Ibarat
pertandingan, berbagai rangkaian ibadah di bulan Ramadhan sudah menunaikannya
hampir tunai dilaksanakan. Rangkaian ibadah dimulai dari Sahur, subuh, kultum,
sholat lima waktu, puasa, I’tikaf, berbuka, taraweh dan tadarussan. Sehingga
tidak salah kemudian berbagai rangkaian ibadah kemudian disebut sebagai “atlet
marathon nonstop. Dari subuh hingga menjelang sahur.
Belum
lagi kegiatan seperti “berbuka puasa bersama”, “pesantren kilat, berzikir”
bersadakah hingga berdiam diri.
Rangkaian
ramadhan kemudian Tinggal menunggu detik-detik menjelang akhir ramadhan. Tidak
salah kemudian “Para pelari marathon sudah mencapai garis finish.
Banyak
yang mengucapkan puji syukur telah menjalani berbagai rangkaian ibadah. Namun
banyak juga yang sedih tidak bisa melaksanakan berbagai ibadah.
Ramadhan
merupakan bulan paling “sibuk”, bulan berbakti, bulan bersyukur hingga
“menunjukkan diri” sebagai insan kamil. Insan yang bertakwa. Sehingga di bulan
ramadhan, di Indonesia kemudian merupakan tidak semata-mata peristiwa “ritual
agama’. Tapi sudah menjadi ritual budaya. Ritual ornament kebesaran islam.
Lihatlah.
Bagaimana acara televisi “dikemas” dengan berbagai live entertainment yang
beraroma agama. Sinetron yang mengagungkan agama hingga berbagai ceramah agama
yang menonjolkan cerita agama. Cerita misteri, hantu, sexy kemudian untuk
“sementara distop” bahkan tidak boleh didengarkan, ditonton hingga
“dikesampingkan”.
Secara
sekilas, ritual tahunan kemudian menjadi agenda rutin masyarakat, Pemerintah
hingga Negara harus “turun tangan” menjadi repot.
Mulai
dari harga cabe, daging hingga berbagai panganan yang menjadi menu menjelang
berbuka puasa. Belum lagi “suasana” mudik membuat semua urusan ketatanegaraan
“harus menyesuaikan” dengan ritual agama.
Lihatlah
bagaimana “suasana” masjid di berbagai tempat. Pusat makanan yang ramai
menjelang berbuka puasa hingga diakhiri toko-toko pakaian yang “diserbu’
pembeli.
Trend
ini semakin menunjukkan pola perilaku konsumen yang mulai teratur. Minggu
pertama, masjid-mesjid dipenuhi dengan Jemaah yang menjalankan “taraweh”. Suara
masjid terus mengumandangkan “tadarussan’ hingga “seruan membangunkan orang
sahur”. Anak-anak muda keliling kampong untuk membangunkan ibu-ibu sahur.
Namun
memasuki minggu kedua, suasana mulai berubah. Agenda “puasa bersama” mulai
berdatangan. Entah agenda resmi dari undangan, menghadiri acara yang disediakan
pejabat hingga berbuka puasa bersama dengan teman-teman sekolah. Hari ini
dengan alumni SMA, besok dengan alumni kampus, lusa dengan teman-teman sekantor
hingga berbagai organisasi perkumpulan filantropi.
Tapi
entah memang “hanya trendy”, acara berbuka puasa seringkali “lebih diutamakan”
dari makna ibadah ramadhan. Dari yang saya lihat, acara berbuka puasa kemudian
begitu larut hingga sholat magrib kemudian dilewati.
Padahal
saya lihat sendiri, “keasyikan” silaturahmi berbuka puasanya, tempat sholat
sering kali sepi. Bahkan “entah” dengan berpakaian agamis, sholat magrib
sendiri tidka menjadi perhatian. Hmm. Entahlah.
Memasuki
minggu ketiga, konsentrasi mulai bergeser. Jemaah masjid kemudian “tinggal”
yang itu-itu saja orangnya.
Mall
mulai penuh. Toko pakaian mulai sesak. Minuman kaleng mulai digotong pulang.
Ibu-ibu mulai membuat kue. Agenda pulang mudik mulai disusun.
Mulai
minggu keempat. Kendaraan pemudik mulai berseliweran. Yang mampu “memesan
pesawat” jauh-jauh hari. Yang naik bis sudah mulai berdesakan. Yang bawa mobil,
mulai mempersiapkan mobilnya. Lengkap dengan perabotan yang bisa dibawa pulang.
Entah “oleh-oleh” untuk orang kampong atau sekedar cinderamata “sebagai tanda”
sukses di rantau orang.
Ya.
Ramadhan “telah membersihkan” hati setelah selama 11 bulan bergelut dengan
“aneka ragam” persoalan yang belum tuntas diselesaikan.
Ramadhan
telah menjadi ritual agenda kebudayaan sebagai masyarakat majemuk dalam proses
menata diri.
Namun
yang pasti, keteladanan ramadhan harus berbekas. Menjadi insan yang sabar,
tawaddhu dan tentu saja makhluk yang bisa bersyukur.
Kita
sedang menghadapi “proses” penyucian hati. Dan Tuhan telah memberikan waktu
untuk fasilitasnya.
Maka.
Setiap tahun, perbaikan insan kamil terus ditumbuhkan. Menjadi penyabar,
tabayyun, peduli kepada sesama dan tidak lupa memaknai arti “solidaritas”
terhadap kesengsaraan atas kelaparan.
Agar
jejak ramadhan tidak tenggelam dalam hiruk pikuk dunia.
Agar
hidup tidak sia-sia menghabiskan waktu tanpa makna.
Baca : Tradisi Ramadhan