“Nauli.
Buat tulisan 70 tahun usia Prof. Rozali”. Demikian kabar dari seberang telephone.
Permintaan itu kemudian saya penuhi.
Itulah
kenangan yang berkesan ketika Guru saya meminta (lebih tepat menyuruh) membuat
opini tentang Prof. Rozali. Tulisan ini kemudian dimasukkan kedalam Bunga
rampai Prof. Rozali Abdullah”. Guru besar sekaligus penguji utama saya ketika
ujian skripsi 21 tahun yang lalu.
Interaksi
saya dengan Prof. Elita Rahmi lebih sering ketika saya menjadi Direktur Walhi
Jambi. Sebagai pengampu mata kuliah hukum lingkungan, oleh Prof. Elita, saya kemudian
sering diminta mengisi “sesi” hukum lingkungan dan memberikan informasi tentang
perkembangan lingkungan. Pertemuan semakin intentif ketika kebakaran tahun 2013
dan tahun 2015.
Pertemuan
juga semakin sering ketika para penulis Jambi yang tergabung di Pelanta
mengadakan pertemuan. Dan bersama dengan Pak Navarim Karim, Maizar Karim, Prof
Elita Rahmi adalah sedikit Dosen Unja yang mau menulis di media local.
Mendapatkan
kabar pelantikan dan pengukuhan sebagai Guru besar, ada haru yang menyesakkan
dada. Persoalan lingkungna memantik perhatian beliau dan menjadi tema didalam
orasi pengukuhan sebagai guru besar.
Terbayang
kemudian tawaran pemikiran beliau yang menempatkan persoalan lingkungna begitu
penting disaat bersamaan kampus “terjebak” dengan berbagai perangkat peraturan
yang justru melanggengkan ataupun melindungi kepentingan pemodal.
Dengan
suara kritis, Prof. Elita Rahmi kemudian menempatkan dan mengusulkan Pengadilan
Lingkungan sebagai bagian dari Peradilan TUN. Sebuah tawaran yang unik di
tengah kepengapan dan problema persoalan lingkungan hidup.
Tawaran
pengadilan lingkungna hidup sudah menjadi wacana yang menguat di internal
Walhi. Berbagai kasus-kasus lingkungan kemudian dibaca sebagai persoalan
kesalahan dan pertanggungjawaban ataupun persoalan “perbuatan melawan hukum”.
Sebuah asas yang kemudian mereduksi terhadap persoalan lingkungan hidup itu
sendiri.
Dengan
“lincah”, Prof. Elita kemudian menggagas gagasan besar yang fenomental dan akan
menjadi kajian panjang didalam sistem hukum di Indonesia.
Saya
kemudian menarik nafas lega, ketika persoalan lingkungan hidup menjadi
perhatian dan menyampaikan di forum sidang senat terbuka.
Dan
gagasan yang disampaikan oleh Prof Elita menjadi tanggungjawab pegiat
lingkungan hidup didalam implementasi.
Terlepas
dari pada semua itu, selain kekaguman saya kepada Prof. Elita yang rela
berdiskusi dengan saya, rela memenuhi undangan Walhi Jambi di berbagai
pertemuan ditengah jadwal yang padat antara mengajar, menguji maupun sebagai
ketua Program Studi kenoktariatan, juga didasarkan “kerelaan” menulis di media local.
Sebuah keteladanan yang tetap membumi ditengah kampus yang berdiri di menara
gading.
Dengan
berlandaskan kepada Pengadilan Lingkungan Hidup, maka penyampaian pidato
pengukuhan memerlukan jalan panjang untuk mewujudkan gagasan. Dan saya bangga
menjadi bagian dari penyaksi proses yang panjang.
Selamat,
Prof Elita. Langkah sudah ditentukan. Mari kita memulai melangkah.