29 Juni 2016

opini musri nauli : LOGIKA BERAGAMA




Akhir-akhir ini, kita disuguhkan berita tentang “penutupan rumah makan” milik Saenih di bulan Ramadhan. Secara sekilas, di tengah bulan Ramadhan, berita ini kemudian “dibenarkan”. Penutupan rumah makan di bulan Ramadhan merupakan salah satu bentuk “penghormatan” terhadap orang sedang berpuasa. (saya menggunakan tanda kutip terhadap kata “penghormatan”).
Entah memang kita tengah menjalankan ibadah di bulan ramadhan, berita ini tidak menimbulkan masalah. Namun dari logika, penempatan berita tentang “penutupan rumah makan” menimbulkan masalah. (dalam hati saya, saya menemukan “keanehan” dari peristiwa ini).

Logika merupakan ilmu dasar filsafat. Dengan logika, maka filsafat bisa merumuskan agar “alur berfikir” tidak menjadi sesat.

Didalam Islam sendiri, logika disebutkan sebagai istilah Mantiq. Para ahli fikir islam sendiri sudah menyampaikan “mantiq adalah teknik berfikir logic. Dengan ilmu mantiq maka ketika membahas tentang kaidah-kaidah yang membimbing manusia didalam berfikir. Sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang benar. Dan tentu saja dapat menghindarkan dari kesalahan berfikir yang menghasilkan kesimpulan yang salah/keliru.

Mantiq atau logika didalam filsafat kemudian bisa menghasilkan “premis mayor” dan premis minor. Sehingga menetapkan “kesimpulan” dapat menghasilkan kesimpulan yang baik.

Sekarang mari kita susun peristiwa mengenai penutupan rumah makan.

Berpuasa wajib bagi umat Islam. Badu beragama Islam. Maka Badu harus berpuasa.
Berpuasa adalah “premis mayor”. Berpuasa sudah disebutkan didalam Al Qur’an. Sedangkan Badu adalah “premis minor’. Maka Logikanya, Badu harus berpuasa.

Lalu bagaimana dengan Fatimah yang tidak boleh berpuasa (dengan alasan urusan wanita) atau Budi yang sedang didalam perjalanan (musafir) atau kakek Ahmad (dengan alasan kesehatan) ?

Islam kemudian “mengecualikan” terhadap perempuan, musafir atau orang tua yang sakit.

Maka “premis mayor” adalah pengecualian dari “berpuasa”. Sedangkan premis minor adalah Fatimah, Budi atau Kakek ahmad. Maka Logikanya Fatimah, Budi atau kakek Ahmad “dikecualikan tidak berpuasa”.

Nah. Dari sini, maka “mantiq (logika)” telah menuntun kita agar tertib beragama.

Lalu menjadi persoalan, apakah Negara kemudian bisa mengambil alih dan menentukan “siapa yang harus berpuasa atau tidak” ? Dan apakah Negara kemudian “bisa memaksa” mengambil alih tugas agama menjadi urusan Negara. Apakah Negara bisa menjadi “penentu” urusan moral, urusan dosa dan urusan agama ?

Dari titik inilah, maka dukungna kepada Saenih bukan semata-mata mendukung “Saenih” agar tidak tertib menjalankan puasa. Tapi dukungan diberikan semata-mata disebabkan logika “sang petugas” yang bertindak atas nama moral, dosa dan agama kemudian “bisa menentukan” siapa yang bisa dan siapa yang tidak berpuasa.

Bukankah dengna logika “berpuasa’ kemudian bisa “menghargai” orang yang tidak berpuasa dengan alasan “dikecualikan” tidak berpuasa menurut agama ?

Disinilah kemudian saling menghargai disebut sebagai toleransi.

Apakah dengna dibukanya warung milik Saenih, maka “kekhusukkan” dan ibadah puasa menjadi terganggu ?

Halo.. Apakah begitu mengganggunya “bau rumah makan” sehingga “petugas” menjalankan fungsi Negara dan khawatir umat islam akan terganggu puasanya ?

Bukankah sudah jamak terjadi di berbagai tempat, rumah makan “tetap dibuka” namun menyiapkan kain untuk menutupi rumah makan yang selama ini terjadi ?. Dan itu terus berlangsung dan tidak ada “rasa gangguan” bagi “sang penuai kewajiban berpuasa”.

Rumah makan yang “menutup” dengan memasang kain merupakan bentuk toleransi terhadap orang berpuasa. Rumah makan dibuka untuk “orang yang tidak berpuasa”. Baik karena memang “dikecualikan” tidak berpuasa maupun ditujukan kepada non muslim yang memang tidak “diwajibkan” untuk berpuasa.

Jadi “logika” penutupan rumah makan adalah Logika yang keliru. Dan “kekeliruan” itu tidak dapat dibenarkan untuk dilakukan “pemakluman”.

Disisi lain, begitu juga dengan pencantuman “label halal”.

Penduduk Indonesia mayoritas Islam. Dengan mayoritasnya penduduk Indonesia Beragama Islam, maka dalam hukum bisnis, setiap produk yang dihasilkan oleh penduduk Indonesia sudah dipastikan produk halal.

Pertanyaan timbul. Apakah dalam strategi bisnis, produk yang dihasilkan kemudian menghasilkan produk yang haram.

Berbeda dengan Amerika atau Eropa atau Negara lain seperti Tiongkok atau Thailand dimana penduduknya bukan mayoritas dari muslim. Sehingga untuk menentukan produk tersebut aman dikonsumsi oleh muslim, maka perlu dicantumkan “label halal”.

Pencantuman “label halal” di tengah masyarakat non muslim diperlukan agar kemudian muslim tenang mengkonsumsi makanannya atau hasil produk.

Upaya ulama untuk memastikan produk telah melewati proses yang halal dilakukan baik dimulai dengan jenis makanan, proses yang sesuai dengan syari’ah agama seperti penyembelihan sesuai Islam berbagai upaya yang dilalui menjadi halal.

Di Perancis sendiri, pemotongan hewan ternak diawasi oleh organisasi keagamaan. Bahkan rumah-rumah makan mencantumkan “halal” agar umat islam tenang mengkonsumsi.

Selain itu juga, para pelayan sudah “mewanti-wanti” makanan ketika yang datang tamu dari Negara-negara islam seperti Indonesia, Malaysia ataupun Timur tengah (Turki, Pakistan dan sebagainya).

Pencantuman “label halal” ditengah masyarakat non muslim, didalam khazanah pemikiran biasa disebut “a contrario”. Atau penafsiran terbalik.

Maka. Apabila di tengah masyarakat non muslim (Eropa, China, Amerika, Thailand), dengan dicantumkan “label halal”, maka terhadap makanan yang tidak tercantumnya label “halal” sudah dipastikan menjadi “haram’.

Sedangkan di Indonesia, Mari kita telaah dengan jernih.

Dengan melihat penduduk Indonesia yang mayoritas, Sehingga, logika ini kemudian dibalik (a contrario). Maka sebenarnya yang diperlukan oleh lembaga yang berwenang adalah pencantuman “label haram”. Sehingga ketika umat islam menemukan “label haram”, maka umat islam sudah bisa dipastikan tidak akan mengkonsumsinya.