaku merupakan keturunan dari Pagaruyung
atau Minangkabau. Penulis kesulitan menghubungkan antara keturunan dengan
Pagarayung atau Minangkabau. Elisbeth Locher- Scholten mengidenfikasikan[12]
dengan istilah “Jambi Hulu”, berasal
dari Minangkabau tidak tepat. Menurut Barbara Watson Andaya, hanya penduduk
daerah yang dikenal sebagai Koto VII dan Kota IX yang dikatakan berlatar
belakang Minangkabau[13].
Orang Minangkabau berpindah ke selatan pada abad Ke 17 atau sesudahnya dan
kemudian menyatakan diri tunduk kepada bathin dengan menyatakan diri sebagai
penghulu. Kelompok bathin migran menetap di Rawas di perbatasan Jambi dan
Palembang.
Walaupun seloko yang sering
dipegang oleh masyarakat hulu Batanghari “Adat
bersendi syara'. Syara bersendi Kitabullah” sebagai ajaran penting dari
pengaruh Islam, namun kata-kata seperti Teluk
sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo sunyi yang dikenal
dengan seloko “Tempat siamang beruang
putih, Tempat ungko berebut tangis” mempunyai pengaruh yang kuat dari
ajaran Hindu Spritualitas Upanishad[14]
Dalam tradisi intelektual
India, Upanishad[15].
Dihubungkan dengna gerakan yang ingin melakukan reinterpretasi atau reformasi
kehidupan religius. Paham ini kemudian menempatkan dalam monistik. Termasuk
dalam perkembangan kehidupan sosial keagamaan yang menempatkan tidak
semata-mata milik kelompok elite tertentu.
Pertanyaan tentang konsepsi
Tuhan sebagai penyebab alama semesta “darimana
makhluk itu lahir, melalui siapa mereka hidup dan kepada siapa mereka kembali ?
Menyebabkan pertanyaan tentang konsepsi alam dapat dilihat sebagai berikut
:
- Alam semesta tidak dianggap ada dari ketiadaan atau non eksistensi (creatio exnihilo). Alam harus dipandang sebagai sebuah proporsi prime facie yang suatu saaat digugurkan oleh kebenaran. Alam semesta lahir dari Tuhan.
- Alam Semesta kembali kepada tujuan akhir, yakni Tuhan. Sumber darimana mereka muncul pada awalnya.
Tujuan utama Upanishad
bukanlah mengajarkan kebenaran filsafat melainkan kedamaian dan kebebasan.
Dengan demikian maka Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau
Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat
siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis hanyalah tempat dan
bentuk penghormatan manusia kepada Tuhan. Aristoteles menyebutkannya “hylemorfisme”[16]. Sedangkan
Islam sendiri menyebutkannya “Zuhud”,
yakni menjalani kehidupan dunia secara sederhana pengaturan yang bertujuan
untuk akherat (aspek eksatologis/ukhrawi)
Namun walaupun adanya
tempat yang tidak boleh dibuka, namun Masyarakat bersama-sama dapat mengambil
manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan
Dalam
dokumen resmi Pemerintah Belanda melalui Peta SCHETSKAART Residentie Djambi –
Adatgemeenschappen (Marga’s) skala 1 : 750.000 telah diakui pembagian marga.
Diantaranya Margo Bathin Pengambang, Margo Sumay dan Margo Sungai Tenang
Masyarakat
adat pada umumnya mengenal dengan baik ruang lingkup hidup mereka. Batas
tanahnya di mana, darimana diperoleh dan bagaimana caranya, umumnya masih dapat
diceriterakan kembali oleh sebagian tokoh adat atau orang-orang tua yang masih
hidup. Mereka bahkan dapat menunjukkan tanda dan bukti kepemilikan yang
diwariskan secara turun temurun. Bukti kepemilikan tersebut juga sebagiannya
diperkuat dengan tradisi lisan yang masih hidup di sebagian besar daerah.
Tradisi lisan ini umumnya menyajikan kisah awal munculnya nenek moyang, hubungan
dengan kelompok masyarakat lain di sekitarnya dalam kaitan dengan pemilikan
tanah dan sumberdaya dalam wilayah tertentu[17].
Dengan
Tambo, maka bisa ditentukan wilayah daerah tertentu yang biasanya ditandai
dengan tanda-tanda alam seperti sungai,
bukit, napal, renah, lubuk, muaro, bukit, pematang, telun adalah bentuk
alam yang tidak hilang. Sedangkan istilah seperti “Dari” artinya dimulai, “ke”
artinya menuju,”pelarung” artinya
menyeberang sungai atau melewati titian, “naik”
artinya mendaki bukit, “turun”
artinya menuruni bukit, “balik”
artinya kembali. Setelah Tambo telah ditentukan, maka dilakukan pengecekan
dilapangan dengan menggunakan GPS[18].
Dan dari hasil pengecekan di lapangan, maka bisa ditentukan sketsa peta wilayah
berdasarkan Tambo.
Makna
Simbolik
Masyarakat
hulu Sungai Batanghari mengenal daerah-daerah yang tidak boleh dibuka.
Masyarakat Margo Bathin pengambang mengenal dengan istilah Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”. Masyarakat mengenal
daerah yang tidak boleh dibuka seperti Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo
Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus.
Di
Margo Sungai Tenang mereka mengenal Rimbo
sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat
siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis.
Sedangkan
di Margo Sumay mereka mengenal dengan istilah hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih
dan Pasir Embun. Atau Sialang
Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi). Di Desa Muara
Sekalo dikenal dengan istilah “hutan
keramat, Sialang pendulangan, lupak pendanauan, Beudangan dan Tunggul pemarasan.
Desa Suo-suo, adalah Pantang Padan, Bukit
Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, Beduangan
dan Tunggul Pemarasan. Sedangkan di Desa Tuo Sumay adalah Rimbo bulian, Sialang Pendulangan, Lupak
Pendanauan dan Gulun.
Rimbo ganuh atau rimbo
sunyi atau hutan keramat merupakan
daerah yang tidak boleh dibuka. Ujaran seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko
berebut tangis” merupakan makna simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah
yang harus dilindungi. Ter Haar sendiri menyebutkan adanya penghormatan
tempat-tempat yang dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya
“rimbo simpanan atau rimbo larangan”[19]. Tideman
melaporkan sebagai “rimbo gano[20]”.
Selain
mengatur tentang daerah yang tidak boleh dibuka, masyarakat juga mengenal
tanaman yang tidak boleh ditebang dan tanaman yang tidak boleh “ditutuh” (dipanjat).
Pengaturan
tentang daerah yang tidak boleh dibuka dan tanaman yang tidak boleh ditebang
biasa dikenal dengan pantang larang. Selain itu juga Tambo juga mengatur proses
pembukaan hutan untuk pertanian masyarakat[21].
Istilah Setawar dingin[22],
Lambas[23],
Mengepang[24],
Belukar Tuo[25],
Datang nampak muko[26],
Nasi Putih Air jernih[27],
Harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa[28],
Empang Krenggo[29] merupakan
tatacara pengaturan membuka hutan.
Sebagai
persekutuan hukum (rechtsgemeenshap),
maka Masyarakat mempunyai hak ulayat[30].
Van Vollenhoven merumuskan “het hoagste
richtten aauzien van garand”, artinya hak tertinggi terhadap tanah dalam
hukum adat yang memberi kewenangan kepada masyarakat hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil
manfaat atau hasil-hasil yang ada di wilayah masyarakat hukum adat tersebut dan
tanah ulayat tersebut merupakan tanah kepunyaan bersama pada warganya. Lebih
dikenal dengan istilah penguasaan tanah (tenure security).
Dengan
persekutuan hukum (rechtsgemeenshap),
kemudian memiliki hak perseorangan. Hak perorangan itu ialah suatu hak yang
diberikan kepada warga ataupun orang luar atas sebidang tanah yang berada di
wilayah hak ulayat (purba) persekutuan yang bersangkutan. Ada 6 (enam) macam hak perorangan yang
terpenting: (1) hak milik, hak yasan (inlandsbezitsrecht); (2) hak wenang
pilih, hak kinacek, hak mendahulu (voorkeursrecht); (3) hak menikmati hasil
(genotrecht); (4) hak pakai (gebruiksrecht) dan hak menggarap/mengolah
(ontginningsrecht); (5) hak imbalan jabatan (ambtelijk profijt recht) dan (6)
hak wenang beli (naastingsrecht)[31]
Tatacara
pengelolaan Hutan
Ter Haar menyebutkan
identifikasi masyarakat hukum adat.
- Adanya tempat yang dilarang. Semua Desa mengenal Pantang-larang yaitu Rimbo Ganuh. Dimana Rimbo Ganuh hutan yang tidak boleh dibuka. Adanya tempat yang dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan”[32]. Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano[33]”.
- Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan. Pohon-pohon itu tidak diboleh ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai dan pohon sialang[34]
- Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan Depati (volkshoofd). Ini ditandai dengan seloko “alam sekato rajo. Negeri sekato bathin”. Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Hak ini kemudian dikenal dengan istilah hak Membuka Tanah (ontginningrecht).
- Depati kemudian menyetujui dan memberitahukan kepada Pesirah[35]. Terhadap pembukaan tanah maka harus digarap. Dalam teori hak individu atas tanah dikenal dengan Hak Menikmati (genotrecht) dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya. Atau biasa juga dikenal ”Qui prior et tempore, potior est in jure orang yang pertama datang adalah orang yang paling pertama mendapat hak. Para pemangku adat membuat hubungan yang harmonis antara warga masyarakat dengan adat, masyarakat dengan alam sekitarnya.
- Apabila tidak digarap, “sesap rendah, belukar tinggi”, maka hak untuk menggarap tanah menjadi hilang. Dalam teori hak individu atas tanah, biasa dikenal dengan “hak wenang pilih”[36]. Sehingga hak seperti Hak Menikmati (genotrecht) dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang digarapnya Atau ”Qui prior et tempore, potior est in jure orang yang pertama datang adalah orang yang paling pertama mendapat hak tidaklah bersifat mutlak. Hak ini akan hapus apabila “sesap rendah, belukar tinggi. Tiderman memberikan istilah ”tanah belukar tuo dan tanah belukar mudo[37]. Dalam ujaran adat juga dikenal ”harta berat ditinggalkan. Harta ringan dibawa”.
- Sedangkan apabila ditanami tanaman keras dan diberi tanda-tanda berupa tanaman buah-buahan seperti durian, maka hak miliknya dilindungi oleh Dusun[38]. Mereka mengenal dengan istilah “hilang celak dengan mentaro”, atau cacak tanam, jambu kleko”, atau “lambas”. Tiderman memberikan istilah ”Tanah sesap”[39].
- Diluar dari masyarakat yang membuka hutan tanpa persetujuan dari Depati atau Pesirah, maka “Hilang mati”. Segala sesuatu tidak diurus. “mati tidak diurus”. Van Vollenhoven merumuskan sebagai “delik”[40].
- Pengakuan hak milik. Terhadap masyarakat yang membuka hutan telah sesuai dengan tata cara di Desa “seperti memberitahukan Depati atau pesirah, memberikan tanda seperti tanaman buah-buahan, maka adanya pengakuan hak milik. Hak milik kemudian diakui. Soepmo merumuskan dengan istilah “kepemilikan hak milik membuka peluang bagi pemiliknya untuk berbuat apa saja terhadap tanah yang dimilikinya”. Namun tidak dikenal adanya jual beli. Apabila adanya jual beli tanah, maka hak milik menjadi hapus dan tanah kembali ke Dusun. Dalam teori lain disebutkan dengan istilah “tak terpisahkan tetapi dapat dibedakan”[41].
Melihat penjelasan yang disampaikan, maka
terhadap kekuatan hak milik tidaklah mutlak. Hak milik akan didapatkan apabila
membuka hutan telah adanya persetujuan dari Depati atau pesirah. Harus segera
ditanami. Seperti ujaran “Sesap rendah,
jerami tinggi”. Apabila tidak ditanami, maka hak untuk menggarap menjadi
hilang. Setiap tanah yang telah dibuka harus diberi tanda yang berupa tanaman
seperti durian dan sebagainya. Sedangkan apabila telah dibuka, namun tidak
ditanami keras dan hanya ditanami tanaman palawija baik sayur-sayuran maupun
padi, maka apabila tidak dikerjakan lagi, maka hak milik menjadi hapus. Dalam
teori lain disebutkan dengan istilah penguasaan berbalik (adverse possession)[42]
Dengan
melihat prinsip-prinsip yang telah disampaikan, maka hak milik tidaklah mutlak
sebagaimana dalam teori Quadragessimo
Anno dalam prinsip UUPA.
Terhadap
tanah tidak dapat diperalihkan kepada orang lain. Masyarakat mengenal istilah “hak wenang pilih”. Artinya Hak wenang
beli adalah hak untuk diutamakan boleh membeli sebidang tanah dengan harga yang
sama.
Hak
milik akan tetap berada didalam tangannya apabila memang dikerjakan. Hak milik
merupakan hak terkuat di antara hak perorangan yang ada.
Tanah
yang telah dibuka maka harus diberi tanda (sign) seperti “hilang celak dengan mentaro”, atau cacak tanam, jambu kleko”, atau “lambas”
Sanksi
Untuk
menjaga tambo dan dihormati Tambo, maka terhadap pelanggaran akan dikenakan
sanksi. Di Margo Bathin Pengambang biasa dikenal dengan istilah “tegur sapo, tegur ajar dan Guling Batang. Sedangkan
di Margo Sumay biasa dikenal dengan istilah “ayam ayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis.
Proses
penyelesaikan dilakukan melalui mekanisme berjenjang yang biasa dikenal dengan
seloko “Berjenjang naik, bertangga turun”[43].
Di Margo Sumay disebut Pulai berpangkat
naik. Tinjau Ruas dengan bukunya[44].
Bahkan di di Margo Sumay sendiri mengenal proses penyelesaian. Atau biasa
kita kenal dengan hokum acara[45].
Di Margo Sungai Tenang, Desa-desa yang berdasarkan kepada Tambo kemudian
mengikrarkan diri melalui Peraturan Desa[46].
Tambo
sebagai dasar dan konsep pembuatan
peraturan di Desa membuat hokum yang berasal dari masyarakat kemudian
dihormati. Tambo yang disampaikan turun temurun pada waktu tertentu tetap
melekat dan menjadi pengetahuan masyarakat didalam memandang hokum dan membuat
peraturan yang mengatur tentang kehidupan yang berkaitan dengan hutan
(mekanisme dan tatakelola) dan pengaturannya (tata ruang).
Tambo
mengatur nilai-nilai seperti Tumbuh diatas tumbuh, Hukum Mendaki, hukum
mendatar dan hukum menurun, Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya.
Berjenjang naik, bertangga turun, Tegur sapo, tegur ajar dan guling batang.
Tambo
juga mengatur norma-norma seperti ayam berpindes, beras segantang, kelapa
sejinjing, selemak semanis, Raja Melangkah maju, Rakyat bersimpuh Kebul.
Sanksi
adat yang telah dijatuhkan namun tidak dilaksanakan, maka “Bebapak pado
harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo.
Secara harfiah, orang ini kemudian dikenal sebagai “orang buangan'. “Sakit
tidak diurus. Mati tidak dikuburkan”. Hidupnya menjadi tidak dihormati
orang kampung.
Di
Margo Batin Pengambang dikenal dengan Tegur
Sapo[47], Tegur Ajar[48] dan Guling Batang[49].
Sedangkan di Margo Sumay memberikan sanksi cukup berat terhadap pohon
sialang dengan istilah “membuka pebalaian”
yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir,
selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta. Muara Sekalo
memberikan istilah “ayam berpindes, beras
segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis”. Begitu juga Desa Suo-suo
memberikan sanksi adat “ayam sekok, beras
segantang dan selemak semanis”.
Di
Margo Sungai Tenang dijatuhi sanksi kambing Sekok, beras 20, batu Rp 500.000,-.
Denda dijatuhkan Seekor Kambing, Beras 20 gantang dan Batu emas senilai Rp
500.00,- Selain itu ditambah Tinggi Tidak
dikadah, rendah tidak dikutung atau Bebapak
Kijang. Berinduk Kuaw[50].
Apabila putusan telah dijatuhkan, maka tidak bisa dilaksanakan, maka tidak
perlu diurus didalam pemerintahan desa.
Hukum
adat bersifat holistik karena tidak ada perbedaan antara hukum public – privat,
bidang hukum pidana, perdata, tata Negara, hukum agraria, dan sebagainya. Hukum
Eropa bersifat parsial, sebaliknya hukum adat delik bersifat holistik.
Jenjang
adat
Tata
Cara menyelesaikan persoalan yang biasa dikenal dengan istilah Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap
proses dimulai dari Tuo Tengganai.
Barulah diselesaikan di tingkat Desa.
Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling
Batang. Tiga Tali Sepilin. Didalam
menyelesaikan perselisihan, maka adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan
lembaga adat.
Di
Margo Sungai Tenang dikenal “Yang berhak
untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan
berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat.
Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala
Adat, Lembaga adat.
Iman
Sudiyat menyebutkan sanksi berfungi untuk mengembalikan keseimbangan kosmis.
Dalam hubungan sosial sanksi terhadap delik adat adalah upaya untuk
mengembalikan kohesi sosial yang ditimbulkan oleh pelanggaran atau kesalahan
yang dilakukan oleh anggota komunitas itu. Sebab, jika kesalahan seseorang yang
melakukan delik adat dan tidak dilakukan tindakan reaksi dengan cara memberi
sanksi kepadanya, maka akan melahirkan saling curiga, saling dendam, saling
cemburu dan saling membandingkan, sehingga berdampak pada kerenggangan hubungan
antar induvidu dalam komunitas itu. Jika hal ini terjadi, maka situasi dan
kondisi ini akan merusak kohesi sosial, kerenggangan sosial dan jika berlarut-
larut, dikhawatirkan akan melahirkan benturan terbuka[51].
Tumbuh
diatas Tumbuh
Kata-kata
“Tumbuh diatas tumbuh” merupakan
nilai-nilai filosofis yang agung.
Tanpa
dipengaruhi oleh hikayat, mitos ataupun cerita yang diterima dari nenek moyang,
harus diakui, didalam melihat segala sesuatu dilatar belakang dengna pemikiran
mistis dan rasional. Dikatakan mistis karena ada beberapa jawaban yang masih
memerlukan kajian yang mendalam. Sedangkan apabila dikatakan rasional apabila
jawaban diberikan, dapat diterima dengan akal pikiran yang rasional.
Tumbuh
diatas tumbuh adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern,
nilai ini merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen
yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara
praktis.
Tumbuh
diatas tumbuh apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan harus dilihat dari sebab
perbuatan itu terjadi”. Sebagai contoh, sebuah perkelahian yang terjadi,
tentu saja harus didengarkan dari keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu
terjadi. Sebelum dijatuhkan pidana adat (delik adat) seperti “menguak daging. Merencong tulang”, harus
dipastikan mengapa peristiwa itu terjadi.
Pemikiran
ini sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang
kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah
teori kausalitas (Teori conditio sine qua
non). Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli
hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab
suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht)
dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).
Tiap
faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor
penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor
diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian
faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.
Teori
conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena
tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat. Maka
teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa)
Sebutan
lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs
theorie” (teori syarat). Disebut demikian karena dalam teori ini antara
syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Dengan
melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi dari “tumbuh diatas tumbuh” berangkat dari
setiap perbuatan yang ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.
Tumbuh
diatas tumbuh merupakan salah satu nilai fundamental penting yang masih tetap
kukuh dipertahankan masyarakat. Berangkat dari Tumbuh diatas tumbuh, mereka
dapat menyelesaikan masalah yang timbul tanpa harus menghakimi dan memberikan
putusan yang keliru.
Sehingga
teori von Buri ternyata merupakan teori yang universal, rasional dan dapat
digunakan masyarakat didalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Dalam
proses penyelesaian dikenal dengan istilah “jenjang adat”. “Berjenjang naik bertangga turun.
Dalam
masyarakat Desa Semambu dikenal dengan hukum
mendaki, hukum menurun dan hukum mendatar. Hukum mendaki contohnya “mencecak
telur, menikam bumi”.
Di
Desa Pemayungan dimulai dari saksi melaporkan kepada Kepala Dusun dan kemudian
melaporkan ke Lembaga Adat. Lembaga adat yang mengumpulkan anggota lembaga adat
seperti tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Lembaga adat
menjatuhkan sanksi dan Kepala Desa melaksanakan putusan adat.
Di
Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh
diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai
berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun”.
Dimulai dari ninik mamak kemudian ke Mangku. Mangku kemudian ke Depati.
Depati kemudian mengundang dalam rapat adat dan ditentukan siapa yang bersalah
dan sanksi diberikan. Depati yang melaksanakan putusan adat dan
menyampaikannya.
Ninik
mamak diselesaikan. Setelah putus runding, maka hasil rindungan kemudian
Barulah keputusan diserahkan kepada Kepala Desa.
Namun
di Desa Suo-suo setiap persoalan dapat diputuskan dalam tingkatan ninik mamak.
Dalam
penjelasan lain disebutkan, bahwa hukum mendaki adalah hukum yang putusannya
harus diselesaikan oleh Depati. Terhadap hukum yang harus diselesaikan oleh
Depati termasuk kesalahan “mencecak telur. Menikam bumi.
Dengan
demikian, maka hukum mendaki sebenarnya adalah hukum yang dijatuhkan oleh
Depati. Bukan kategori dari “mencecak telur. Menikam bumi.
Sedangkan
hukum mendatar adalah hukum yang diputuskan oleh ninik mamak. Hukum ini adalah
sengketa para pihak dimana, tidak dapat diselesaikan di tingkat keluarga.
Sedangkan
hukum menurun adalah hukum yang diputuskan cukup kedua belah pihak semata. Para
pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sendiri. Seperti dalam ujaran “Ular
tau dibiso. Rimau tau di belang”[52]
Apabila
dapat diselesaikan oleh kedua belah, maka tidak dapat dimajukan ke ninik mamak
atau kepada Depati. Sebagaimana didalam ujarannya “Berunding sudah tetap. Kato
pertamo ditepati. Kato kedua dicari-cari”.
Secara
filosofi dapat dilihat dari nilai “tumbuh diatas tumbuh”. Hubungan sebab
akibat. Misalnya “meruak daging, merencong tulang”. “Meruak daging” adalah
perkelahian yang menyebabkan luka. Sedangkan “merencong tulang” adalah perkelahian
yang menyebabkan patah tulang. Para pihak yan bersengketa kemudian berunding
untuk menyelesaikannya. Tahap ini kemudian dikenal dengan istilah “akad dulur”.
Penghormatan
terhadap Tambo merupakan akumulasi dari penghormatan hokum adat. Di tengah hokum
nasional yang bercirikan “positivism”, hokum adat mengutamakan keadilan
substansi. Keadilan yang mementingkan “rasa aman”, rasa tentram dari
masyarakat.
Dengan
kekuatan hukum adat, masyarakat menjadi teratur, tertib. Walaupun mengalami
pergeseran perkembangan zaman tetapi masih berkeinginan untuk menjaga dan
melestarikan hukum adat. Sehingga benar yang disampaikan oleh Van Vollenhoven “hukum adat bertumbuh diam-diam bagaikan padi
(het adatrehct groeit stil als de padie). Ada kekuatan bersama-sama dan kesadaran
kolektif (conscience collective) di
masyarakat bahwa apa yang dilakukan bermanfaat bagi orang lain. Masyarakat
terikat dalam satu kesatuan yang penuh solidaritas dalam persekutuan hukum
(rechtsgemeenshap). Dan perkembangan hukum adat berkembang terus (het
adatrechti groeit stil als de pedie)
Hubungan
Masyarakat dengna hukum adat diibaratkan seperti darah dan tanah (blut und boden)[53].
Falsafah
adat merupakan ilmu yang tidak bisa diterima begitu saja, karena harus
dipelajari memahaminya sehingga dapat bermanfaat dalam kehidupan.
Dalam
pepatah dan petitih adat yang tertuang kata tidak hanya cukup diartikan yang
tersurat, tetapi harus dicari juga yang tersirat dalam setiap kata pepatah
tersebut.
Untuk
mengetahui dan menyelidiki falsafah asli Indonesia haruslah mengetahui dan
menyelidiki adat dan pantun Indonesia[54]
Kehidupan
desa-desa kita diarahkan dan dipengaruhi oleh nenek-moyang sebagai filosof,
melalui adat, pandangan dan sikap hidup yang diwariskannya dari angkatan ke
angkatan[55]
Masyarakat
memiliki sejarah cara berpikir mereka sendiri, mempunyai sistem pengetahuan
mereka sendiri, mempunyai warisan-warisan nilai-nilai sendiri, mempunyai
organisasi sosialnya sendiri[56].
Bagi
masyarakat, Filosofi “tumbuh diatas tumbuh, kampung
betuo, alam berajo, negeri bebatin, Tanjung Paku batang belimbing, tempurung
dipatenggangkan, anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain
dipatenggangkan, Teluk sakti, Rantau betuah, gunung badewo atau Tempat siamang
beruang putih, tempat ungko berebut tangis” sialang pendulangan, lupak
pendanauan, tunggul pemarasan, kepala sauk, tegur sapo-tegur ajar-guling
batang, bukan sekadar pengetahuan rasional, tetapi harus dibuktikan dapat
dipraktikkan dalam hidup sehari-hari.
Kawasan
hutan di hulu Sungai Batanghari penting untuk dipertahankan, karena
berada di wilayah hulu Jambi dan merupakan kawasan ekologi penting. Selain
menjadi sumber air bagi DAS utama Batanghari, juga merupakan wilayah
penghidupan masyarakat setempat. Secara keseluruhan hutan ini merupakan kawasan
penyangga (buffer zone) Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Taman
Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Kawasan yang tersisa di Jambi.
Kemampuan
menjaga hutan oleh masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari berbanding
terbalik dengan kawasan hutan dikelola perusahaan atau negara.
Ketidakmampuan
negara dan masih berdebat berdebat tentang cara terbaik mengatasi perubahan
iklim, emisi karbon pun terus meningkat. Masyarakat di hulu Batanghari sendiri
telah melakukan upaya penyelamatan hutan.
Filosofi
dan Nilai‐nilai adat (local
wisdom) dalam pengelolaan sumberdaya alam disepakati masyarakat sebagai prinsip
utama dalam pengelolaan hutan kemudian diatur didalam kedalam sebuah peraturan
desa. Dengan cara demikian dan kebijakan tentang pengelolaan sumberdaya alam
yang baik dan lestari dapat berlangsung secara berkesinambungan.
Pelajaran
dari filosofi masyarakat di hulu Sungai Batanghari didalam mengelola sumber
daya alam menjadi pelajaran berharga.
Begitu pentingnya
keberadaan masyarakat didalam menata dan menjaga sumber daya alam merupakan
kajian yang menarik baik dilihat dari hukum adat, antropologi, geologi dan ilmu
botani. Sudah saatnya, kajian lebih komprehensif dilakukan agar pelajaran dari
alam tidak tergerus putaran zaman.
Baca : cara Membaca Perber
SUMBER BACAAN
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
UU No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan
PERATURAN DESA TANJUNG MUDO
Nomor. 07 Tahun 2011 Tentang PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
PERATURAN DESA TANJUNG ALAM Nomor. 03 Tahun 2011
Tentang PIAGAM DEPATI DUO MENGGALO
PERATURAN DESA GEDANG
Nomor. 4 Tahun 2011 TENTANG KEPUTUSAN
ADAT ISTIADAT DEPATI SUKO MERAJO
PERATURAN DESA TANJUNG
BENUANG Nomor. 09 Tahun 2011 TENTANG
KEPUTUSAN DEPATI SUKO MENGGALO
BUKU
ADAT DALAM POLITIK
INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010
Ach. Dhofir Zuhri, Filsafat
Timur – Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Madani, 2013, Surabaya.
Domikus
Rato, Hermeneutika Hukum Ada
Elsbeth
Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi –
Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008
Emil
Kleden, Kebijakan-Kebijakan Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta
Tenurial Security dalam Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah
Konferensi Internasional tentang Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di
Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan Kembali Berbagai Jawaban”, 11 –
13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
Hedar
Laudjeng, Mempertimbangkan Peradilan Adat, HuMa Seri Pengembangan Wacana 2003
Jakob
Sumardjo, Mencari Sukma Indonesia 2003
M Nasroen, Falsafah Indonesia 1967
Myrna
Savitri, Negara dan pluralisme hukum -
Kebijakan pluralisme hukum di Indonesia pada masa kolonial dan masa
kini, BERAGAM JALUR MENUJU KEADILAN PLURALISME HUKUM DAN HAK-HAK MASYARAKAT
ADAT DI ASIA TENGGARA, Penerbit Epistema Institute, Jakarta
Nico
Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2012
Madjloes,
Beberapa Petunjuk Bagi Kepala Desa Selaku Hakim Perdamaian Desa, CV Pantjuran
Tudjuh Jakarta 1979.
Muchtar
Agus Cholif , ‘TIMBUL TENGGELAM – Persatuan Wilayah LUAK XVI, Tukap Khunut Di
Bumi Undang Teliti”, edisi khusus
P. DE ROO DE LA FAILLE, Het Sumatra's Westkust-Rapport en de Adat, Martinus
Nijhoff, 1928
Riset
Walhi, 2011
Sandra
Moniaga, Dari Bumiputera ke Masyarakat Adat - Sebuah Perjalanan panjang dan
membingungkan sebagaimana didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit
KITLV dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010
Satjipto
Raharjo, Hukum Adat dakam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Persfektif
Sosiologi Hukum) dalam, Inventarisasi Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat, Publikasi kerjasama, Komisi Nasional Hak Asasi Indonesia, Mahkamah Konstitusi,
Departemen Dalam Negeri Desember 2005 hlm 45.
Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku 1) 1973
Sutan
Takdir Alisjahbana, Kesatuan Asia Tenggara dan Tugasnya di Masa Depan, Ceramah
pada pemberian gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Sains Malaya.
Yusmar
Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009
Zulyani
Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[1] Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang
artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo
merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo
atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno
Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai
istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah
berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat
baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan
berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah,
dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi
dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh
Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH,
Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru
semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga
terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang
dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang
Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika
Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A.
Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor
233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH
dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1,
Tahun VIII, Januari 1978.
[2] Disampaikan pada Seminar Rutin Fakultas Kehutanan
Universitas Jambi, 25 Agustus 2015.
[3] Direktur Walhi Jambi
[4] Konsentrasi penulis disandarkan
kepada Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling
Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan
sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi.
F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut,
Amsterdam,
1938.
[5] Penulis tidak berpretensi mengabaikan pengetahuan
yang telah didapatkan dari kampus. Namun ajakan ini semata-mata agar pembahasan
yang disampaikan dapat mewarnai bahkan mempengaruhi cara pandang kaum
intelektual didalam melihat tatacara masyarakat didalam memandang hutan.
[6] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta,
LP3ES, 1997
[7] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit
WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal.31
[8] Yusmar Yusuf, Ibid, Hal. 34
[9] Yusmar Yusuf, Ibid, Hal. 40
[10] Catatan perjalanan seperti
Willian Marsden ataupun catatan Cornelis Von vollenhoven, Tideman maupun
Elizabeth hanya menceritakan sekilas. Sebelum kedatangan Islam ke Tanah
Melayu, agama masyarakat Melayu pada ketika itu yaitu Agama Buddha Puja Dewa,
Agama Hindu Puja Dewi dan animisme). Mereka sangat kuat kepada pemujaan. Data
dari berbagai sumber.
[11] Sebagian kalangan ahli
mendefinisikan sebagai masuknya budaya-budaya dan agama besar dunia.
[12] Elsbeth Locher Sholten,
Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907)
dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 42
[13] Watson Andaya, Cash Cropping,
Hal. 99-100 sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan
Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan
Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 43
[14] Lihat Filsafat Timur – Sebuah
pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Ach. Dhofir Zuhri, Madani, 2013, Surabaya,
Hal. 47.
[15] Upanishab mempunyai pengaruh
sistematika filsafat, agama, kebudayaan dan kehidupan umat manusia selama
beberapa milenium. Denyut dapat dilihat dari penyebaran agama Hindu di Tibet,
Thailand, Tiongkok, Indonesia dan negara-negara Indo China. Konsep “membantu
sesama manusia sejatinya memuja Tuhan” telah menempatkan kitab Upanishab
tentang pandangan tentang realitas yang menjawab ilmiah, filsafat dan agama
manusia. Paparan ini telah diuraikan oleh Renada, A. Constructive of
Unasibhadic Philosophy.
[16] Ach. Dhofir Zuhri, Op.cit. Hal.
57
[17] Emil Kleden, Kebijakan-Kebijakan
Transnational Institutions Yang Mempengaruhi Peta Tenurial Security dalam
Lingkup Masyarakat Adat di Indonesia, Makalah Konferensi Internasional tentang
Penguasaan Tanah dan Kekayaan Alam di Indonesia yang Sedang Berubah: “Mempertanyakan
Kembali Berbagai Jawaban”, 11 – 13 Oktober 2004, Hotel Santika, Jakarta.
[18] Global Position System (GPS)
merupakan salah satu alat menentukan titik dengna memuat koordinat yang cukup
akurat sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Terhadap penggunakan alat GPS
dapat dilakukan pelatihan praktis singkat yang biasa dikenal dengan pelatihan
pemetaan partisipatif. Lembaga seperti Jaringan Kerja Pemetaan Partisipati
merupakan lembaga yang mengkhususkan diri untuk mendidik para peserta untuk
melakukan pemetaan. Lembaga ini juga menyediakan pelatihan yang diadakan secara
reguler.
[19] Yusmar Yusuf, Op.cit, Hal.
71
[20] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut,
Amsterdam, 1938
[21] Hak untuk membuka hutan dan hak
milik merupakan hak ulayat yang tidak dapat tunduk dengan Stbl 1870 No. 118
yang terkenal rezim eigendom. Dalam rezim ini dikenal dengan tanah negara
dimana “sebidang tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya, maka
merupakan tanah negara (hak eigendom). Termasuk juga diatur dalam pasal 69 Stbl
1870 No. 118 yang tegas menyatakan “semua tanah liar (dengan hasil-hasil
alamnya) termasuk kecuali yang oleh penduduk pribumi telah dibukanya
berdasarkan hak pembukaan hutan, tanah negara sehingga untuk dibukanya oleh
rakyat harus dengan penetapan oleh pemerintah.
[22] Didalam rapat kemudian ditentukan
siapa saja yang berhak untuk membuka rimbo.
[23] Setelah dilakukan pengecekan
tempat yang mau dibuka, maka ditandai dengan cara sistem tuki (Pohon kayu
silang). Atau pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah membuka rimbo.
[24] Setelah memberikan tanda dengan
kayu berkait, maka dilakukan tebas dan tebang pohon. Apabila tidak dikerjakan
selama 3 bulan, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa.
[25] Walaupun sudah dikerjakan dengan
cara membuat tanda kayu berkait, ditebas dan ditumbangkan, apabila tidak
dikerjakan selama 3 tahun, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa.
[26] Pegi nampak punggung. Masyarakat
diluar Desa apabila hendak membuka rimbo, maka harus tinggal selama 3 tahun
setelah itu harus melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak.
[27] Setelah tinggal selama 3 tahun
dan melaporkan kepada tuo tengganai dan nenek mamak, maka diadakan rapat untuk
menyampaikan maksud untuk membuko rimbo.
[28] Tanah yang telah dibuka, tidak
dapat dibawa. Harus dijual kepada masyarakat Desa.
[29] Empang Krenggo. Rimbo yang telah
dibuka, ditanami tanaman mudo (padi dan sayur-sayuran) namun ternyata tidak
lagi ditanami selama 3 tahun, maka kembali ke Desa.
[30] Van Vollenhoven memberikan
istilah “Beschikkingrecht”. “Miskenningen van het Adatrecht sebagaimana
dikutip oleh Kurnia Warman, Disertasi, belum diterbitkan. Sedangkan
Soepomo memberikan istilah “hak pertuanan.
[31] Iman Sudiyat
[32] Yusmar Yusuf, Op.cit, Hal. 71
[33] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Hal. 38
[34] Pohon yang terdapat sarang lebah.
[35] Ahmad Intan, op.cit.
[36] Hak utama dari si pengelola yang tanahnya menjadi belukar lagi untuk
mengerjakan tanahnya. Hak ini berakhirnya apabila tanah itu menjadi belukar
kembali atau tanah belukar itu serentak dibuka kembali. Sedangkan pengelola
sebelumnya tidak menggunakan haknya itu.
[37] F. J.
Tideman dan P. L. F. Sigar, Hal. 39.
[38] Van
Vollenhoven pernah merumuskannya dalam buku “De Indonesier en zijn grond (Orang
Indonesia dengan tanahnya), Bockhandel en Drukkerij v/h E.J, Leiden, 1925. Hal.
9 sebagaiman dikutip Nico Nganni. Op. Cit. Hal. 53.
[39] F. J.
Tideman dan P. L. F. Sigar, Op.cit. Hal. 40.
[40] Van Vollenhoven, De Indonesier en Zign Grond
sebagaimana dikutip Nico Ngani, Op.cit. Hal. 118.
[41] Nico
Ngani, Op.Cit.
[42] Adverse
possession merupakan konsep “common law” yang memberikan hak kepemilikan dalam
keadaan tertentu kepada pemilik dalam jangka panjang atas tanah lainnya. Daniel
Fitzpatrick, Tanah, Adat dan Negara di Indonesia pasca Soeharto perspektif
seorang ahli hukum asing dalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, KITLV dan
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 161.
[43] Berjenjang naik, bertangga turun.
Setiap persoalan maka disampaikan ke ninik mamak. Ninik mamak kemudian Mangku.
Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang didalam rapat adat.
Didalam rapat adat kemudian ditentukan yang bersalah dan dijatuhi sanksi.
[44] Pulai berpangkat naik. Tinjau
Ruas dengan bukunya. Setiap persoalan harus dibicarakan dan diberitahukan
kepada orang ramai.
[45] Dimulai dengan seloko Tumbuh
diatas tumbuh. Setiap persoalan harus dilihat sebab dan akibat. Kemudian bisa
ditentukan tingkat kesalahannya. Hukum Mendaki, hukum mendatar dan hukum
menurun. Terhadap putusan yang dijatuhkan dapat mengajukan keberatan apabila
tidak mampu menjalankn putusan adat. Raja Melangkah maju, Rakyat
bersimpuh Kebul. Apabila sanksi diberikan tidak dapat dipikul untuk
membayarnya, maka dapat diberikan keringanan sesuai dengan kemampuannya.
[46] Desa Tanjung Mudo berdasarkan
Perdes No. 07 Tahun 2011, Desa Tanjung Alam berdasarkan Perdes No. 3 Tahun
2011, Desa Gedang berdasarkan Perdes No. 4 Tahun 2011, Desa Tanjung Benuang
berdasarkan Perdes No. 09 Tahun 2011 dan Desa Kotobaru berdasarkan Perdes No.
48 Tahun 2011. Kelima Desa bersama-sama dengan 12 Desa lain kemudian mengajukan
permohonan Hutan Desa dan kemudian disetujui Menteri Kehutanan seluas 49.508
ha.
[47] Tegur Sapo seperti Menumbang
pohon yang dilarang, memburu hewan yang dilarang, membuka hutan diluar aturan
adat.
[48] Tegur Ajar terdiri dari Membuka
lahan kebun orang yang sudah dimiliki. Orang luar yang mengambil hasil hutan
tanpa izin kepala Desa. Setelah dijatuhi sanksi adat kemudian dilaporkan ke
pihak keamanan.
[49] Guling Batu seperti Membuka
tempat yang dilarang, luar membuka hutan tanpa izin dari pihak tuo tengganai,
nenek mamak, membuka hutan tanpa rapat kenduri
[50] Ujaran ini mirip dengan seloko di
Minangkabau “Keatas tidak
berpucuk
Kebawah tidak berurat Ditengah tengah dilobangi kumbang” sama
artinya dengan pepatah sumpah di Minangkabau yang jelas pada waktu mulai
dilontarkan oleh nenek moyang orang Minangkabau belum sanggup menyatakan sumpah
agar dilaknati oleh Tuhan dan di azab.
Karena itu menurut Nasroen dalam bukunya
Minangkabau dan Negeri Sembilan mengenai dasar falsafah Minangkabau, ada 3
rahmat yang diberikan Tuhan kepada nenek moyang Minangkabau yaitu Pikiran, Rasa
dan Keyakinan. Faktor 1 dan 2 ada dalam diri manusia sendiri dan faktor 3 ada
dalam agama yang diyakini.
[51] Sandra Moniaga, Dari Bumiputera
ke Masyarakat Adat : Sebuah Perjalanan panjang dan membingungkan sebagaimana
didalam buku “Adat Dalam Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal. 313
[52] Khatib Kharim, Desa Teriti, Kecamatan Sumay, 21
Maret 2013
[53] David Henley dan Jamie Davidson,
Konservatisme Radikal – Aneka Wajah Politik Adat, didalam buku “Adat Dalam
Politik Indonesia, Penerbit KITLV dan Pustaka Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
2010, Hal. 37
[54] M. Nasroen, Falsafah Indonesia
1967
[55] Sidi Gazalba, Sistematika
Filsafat (Buku 1) 1973.
[56] Jakob Sumardjo, Mencari Sukma
Indonesia 2003