Kebakaran tahun 2015 memasuki
tahun kelam[1].
Selama tiga bulan ditutupi asap. Hingga Oktober 2015, berdasarkan citra
satelit, WALHI mencatat terdapat
sebaran kebakaran 52.985 hektar di Sumatera dan 138.008 di Kalimantan. Total
191.993 hektar. Indeks mutu lingkungan hidup kemudian tinggal 27%[2].
Instrumen untuk mengukur mutu lingkungan Hidup dilihat dari “daya dukung” dan
“daya tampung”, Instrumen Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,
penggunaan “scientific” dan pengetahuan local masyarakat memandang lingkungan
hidup.
Kebakaran kemudian menyebabkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang
berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA memperkirakan 600 juta ton gas
rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan di Indonesia tahun ini. Jumlah
itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas yang dilepas Jerman.
25,6 juta orang terpapar asap dan mengakibatkan 324.152 jiwa yang menderita ISPA dan pernafasan lain
akibat asap[3].
Indeks standar pencemaran udara (ISPU) melampaui batas berbahaya. Bahkan hingga
enam kali lipat seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.
12 orang anak-anak meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan.
4 balita di Kalteng, 3 orang di Jambi, 1 orang di Kalbar, 3 di Riau dan 1 orang
di Sumsel.
Kualitas udara yang sangat berbahaya juga mengakibatkan anak-anak terpaksa
diliburkan dari sekolah. Di Riau, 1,6 juta anak-anak sekolah diliburkan. Di
Jambi sudah dua bulan diliburkan. Bahkan di Sumsel, pemerintah baru meliburkan
sekolah walaupun status ISPU sudah sangat berbahaya. Penerbangan terganggu di
Kalbar dan Sumsel. Bahkan lumpuh di Riau, Jambi dan Kalteng.
Kebakaran terbesar dan
terluas terjadi pada tahun 1982-1983 yang mencapai 3,2 juta hektare. Kemudian
disusul pada 1997 seluas 1,3 juta hektare. The Singapore Center for Remote
Sensing menyebutkan 1,5 juta hektar[4].
Kebakaran tahun 1997 diperparah dengan El Nino, gejala kekeringan yang meliputi
17 Propinsi di Indonesia.
Kelima daerah kemudian
menyatakan “darurat asap” sehingga diperlukan upaya Negara untuk memadamkan api
selama tiga bula lebih.
Kebakaran dapat mengakibatkan
kerusakan fungsi lingkungan, menimbulkan kerugian bagi masyarakat, bangsa, dan
negara serta polusi asap akan mengganggu hubungan regional dan internasional.
Malaysia sudah menyampaikan nota protes kepada Indonesia. Singapura melalui
National Enviroment Agency (NEA) melayangkan gugatan terhadap lima perusahaan
terbakar yang terdaftar di Singapura
Walhi sendiri mencatat, hasil
analisis menunjukkan mayoritas titik api di dalam konsesi perusahaan. Di HTI
5.669 titik api, perkebunan sawit 9.168 titik api.
Namun upaya meminta
pertanggungjawaban dari “pemegang izin” masih jauh dari harapan. Padahal
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebakaran telah tercantum
didalam Pasal 48, Pasal 49 UU Kehutanan, Pasal 56 UU Perkebunan, Pasal 20 PP
No. 4 tahun 2001, PP No. 45 Tahun 2004 dan Permentan No. 47 Tahun 2014.
Aparat penegak hukum
kesulitan untuk “menjerat” pelaku tindak pidana yang dianggap bertanggungjawab
terhadap kebakaran tahun 2015. Bahkan ditambah Pernyataan dari Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menyebutkan “petani” yang membakar lahan, Alasan seperti “kami tidak membakar”
atau “bukan kami penyebab kebakaran tahun 2015” merupakan sesat berfikir
(mistake) dan “terkesan” untuk menghilangkan tanggungjawab (defence). Sehingga
upaya penegakkan hukum (law enforcement) dalam kebakaran hutan 2015 belum
maksimal.
Belum usai proses hukum,
Pemerintah Provinsi Jambi kemudian melahirkan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2016
Tentang Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Perda No. 2
Tahun 2016).
Sementara itu, proses terhadap
penghormatan terhadap alam, hutan, gambut telah dilakukan masyarakat. Cara,
model dan mekanisme yang dilakukan oleh masyarakat telah dilakukan ratusan
tahun yang lalu. Cara, model dan mekanisme yang dilakukan oleh masyarakat telah
terbukti arif didalam menjaga hutan dan lahan dari kebakaran.
Berangkat dari kondisi
terhadap kebakaran hutan dan lahan dan proses hukum, maka pembahasan tentang
Perda ini dilakukan baik dilihat dari proses hukum, pembahasan materi tentang
kebakaran dan Cara, model dan mekanisme. Hasil analisis kemudian dapat
digunakan sebagai bahan kampanye dan model advokasi yang dilakukan.
Bahwa Perda No. 2 Tahun 2016
menggunakan judul “Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2016 Tentang Pencegahan dan Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan”.
Merujuk kepada kalimat
“Pencegahan” kemudian merupakan upaya Pemerintah Provinsi Jambi didalam melihat kebakaran merujuk kewenangan
Pemprov Jambi sebagaimana diatur didalam UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 41 Tahun
1999[5]
dan UU No. 32 Tahun 2009.
Sedangkan kalimat
“Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan’ merupakan tanggungjawab Pemerintah
daerah sebagaimana diatur didalam UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 41 Tahun 1999
dan UU No. 32 Tahun 2009.
Bahwa didalam melakukan
analisis terhadap peraturan yang berkaitan dengan kebakaran hutan, maka didalam
pembahasan terhadap Perda No. 2 Tahun 2016 kemudian merujuk kepada 9 Undang-undang[6],
19 Peraturan Pemerintah[7],
1 Perpres, 5 Keppres[8],
3 Inpres[9]
dan 16 Peraturan Menteri.
Bahwa didalam Perda No. 2
Tahun 2016, Perda kemudian merujuk UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 32 Tahun 2009).
Bahwa didalam pembahasan
berbagai peraturan, maka UU No. 32 Tahun 2009 Sebagai UU Payung (raamwet, modewet, umbrella provision atau
umbrella act)[10],
maka UU No. 32 Tahun 2009 kemudian mengatur tentang perlindungan social dan
peran masyarakat/LSM didalam kekabaran[11].
UU No. 32 Tahun 2009 kemudian
menempatkan “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya
sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum[12].
Berangkat dan menempatkan UU
No. 32 Tahun 2009 sebagai UU Payung, maka terhadap pasal 69 ayat (1) UU No. 32
Tahun 2009 tidak dapat dilepaskan.
Didalam pasal 69 ayat (1) huruf
h UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan
“setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Namun
didalam pasal 69 ayat (2) UU disebutkan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh-sungguh kearifan local di daerah
masing-masing”.
Menilik pasal 69 ayat (2) UU
No 32 Tahun 2009, maka masyarakat yang membuka hutan dengan cara membakar”
dengan kearifan local tidak dapat dikenakan pasal 69 ayat (1) UU NO. 32 Tahun
2009.
Dengan demikian, maka Perda
No. 2 Tahun 2016 harus merujuk kepada Pasal 69 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009.
Menempatkan pelaku “petani”
sebagai penyumbang asap sama sekali kurang didukung dengan fakta-fakta berbagai
sumber yang menyebutkan titik api berasal dari perusahaan “pemegang izin”. Baik
pemegang izin kehutanan maupun “pemegang izin” perkebunan. Selain itu juga
menempatkan “petani” merupakan sebuah pemahaman yang keliru apabila pernyataan
kemudian disandarkan kepada pasal 69 UU Lingkungan Hidup.
Hasil riset Walhi Jambi tahun
2016 menunjukkan, Di satu sisi, cara mengelola tanah oleh masyarakat telah
dikenal ratusan tahun yang lalu Cara pengatura tentang wilayah yang dikenal
seperti “peumoan, pematang,”, tradisi
membersihkan lahan seperti pelarian,
beselang maupun tata cara membuka lahan seperti melaras, menebang, mereda, melarat, membakar dan memerun”maupun
teknik mengelola wilayah “peumoan” seperti “mengorot,
ngaur, ngiri, menampi sudah dikenal masyarakat.
Bahkan dalam tradisi “merun”,
dikenal mantra hantu tanah, jumblang tanah, Betak biuto, Tembu Beriang, Dibatasi lahan
kayu, lahan rempai,
Keluarlah
dari sini.
Kalau
dak mau keluar, lukah dak kami pampah. Mati dak kami bangun.
Kami
membakar yang layu yang rengah.
Jin
Api. Jin Angin bakarlah yang layu yang rengah.
Dengan pembacaan mantra, maka
api tidak menjalar dan dapat dikendalikan hingga masa menugal.
Selain itu masyarakat mampu
mengidentifikasi lahan gambut dengan kedalaman yang ditandai dengan “akar
bekait, pohon jernang dan pakis”. Lahan yang tidak boleh dibuka berdasarkan
hukum adat. Cara ini sudah dikenal ratusan tahun yang lalu. Di Marga Kumpeh Ilir, tradisi ini telah
dikenal sejak abad XVIII.
Tuduhan terhadap petani
penyebab kebakaran 2015 selain menyakitkan juga tidak sesuai dengan kenyataan
di lapangan.
Makna ini sesuai dengan pasal
69 UU Lingkungan Hidup yang mengadopsi dan mengakui masyarakat tentang cara
membakar. Di Jambi biasa disebut “merun”.
Dengan demikian maka merujuk
berbagai peraturan perundang-undangan, Perda No. 2 Tahun 2106 tetap merujuk
kepada Pasal 69 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009. Dengan demikian perlindungan
terhadapa cara-cara, model dan mekanisme yang dilakukan masyarakat didalam
mengelola lahan haruslah diberi ruang.
Upaya penegakkkan Perda No. 2
Tahun 2016 tidak boleh mengabaikan dengan cara-model dan mekanisme masyarakat
didalam mengelola lahan.
Berdasarkan kepada analisis
terhadap Perda No. 2 Tahun 2016 maka diperlukan upaya yang bisa dilakukan :
1. Melakukan
eksekutif review dengan menyandingkan berbagai peraturan diatasnya
2. Menyampaikan
kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
3. Menyampaikan
kepada Pemerintah Propinsi Jambi dan DPRD terhadap penghormatan masyarakat
sebagaimana diatur didalam Pasal 69 ayat (2) UU No. 32 tahun 2009.
Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi
[1] Penulis
berkonsentrasi di 5 Propinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah. Pertimbangan berkonsentrasi di 5 Propinsi selain
mendapatkan data-data yang mendukung penelitian, peliputan berbagai media massa
juga didasarkan informasi di Walhi.
[2] Untuk mengukur
status lingkungan hidup dilakukan dengan
berbagai instrument. Instrumen pertama digunakan adalah merujuk kepada UU No.
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
Lingkungan Hidup). Didalam mekanisme ini digunakan dengan istilah “daya dukung
dan daya tampung” lingkungan hidup. Instumen Kedua adalah membicarakan hak.
Dengan mengukur instrument mutu lingkungan hidup berdasarkan HAM. Didalam pasal
28H ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”. Ketiga. Mengukur instrument mutu lingkungan hidup
berdasarkan pengetahuan (scientific). Instrument yang
digunakan dengna mengggunakan indeks udara, air dan tanah. Hasil pengukuran
dari berbagai peristiwa memberikan penilaian dari lingkungan hidup dan cara
beradaptasi masyarakat (mitigasi)
menghadapi perubahan lingkungna hidup. Keempat. mengukur instrument mutu
lingkungan hidup dengan kondisi faktual. Mekanisme ini digunakan dengan
menggali informasi kunci di tengah masyarakat. Baik terhadap penurunan mutu
lingkungan dari kehidupan sehari-hari, hilangnya biodiversity hingga tumbuhan
endemik. Konferensi Pers Hari Lingkungan
Hidup, Jambi, 5 Juli 2015
[3] Kebakaran hutan
dan lahan menyebabkan warga terserang ISPA. Di Jambi ada 20.471 orang,
Kalimantan Tengah 15.138, Sumatera Selatan 28.000, dan Kalimantan Barat 10.010
orang. Data dari berbagai sumber. Diolah Walhi
[4] Walhi, 2015
[5] Pasal 5 dan pasal 8 UU No. 41 Tahun 1999
[6] UU No. 32 Tahun 2009, UU No. 9 Tahun 1990, UU No. 37
Tahun 2014, UU No. 26 Tahun 2007, UU No. 11 Tahun 1974 yang mencabut UU No 7
Tahun 2004 berdasarkan Putusan MK Nomor Putusan MK No. 85/PUU-XII/2013, UU No.
41 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2013, UU No. 5 Tahun 1960, UU No. 39 Tahun 2014.
[7] PP NO. 71 Tahun 2014 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Gambut junto PP No. 57 Tahun
2016 Tentang Perubahan terhadap PP No. 71 Tahun 2014, PP No. 73 Tahun 2013
Tentang Rawa, PP No. 44 Tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan, PP No. 4
Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan dengan
kebakaran Hutan dan Atau Lahan, PP No. 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan
Hutan, PP No. 45 Tahun 2003 Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak yang berlaku pada Departemen Energi Sumber daya Mineral, PP No. 3 Tahun
2008 Tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 Tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan, PP No.
10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan hutan, PP No. 28 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Hutan, PP No. 38 Tahun
2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, PP No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah, PP No. 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, PP No. 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang, PP No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang WIlayah Nasional,
PP No. 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah, PP No. 16 Tahun 2005 Tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Bersih, PP PP No. 6 Tahun 2007 yang kemudian
diperbarui berdasarkan PP No. 3 Tahun 2008
[8] Keppres No. 32 Tahun 1990 TentangPengelolaan Kawasan
Lindung, Keppres No. 82 Tahun 1995 Tentang Pengambangan Lahan Gambut untuk
Pertanian tanaman Pangan di Kalimantan
Tengah, Keppres No. 80 Tahun 1999 Tentang Pedoman Umum Perencanaan dan
Pengelolaan Kawasan Pengambangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah, Keppres No.
48 Tahun 1991 Tentang Pengesahan Convention on Wetland Of International
Importance Especially Waterfowl Habitat, Keppres No. 34 Tahun 2003 Tentang
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan
[9] Inpres No. 8 Tahun 2015 Tentang Penundaan Pemberian
Izin baru dan Penyempurnaan tata hutan alam Primer dan Lahan Gambut, Inpres No.
11 Tahun 2015 Tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan,
Inpres No. 2 Tahun 2007 Tentang Percepatan Rehabilitasi dan Revitaliasi Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di
Kalimantan Tengah
[10] Dapat dilihat
dimakna
pasal 44 dan penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009. UU Lingkungan
Hidup kemudian mengamanatkan sebagai UU Payung didalam perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga seluruh UU yang berkaitan dengan sumber
daya alam kemudian harus memperhatikan ketentuan didalam UU No. 32 Tahun 2009.
Makna ini kemudian dipertegas dengan menggunakan istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.
[11] Pasal 1 angka 2,angka 4,angka 27, angka 30, angka 32,
angka 37, angka 38, pasal 3, pasal 53 ayat (1), pasal 54 ayat (1), pasal 60,
pasal 62 ayat (1), pasal 63 ayat (1) dan ayat (3), pasal 65, pasal 66, pasal 69
ayat (1), pasal 70 ayat (1), pasal 71 ayat (1), pasal 72, pasal 73, pasal 76 ayat
(1), pasal 77, pasal 78, pasal 79, pasal 84 ayat (1), pasal 87 ayat (1), pasal
90 ayat (1), pasal 91 ayat (1), pasal 92 ayat (1) dan pasal 93 ayat (1) UU No.
32 Tahun 2009
[12] Pasal 1 angka (2) UU No. 32 Tahun 2009