Akhir-akhir
ini, kita disuguhkan berita tentang “penutupan rumah makan” milik Saenih di
bulan Ramadhan. Secara sekilas, di tengah bulan Ramadhan, berita ini kemudian
“dibenarkan”. Penutupan rumah makan di bulan Ramadhan merupakan salah satu
bentuk “penghormatan” terhadap orang sedang berpuasa. (saya menggunakan tanda kutip terhadap kata “penghormatan”).
Entah
memang kita tengah menjalankan ibadah di bulan ramadhan, berita ini tidak
menimbulkan masalah. Namun dari logika, penempatan berita tentang “penutupan
rumah makan” menimbulkan masalah. (dalam hati saya, saya menemukan “keanehan”
dari peristiwa ini).
Logika
merupakan ilmu dasar filsafat. Dengan logika, maka filsafat bisa merumuskan
agar “alur berfikir” tidak menjadi sesat.
Didalam
Islam sendiri, logika disebutkan sebagai istilah Mantiq. Para ahli fikir islam
sendiri sudah menyampaikan “mantiq adalah teknik berfikir logic. Dengan ilmu
mantiq maka ketika membahas tentang kaidah-kaidah yang membimbing manusia
didalam berfikir. Sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang benar. Dan tentu
saja dapat menghindarkan dari kesalahan berfikir yang menghasilkan kesimpulan
yang salah/keliru.
Mantiq
atau logika didalam filsafat kemudian bisa menghasilkan “premis mayor” dan
premis minor. Sehingga menetapkan “kesimpulan” dapat menghasilkan kesimpulan
yang baik.
Sekarang
mari kita susun peristiwa mengenai penutupan rumah makan.
Berpuasa
wajib bagi umat Islam. Badu beragama Islam. Maka Badu harus berpuasa.
Berpuasa
adalah “premis mayor”. Berpuasa sudah disebutkan didalam Al Qur’an. Sedangkan
Badu adalah “premis minor’. Maka Logikanya, Badu harus berpuasa.
Lalu
bagaimana dengan Fatimah yang tidak boleh berpuasa (dengan alasan urusan
wanita) atau Budi yang sedang didalam perjalanan (musafir) atau kakek Ahmad
(dengan alasan kesehatan) ?
Islam
kemudian “mengecualikan” terhadap perempuan, musafir atau orang tua yang sakit.
Maka
“premis mayor” adalah pengecualian dari “berpuasa”. Sedangkan premis minor
adalah Fatimah, Budi atau Kakek ahmad. Maka Logikanya Fatimah, Budi atau kakek
Ahmad “dikecualikan tidak berpuasa”.
Nah.
Dari sini, maka “mantiq (logika)” telah menuntun kita agar tertib beragama.
Lalu
menjadi persoalan, apakah Negara kemudian bisa mengambil alih dan menentukan
“siapa yang harus berpuasa atau tidak” ? Dan apakah Negara kemudian “bisa
memaksa” mengambil alih tugas agama menjadi urusan Negara. Apakah Negara bisa
menjadi “penentu” urusan moral, urusan dosa dan urusan agama ?
Dari
titik inilah, maka dukungna kepada Saenih bukan semata-mata mendukung “Saenih”
agar tidak tertib menjalankan puasa. Tapi dukungan diberikan semata-mata
disebabkan logika “sang petugas” yang bertindak atas nama moral, dosa dan agama
kemudian “bisa menentukan” siapa yang bisa dan siapa yang tidak berpuasa.
Bukankah
dengna logika “berpuasa’ kemudian bisa “menghargai” orang yang tidak berpuasa
dengan alasan “dikecualikan” tidak berpuasa menurut agama ?
Disinilah
kemudian saling menghargai disebut sebagai toleransi.
Apakah
dengna dibukanya warung milik Saenih, maka “kekhusukkan” dan ibadah puasa
menjadi terganggu ?
Halo..
Apakah begitu mengganggunya “bau rumah makan” sehingga “petugas” menjalankan
fungsi Negara dan khawatir umat islam akan terganggu puasanya ?
Bukankah
sudah jamak terjadi di berbagai tempat, rumah makan “tetap dibuka” namun
menyiapkan kain untuk menutupi rumah makan yang selama ini terjadi ?. Dan itu
terus berlangsung dan tidak ada “rasa gangguan” bagi “sang penuai kewajiban
berpuasa”.
Rumah
makan yang “menutup” dengan memasang kain merupakan bentuk toleransi terhadap
orang berpuasa. Rumah makan dibuka untuk “orang yang tidak berpuasa”. Baik
karena memang “dikecualikan” tidak berpuasa maupun ditujukan kepada non muslim
yang memang tidak “diwajibkan” untuk berpuasa.
Jadi
“logika” penutupan rumah makan adalah Logika yang keliru. Dan “kekeliruan” itu
tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan “pemakluman”.
Disisi
lain, begitu juga dengan pencantuman “label halal”.
Penduduk
Indonesia mayoritas Islam. Dengan mayoritasnya penduduk Indonesia Beragama
Islam, maka dalam hukum bisnis, setiap produk yang dihasilkan oleh penduduk
Indonesia sudah dipastikan produk halal.
Pertanyaan
timbul. Apakah dalam strategi bisnis, produk yang dihasilkan kemudian
menghasilkan produk yang haram.
Berbeda
dengan Amerika atau Eropa atau Negara lain seperti Tiongkok atau Thailand dimana
penduduknya bukan mayoritas dari muslim. Sehingga untuk menentukan produk
tersebut aman dikonsumsi oleh muslim, maka perlu dicantumkan “label halal”.
Pencantuman
“label halal” di tengah masyarakat non muslim diperlukan agar kemudian muslim
tenang mengkonsumsi makanannya atau hasil produk.
Upaya
ulama untuk memastikan produk telah melewati proses yang halal dilakukan baik
dimulai dengan jenis makanan, proses yang sesuai dengan syari’ah agama seperti
penyembelihan sesuai Islam berbagai upaya yang dilalui menjadi halal.
Di
Perancis sendiri, pemotongan hewan ternak diawasi oleh organisasi keagamaan.
Bahkan rumah-rumah makan mencantumkan “halal” agar umat islam tenang
mengkonsumsi.
Selain
itu juga, para pelayan sudah “mewanti-wanti” makanan ketika yang datang tamu
dari Negara-negara islam seperti Indonesia, Malaysia ataupun Timur tengah
(Turki, Pakistan dan sebagainya).
Pencantuman
“label halal” ditengah masyarakat non muslim, didalam khazanah pemikiran biasa
disebut “a contrario”. Atau penafsiran terbalik.
Maka.
Apabila di tengah masyarakat non muslim (Eropa, China, Amerika, Thailand),
dengan dicantumkan “label halal”, maka terhadap makanan yang tidak tercantumnya
label “halal” sudah dipastikan menjadi “haram’.
Sedangkan
di Indonesia, Mari kita telaah dengan jernih.
Dengan
melihat penduduk Indonesia yang mayoritas, Sehingga, logika ini kemudian
dibalik (a contrario). Maka sebenarnya yang diperlukan oleh lembaga yang
berwenang adalah pencantuman “label haram”. Sehingga ketika umat islam
menemukan “label haram”, maka umat islam sudah bisa dipastikan tidak akan
mengkonsumsinya.
Baca : Logika dan Argumentasi