30 Juni 2016

opini musri nauli : JEJAK RAMADHAN

Ibarat pertandingan, berbagai rangkaian ibadah di bulan Ramadhan sudah menunaikannya hampir tunai dilaksanakan. Rangkaian ibadah dimulai dari Sahur, subuh, kultum, sholat lima waktu, puasa, I’tikaf, berbuka, taraweh dan tadarussan. Sehingga tidak salah kemudian berbagai rangkaian ibadah kemudian disebut sebagai “atlet marathon nonstop. Dari subuh hingga menjelang sahur. 



Belum lagi kegiatan seperti “berbuka puasa bersama”, “pesantren kilat, berzikir” bersadakah hingga berdiam diri.

Rangkaian ramadhan kemudian Tinggal menunggu detik-detik menjelang akhir ramadhan. Tidak salah kemudian “Para pelari marathon sudah mencapai garis finish.

Banyak yang mengucapkan puji syukur telah menjalani berbagai rangkaian ibadah. Namun banyak juga yang sedih tidak bisa melaksanakan berbagai ibadah.

Ramadhan merupakan bulan paling “sibuk”, bulan berbakti, bulan bersyukur hingga “menunjukkan diri” sebagai insan kamil. Insan yang bertakwa. Sehingga di bulan ramadhan, di Indonesia kemudian merupakan tidak semata-mata peristiwa “ritual agama’. Tapi sudah menjadi ritual budaya. Ritual ornament kebesaran islam.

Lihatlah. Bagaimana acara televisi “dikemas” dengan berbagai live entertainment yang beraroma agama. Sinetron yang mengagungkan agama hingga berbagai ceramah agama yang menonjolkan cerita agama. Cerita misteri, hantu, sexy kemudian untuk “sementara distop” bahkan tidak boleh didengarkan, ditonton hingga “dikesampingkan”.

Secara sekilas, ritual tahunan kemudian menjadi agenda rutin masyarakat, Pemerintah hingga Negara harus “turun tangan” menjadi repot.

Mulai dari harga cabe, daging hingga berbagai panganan yang menjadi menu menjelang berbuka puasa. Belum lagi “suasana” mudik membuat semua urusan ketatanegaraan “harus menyesuaikan” dengan ritual agama.

Lihatlah bagaimana “suasana” masjid di berbagai tempat. Pusat makanan yang ramai menjelang berbuka puasa hingga diakhiri toko-toko pakaian yang “diserbu’ pembeli.

Trend ini semakin menunjukkan pola perilaku konsumen yang mulai teratur. Minggu pertama, masjid-mesjid dipenuhi dengan Jemaah yang menjalankan “taraweh”. Suara masjid terus mengumandangkan “tadarussan’ hingga “seruan membangunkan orang sahur”. Anak-anak muda keliling kampong untuk membangunkan ibu-ibu sahur.

Namun memasuki minggu kedua, suasana mulai berubah. Agenda “puasa bersama” mulai berdatangan. Entah agenda resmi dari undangan, menghadiri acara yang disediakan pejabat hingga berbuka puasa bersama dengan teman-teman sekolah. Hari ini dengan alumni SMA, besok dengan alumni kampus, lusa dengan teman-teman sekantor hingga berbagai organisasi perkumpulan filantropi.

Tapi entah memang “hanya trendy”, acara berbuka puasa seringkali “lebih diutamakan” dari makna ibadah ramadhan. Dari yang saya lihat, acara berbuka puasa kemudian begitu larut hingga sholat magrib kemudian dilewati.

Padahal saya lihat sendiri, “keasyikan” silaturahmi berbuka puasanya, tempat sholat sering kali sepi. Bahkan “entah” dengan berpakaian agamis, sholat magrib sendiri tidka menjadi perhatian. Hmm. Entahlah.

Memasuki minggu ketiga, konsentrasi mulai bergeser. Jemaah masjid kemudian “tinggal” yang itu-itu saja orangnya.

Mall mulai penuh. Toko pakaian mulai sesak. Minuman kaleng mulai digotong pulang. Ibu-ibu mulai membuat kue. Agenda pulang mudik mulai disusun.

Mulai minggu keempat. Kendaraan pemudik mulai berseliweran. Yang mampu “memesan pesawat” jauh-jauh hari. Yang naik bis sudah mulai berdesakan. Yang bawa mobil, mulai mempersiapkan mobilnya. Lengkap dengan perabotan yang bisa dibawa pulang. Entah “oleh-oleh” untuk orang kampong atau sekedar cinderamata “sebagai tanda” sukses di rantau orang.

Ya. Ramadhan “telah membersihkan” hati setelah selama 11 bulan bergelut dengan “aneka ragam” persoalan yang belum tuntas diselesaikan.

Ramadhan telah menjadi ritual agenda kebudayaan sebagai masyarakat majemuk dalam proses menata diri.

Namun yang pasti, keteladanan ramadhan harus berbekas. Menjadi insan yang sabar, tawaddhu dan tentu saja makhluk yang bisa bersyukur.

Kita sedang menghadapi “proses” penyucian hati. Dan Tuhan telah memberikan waktu untuk fasilitasnya.

Maka. Setiap tahun, perbaikan insan kamil terus ditumbuhkan. Menjadi penyabar, tabayyun, peduli kepada sesama dan tidak lupa memaknai arti “solidaritas” terhadap kesengsaraan atas kelaparan.

Agar jejak ramadhan tidak tenggelam dalam hiruk pikuk dunia.

Agar hidup tidak sia-sia menghabiskan waktu tanpa makna.