05 Juli 2016

TAMBO atau PETA



Setiap perjalanan ke lapangan, putra saya selalu bertanya dan menunjukkan keinginantahuan perjalanan saya. Saya kemudian menyebutkan nama-nama tempat atau nama daerah atau nama desa sebagai tujuan perjalanan. Nama-nama yang disebutkna memang jarang terdengar sehingga saya selalu menyebutkan nama daerah yang besar untuk menuntun dan memahami tujuan perjalanan.
Entah memang penasaran atau memang ingin mengetahui perjalanan sekaligus untuk mengetahui jauhnya perjalanan, ketika di toko buku, putra saya kemudian membeli peta dan kemudian meminta saya untuk menunjukkan perjalanan yang selama ini saya tempuh.

Saya kemudian diperlihatkan peta Provinsi Jambi terbitan PT. Fitratama Sempana, Jakarta dengan skala 1 : 400.000. Peta ini kemudian penulis bandingkan dengan soft copy peta RTRW Propinsi Jambi maupun peta yang terpampang di dinding kantor.

Saya kemudian kaget, ketika peta yang dianggap sebagai “edisi” terbaru ternyata sama sekali tidak up to date. Rasa penasaran itulah kemudian, saya kemudian “memperbandingkan (overlay)” dengan berbagai peta-peta lain seperti Bakosurtanala 2003 dengan skala 1 : 350.000 dan peta Provinsi Jambi terbitan PT. Karya Pembina Swadaya, Surabaya dengan skala 1 : 350.000. Tidak lupa peta peninggalan Belanda yang disebut “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’S) Schaal 1 : 750.000

Dari penelusuran penamaan tempat, tempat penting bahkan nama-nama yang sudah diketahui oleh masyarakat Jambi, maka saya kemudian “memperbandingkan” dengan dokumen pendukung lainnya.

Menurut peta Provinsi Jambi terbitan PT. Fitratama Sempana, nama “Lubuk Mandarsyah” dituliskan “Lubuk Mendakasa”. Didekat Lubuk Mendakasa terdapat “Bukit rinting” dengan ketinggian 172 mdpl. Selain itu juga terdapat Bukit Bakar dengan ketinggian 469 mdpl. Peta terbitan Karya Pembina Swadaya menyebutkan ketinggian Gunung Bakar dengan ketinggian 520 mdpl.

Padahal Peta Bakosutanal dengan jelas menyebutkan “Lubuk Mandarsyah”. Begitu juga peta peta Provinsi Jambi terbitan PT. Karya Pembina Swadaya.

Sedangkan peta peninggalan Belanda “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’S) tidak memasukkan Lubuk Mandarsyah disebabkan Lubuk Mandarsyah termasuk kedalam Marga Petajin Ilir yang pusat Marga di Sungai Bengkal.

Di tengah masyarakat dikenal nama-nama tempat yang berbatasan dengan Riau. Masyarakat Pemayungan menyebutkan “Bukit cang Embun”. Nama ini terdapat didalam peta terbitan PT. Fitratama Sempana. Sedangkan didalam peta Bakosutanal tidak terdapat nama tempat “Bukit Cangembun”.

Selain itu didalam masyarakat Marga Sumay, selain bukit cang embun dikenal juga nama tempat seperti Salo Belarik, Bekal bekuak dan sebekal bekuak. Nama-nama tempat ini masuk kedalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

Di Marga Sumay, biasa dikenal tembo batas-batas Jambi dengna negeri tetangga. Jambi berbatasan dengan Sumbar biasa dikenal tembo dengan istilah “durian takuk rajo”. Sedangkan berbatasan dengan Riau adalah “sialang belantak besi”.

Bukit Tigapuluh biasa dikenal dengan nama berbeda. “Bukit Tigajurai”. Tiga jurai adalah istilah terhadap Bukit yang menghasilkan hulu sungai yang kemudian mengarah ke Pengabuan (Jambi), Sungai Batang Gansal dan Sungai Cindaku.

Terhadap nama Tigajurai, Peta terbitan Fitratama Sempana menyebutkan “Gunung Tigajurai” dengan ketinggian 743 mdpl. Sedangkan Peta Bakustanal menyebutkan “gunung Tigajurai dengan ketinggian 763 mdpl.

Yang paling menyedihkan adalah ketika gempa bumi tanggal 1 Oktober 2009. Hampir semua peta tidak dapat menunjukkan nama tempat pusat gempa sehari setelah gempa paling menghebohkan di Sumbar.

Peta BNPB hanya menyebutkan “pusat gempa berada 46 km arah tenggara Sungai Penuh”. Padahal pusat gempa terletak di Desa Renah Kemumu.

Semua peta “tidak memasukkan” Desa Renah Kemumu didalam nama tempat. Baik peta terbitan PT. Fitratama Sempana, Peta terbitan PT. Karya Pembina Swadaya, Surabaya, peta BNPB. Hanya peta Bakusutanal yang cuma “memasukkan” nama Desa Renah Kemumu.

Padahal Desa Renah Kemumu adalah Desa yang tua yang termasuk kedalam Marga Serampas.

Sampai sekarang, saya masih belum mengerti, mengapa didalam peta-peta Propinsi nama Desa Renah Kemumu tidak tercantum.

Dengan demikian, peta-peta yang beredar di tengah masyarakat haruslah dibandingkan dengan peta-peta lain seperti peta bakusatanal, soft copy peta RTRW, peta hasil digitasi pemetaan di lapangan hingga didapatkan hasil yang komprehensif.

Dengan memperhatikan berbagai peta, maka perbedaan antara satu peta dengan peta lain menimbulkan masalah bagi proses pengenalan nama tempat. Berbagai peta haruslah dikomparasikan, dicocokkan dengan peta resmi Pemerintah Provinsi Jambi, soft copy RTRW hingga mencocokkan peta-peta peninggalan Belanda.

Pengetahuan kewilayahan di tengah masyarakat (tambo) haruslah dilakukan dengan pemetaan partisipatif sehingga peta yang dihasilkan juga berangkat dari pengetahuan local terhadap wilayah. Wilayah yang menjadi pengetahuan masyarakat sehari-hari.

Padahal masyarakat paling mengenal wilayahnya masing-masing sehingga dapat menjadi sumber pengetahuan yang dapat digunakan untuk memperkuat data-data resmi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.

Dengan demikian maka diperlukan satu peta untuk menjawab persoalan yang ada sekaligus Pemprov Jambi harus mengeluarkan peta resmi setelah menerima informasi terbaru dari lapangan terhadap kondisi terkini (up to date).