Banyak
yang memuja Messi selangit. Messi dianggap “manusia ajaib” dari galaksi lain
yang turun ke bumi. Pertandingan klasik antara Real Madrid dan Barcelona sering
mempertemukan megabintang “Ronaldo” dan Messi. Keduanya dianggap sebagai
bintang dan penentuan di klub masing-masing.
Namun
pelan tapi pasti. Strategi permainan sepakbola “tidak ditentukan” oleh seorang
pemain bintang. Dengan ketus Sir Alex Ferguson berujar “saya tidak perlu pemain
bintang. Saya perlu pemain sepakbola” Ujaran Ketus ketika dia “mengistirahatkan
Becham” yang tidak disiplin latihan.
Berbeda
dengan Ronalo. Messi belum banyak memberikan kontribusi kepada Timnas. Lambang
nasionalisme. Meminjam istilah “Maradona”. Tidak perlu penghargaan apapun
apabila tidak memberikan gelar apapun.
Lihatlah
bagaimana Messi dengan dream tim seperti Angel di Maria,
Javier Mascherano, Gonzalo Higuan, Kun Aguero, Nicholas Otomendi, Javier
Pastore yang banyak bermain di liga Eropa, ketika memasuki pertandingan Copa
America. Walaupun sampai ke Final, namun “aura” pertandingan liga America Latin
berbeda dengan Liga Eropa.
Pertandingan
keras dan “sedikit kasar”, penuh kontak fisik dan bentrokan antara pemain,
perebutan bola di udara dan umpan panjang di lapangan tengah “tidak sesuai”
dengan karakter Messi yang “indah” memainkan bola dari kaki ke kaki (tiki
taka). Walaupun Argentina bertemua Chile di final, namun Messi tenggelam dan
tidak kelihatan “sentuhan magis”nya.
“Sentuhan
magis” Messipun hilang ketika Messi kemudian gagal menendang bola di titik putih
adu Pinalti.
Padahal
Messi yang dianggap “titisan dewa” dari langit ketujuh selalu dipuja-puja dalam
setiap kejuaraan piala Klub Eropa. Headline dan berita “magisnya” menghiasi
media massa Eropa.
Gagalnya
Messi telah saya perhatikan ketika Messi memperkuat Timnas Argentina tahun
2010. Dalam Perempat final piala dunia 2010, justru Argentina “dihajar” Jerman
4-0. Jerman kemudian juga menghajar Argentina di kejuaran yang sama tahun 2014.
Walaupun angkanya tidak mencolok.
Lalu
dimana “persoalannya “ ?
Ya.
Ini pertandingan sepakbola. “Magis Messi” selalu disuplai bola dari
gelandang-gelandang terbaik di Barca. Messi tidak mendapatkan dukungan “suplai”
bola dari gelandang-gelandang di timnas Argentina.
Begitu
juga, Messi belum “teruji” dalam Liga Inggeris yang terkenal dengan permainan
“adu fisik” dan adu kontak. Dengan permainan “macho”, hit and run, gaya
permainan sepakbola tidak “mengenal” menari-nari di sepakbola Inggeris. Gaya
ini selain hanya “menghibur” namun tidak sukses di liga Inggeris. Lihatlah
pemain-pemain asal Spanyol yang kurang berkiprah di liga Inggeris.
Liga
Inggeris juga kokoh dalam umpan bola panjang. Serangan balik (counter attack)
merupakan ciri khas dari tim-tim Inggeris dan membuat pertandingan selalu enak
ditonton.
Semua
tim adalah tim yang sejajar dan tidak ada tim yang mendominasi kekuatan lawan.
Bahkan musim ini ditutup dengan Leicester City sebagai juara liga. Menumbangkan
tim-tim unggulan. Bahkan membayangkan mimpi dari penonton liga Inggeris. Tidak
salah kemudian, Liga Inggeris merupakan liga terbaik didunia.
Kembali
ke Messi. Dengan pulangnya Argentina sebagai “runner up”, maka Messi sudah
terbukti gagal menebarkan “sentuhan magis” di timnas Argentina. Messi tidak
berhasil “menginspirasi” timnas Argentina. Messi adalah “penerima olahan” bola
dari teman-teman yang berlaga di setiap kompetisi. Messi adalah “raja” yang
selalu menerima “suplai” bola dari “pergelutan” teman-temannya. Messi adalah
“dewa” yang selalu “dilayani” oleh teman-temannya. Sehingga tidak salah kemudian
Messi yang selalu dianggap “pahlawan” tidak bermanfaat bagi timnya. Messi
adalah Hero to zero.