04 Juli 2016

opini musri nauli : BANDUL POLITIK LOKAL PASKA UU No. 23 TAHUN 2014



Jagat politik kontemporer di Jambi dihebohkan dengan “silang debat” antara Gubernur Jambi dan Walikotamadya Jambi dan Bupati Merangin. Mereka “disibukkan” persoalan pengangkatan Kepala Sekolah SMA/SMU.
Gubernur Jambi memerintahkan agar pengangkatan Kepala Sekolah SMA/SMU dibatalkan. Alasannya, pengangkatan Kepala Sekolah SMA/SMU merupakan kewenangan Pemprov berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 (UU Pemda). Selain itu, proses ini sedang mengalami transisi dari kewenangan Kabupaten/Kota menjadi kewenangan Propinsi. Sementara Walikotamadya dan Bupati “enggan” menuruti “perintah” dari Gubernur.

Persoalan muncul. Apakah “perintah” Gubernur merupakan mandate dari UU No. 23 Tahun 2014 (UU Pemda) atau “Gubernur” mempunyai kewenangan untuk membicarakan sector pendidikan ?

UU No. 23 Tahun 2014 menggantikan UU No. 32 tahun 2004. Memahami UU Pemda tidak serta-merta memahami pasal-pasal didalam UU.

Didalam membaca UU Pemda, pendekatan teori kewenangan mutlak diperlukan. Dalam rumusan, maka UU Pemda mengenal “urusan Pemerintah absolut”, “urusan Pemerintahan konkuren dan “urusan Pemerintahan umum”.

Sebagai pemerintah pusat, maka mempunyai kewenangan untuk mengurusi politik luarnegeri, pertahanan, keamanan, justisi, moneter dan agama. Kewenangan serupa didalam UU No. 32 tahun 2004.

Sedangkan UU Pemda kemudian “menggeser bandul” kekuasaan. Apabila sebelumnya didalam UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan mengatur urusan pemerintahan “dialihkan” dari pemerintah pusat kepada Pemerintahan Kota/Kabupaten, maka UU No. 23 tahun 2014 “menarik” kewenangan dari Pemerintah kabupaten/Kota ke Pemerintah Provinsi. Sehingga tidak salah kemudian “Gubernur dinyatakan sebagai wakil Pemerintah Pusat’.

Dengan demikian, maka semangat eforia “otonomi” awal reformasi tahun 1998 yang ditandai dengan UU no. 22 Tahun 1999 dan dilanjutkan UU No. 32 tahun 2004 kemudian “lebih menampakkan” semangat Federal.

Atau dengan kata lain, maka bandul kekuasaan sudah bergeser. Dari Pemerintah Kabupaten/kota ke Pemerintah Provinsi.

Bergesernya bandul politik, tidak terlepas dari fakta-fakta yang mencengangkan. Terlepas dari pertimbangan filosofi digantinya UU No. 32 tahun 2004 ke UU No. 23 Tahun 2014 seperti alasan hukum “mempercepat kesejahteraan masyarakat, efisiensi dan efektivitas penyelenggaran pemerintahan”, sudah jamak diketahui bagaimana “kewenangan Kabupaten/kota” telah merusak pranata dan berbagai penyebab masalah di sector sumber daya alam.

Pemberian izin di sector tambang, membuat Bupati menjadi “raja-raja kecil”. Lihatlah. Bagaimana pemberian izin bisa dilakukan, padahal perusahaan yang mengajukan izin sama sekali tidak memberikan jaminan “dana reklamasi’. Yang bikin kita geleng-geleng kepala, bagaimana perusahaan ternyata sama sekali tidak mempunyai NPWP. Sebuah persyaratan administrasi yang tidak bisa dihilangkan. Sehingga KPK kemudian mendefinisikan sebagai belum CnC (belum clear and clean). Sehingga tidak salah kemudian KPK memberikan istilah “IUP Pilkada”.

Di Jambi sendiri, dari hasil analisis Tim koordinasi dan supervise KPK (Korsup KPK) menemukan fakta yang mengerikan. Dari 398 Izin Usaha Pertambangan (IUP), 50 % areal tambang di Jambi belum tahap clean and clear. Nah. 50% inilah yang merupakan “izin bermasalah”. Baik pemberian izin di areal bukan peruntukkannya seperti di kawasan konservasi dan kawasan lindung, perusahaan tidak melampirkan NPWP, tidak menyerahkan dana reklamasi sebagai persyaratan hingga alamat perusahaan yang mengajukan izin tidak jelas.
                                                               
Pemberian izin di sector tambang tanpa dilampirkan persyaratan hukum yang jelas inilah yang membuat persoalan “otonomi” harus dievaluasi. Dengan lahirnya UU No. 23 tahun 2014, maka “otonomi” kemudian haruslah dimaknai didalam teori kewenangan delegasi. Artinya pemerintah pusat “mendelegasikan’ kewenangannya kepada Pemerintah dibawahnya. Secara norma hukum, maka Gubernur diberi tanggungjawab sebagai “kepanjangan tangan” Pemerintah pusat di daerah. UU No. 23 tahun 2014 memberikan istilah “Gubernur wakil Pemerintah pusat”

Sebagai “Wakil Pemerintah Pusat”, maka Gubernur “bertindak atas nama Pemerintah Pusat” didalam menjalankan “urusan pemerintahan konkuren”. Pasal 12 UU Pemda dengan tegas memasukkan “pendidikan” sebagai kewenangan Pemerintah Propinsi. Bahkan didalam pasal 373 UU Pemda, sebagai “wakil Pemerintah Pusat”, maka Gubernur diberi tugas untuk “melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah daerah Kabupaten/kota. Pembinaan yang dilakukan dapat bersifat umum maupun teknis (pasal 375 ayat 3 UU Pemda). Kewenangan Pemerintah Provinsi terhadap sector pendidikan meliputi pengelolaan Pendidikan Menengah dan Pengelolaan Pendidikan. Sedangkan Pemerintah Kabupaten/Kota diberi wewenang berkaitan dengan pendidikan dasar dan pengelolaan pendidikan.

Walaupun UU Pemda mulai berlaku sejak tanggal 30 September 2014 namun masih banyak Kepala Daerah yang masih berparadigma lama.

Paradigma yang masih menggunakan pemikiran UU No. 32 Tahun 2004 dan belum memahami “pergeseran” bandul kekuasaan paska UU No. 23 Tahun 2014, membuat persoalan antara Gubernur dengan Kepala Daerah dalam persoalan pengangkatan Kepala Sekolah menjadi runyam.

Padahal apabila kita “mau sedikit” menoleh berbagai perkembangan politik dan trend terkini dan berbagai perangkat perundang-undangan, maka bandul kekuasaan sudah bergeser.

Paradigma lama dan perangkat perundang-undangan telah menyebabkan bandul “memandatkan” kepada Gubernur sebagai “kewenangan delegasi” sebagai Pemerintah Pusat yang berada di daerah.

Semangat inilah haruslah ditangkap sebagai evaluasi Negara terhadap berjalannya otonomi yang “sering salah kaprah’. Otonomi telah gagal “menyejahterakan rakyat’. Otonomi hanya menciptakan “raja-raja kecil” yang begitu berkuasa namun belum mampu memberikan hak-hak dasar kepada rakyat.