Setiap
perjalanan ke lapangan, putra saya selalu bertanya dan menunjukkan
keinginantahuan perjalanan saya. Saya kemudian menyebutkan nama-nama tempat
atau nama daerah atau nama desa sebagai tujuan perjalanan. Nama-nama yang
disebutkna memang jarang terdengar sehingga saya selalu menyebutkan nama daerah
yang besar untuk menuntun dan memahami tujuan perjalanan.
Entah
memang penasaran atau memang ingin mengetahui perjalanan sekaligus untuk
mengetahui jauhnya perjalanan, ketika di toko buku, putra saya kemudian membeli
peta dan kemudian meminta saya untuk menunjukkan perjalanan yang selama ini
saya tempuh.
Saya
kemudian diperlihatkan peta Provinsi Jambi terbitan PT. Fitratama Sempana,
Jakarta dengan skala 1 : 400.000. Peta ini kemudian penulis bandingkan dengan
soft copy peta RTRW Propinsi Jambi maupun peta yang terpampang di dinding
kantor.
Saya
kemudian kaget, ketika peta yang dianggap sebagai “edisi” terbaru ternyata sama
sekali tidak up to date. Rasa penasaran itulah kemudian, saya kemudian
“memperbandingkan (overlay)” dengan berbagai peta-peta lain seperti
Bakosurtanala 2003 dengan skala 1 : 350.000 dan peta Provinsi Jambi terbitan
PT. Karya Pembina Swadaya, Surabaya dengan skala 1 : 350.000. Tidak lupa peta
peninggalan Belanda yang disebut “Schetskaart Residentie Djambi
Adatgemeenschappen (Marga’S) Schaal 1 : 750.000
Dari
penelusuran penamaan tempat, tempat penting bahkan nama-nama yang sudah
diketahui oleh masyarakat Jambi, maka saya kemudian “memperbandingkan” dengan
dokumen pendukung lainnya.
Menurut
peta Provinsi Jambi terbitan PT. Fitratama Sempana, nama “Lubuk Mandarsyah”
dituliskan “Lubuk Mendakasa”. Didekat Lubuk Mendakasa terdapat “Bukit rinting”
dengan ketinggian 172 mdpl. Selain itu juga terdapat Bukit Bakar dengan
ketinggian 469 mdpl. Peta terbitan Karya Pembina Swadaya menyebutkan ketinggian
Gunung Bakar dengan ketinggian 520 mdpl.
Padahal
Peta Bakosutanal dengan jelas menyebutkan “Lubuk Mandarsyah”. Begitu juga peta
peta Provinsi Jambi terbitan PT. Karya Pembina Swadaya.
Sedangkan
peta peninggalan Belanda “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen
(Marga’S) tidak memasukkan Lubuk Mandarsyah disebabkan Lubuk Mandarsyah
termasuk kedalam Marga Petajin Ilir yang pusat Marga di Sungai Bengkal.
Di
tengah masyarakat dikenal nama-nama tempat yang berbatasan dengan Riau.
Masyarakat Pemayungan menyebutkan “Bukit cang Embun”. Nama ini terdapat didalam
peta terbitan PT. Fitratama Sempana. Sedangkan didalam peta Bakosutanal tidak
terdapat nama tempat “Bukit Cangembun”.
Selain
itu didalam masyarakat Marga Sumay, selain bukit cang embun dikenal juga nama
tempat seperti Salo Belarik, Bekal bekuak dan sebekal bekuak. Nama-nama tempat
ini masuk kedalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Di
Marga Sumay, biasa dikenal tembo batas-batas Jambi dengna negeri tetangga.
Jambi berbatasan dengan Sumbar biasa dikenal tembo dengan istilah “durian takuk
rajo”. Sedangkan berbatasan dengan Riau adalah “sialang belantak besi”.
Bukit
Tigapuluh biasa dikenal dengan nama berbeda. “Bukit Tigajurai”. Tiga jurai
adalah istilah terhadap Bukit yang menghasilkan hulu sungai yang kemudian
mengarah ke Pengabuan (Jambi), Sungai Batang Gansal dan Sungai Cindaku.
Terhadap
nama Tigajurai, Peta terbitan Fitratama Sempana menyebutkan “Gunung Tigajurai”
dengan ketinggian 743 mdpl. Sedangkan Peta Bakustanal menyebutkan “gunung
Tigajurai dengan ketinggian 763 mdpl.
Yang
paling menyedihkan adalah ketika gempa bumi tanggal 1 Oktober 2009. Hampir
semua peta tidak dapat menunjukkan nama tempat pusat gempa sehari setelah gempa
paling menghebohkan di Sumbar.
Peta
BNPB hanya menyebutkan “pusat gempa berada 46 km arah tenggara Sungai Penuh”.
Padahal pusat gempa terletak di Desa Renah Kemumu.
Semua
peta “tidak memasukkan” Desa Renah Kemumu didalam nama tempat. Baik peta
terbitan PT. Fitratama Sempana, Peta terbitan PT. Karya Pembina Swadaya,
Surabaya, peta BNPB. Hanya peta Bakusutanal yang cuma “memasukkan” nama Desa
Renah Kemumu.
Padahal
Desa Renah Kemumu adalah Desa yang tua yang termasuk kedalam Marga Serampas.
Sampai
sekarang, saya masih belum mengerti, mengapa didalam peta-peta Propinsi nama
Desa Renah Kemumu tidak tercantum.
Dengan
demikian, peta-peta yang beredar di tengah masyarakat haruslah dibandingkan
dengan peta-peta lain seperti peta bakusatanal, soft copy peta RTRW, peta hasil
digitasi pemetaan di lapangan hingga didapatkan hasil yang komprehensif.
Dengan
memperhatikan berbagai peta, maka perbedaan antara satu peta dengan peta lain
menimbulkan masalah bagi proses pengenalan nama tempat. Berbagai peta haruslah
dikomparasikan, dicocokkan dengan peta resmi Pemerintah Provinsi Jambi, soft
copy RTRW hingga mencocokkan peta-peta peninggalan Belanda.
Pengetahuan
kewilayahan di tengah masyarakat (tambo) haruslah dilakukan dengan pemetaan
partisipatif sehingga peta yang dihasilkan juga berangkat dari pengetahuan
local terhadap wilayah. Wilayah yang menjadi pengetahuan masyarakat
sehari-hari.
Padahal
masyarakat paling mengenal wilayahnya masing-masing sehingga dapat menjadi
sumber pengetahuan yang dapat digunakan untuk memperkuat data-data resmi yang
telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Dengan
demikian maka diperlukan satu peta untuk menjawab persoalan yang ada sekaligus
Pemprov Jambi harus mengeluarkan peta resmi setelah menerima informasi terbaru
dari lapangan terhadap kondisi terkini (up to date).