Akhir-akhir
ini diberitakan tentang kebijakan “negara” mengatur lalulintas dengan
menerapkan plat kendaraan “genap-ganjil” kepada kendaraan untuk memintasi
daerah-daerah tertentu di Jakarta. Dengan merujuk hari-hari tertentu yang
ditandai dengan tanggal ganjil maka kendaraan yang berakhiran ganjil yang boleh
memintas. Begitu juga dengan tanggal genap. Dan itu kemudian “dihadang” pintu
dari Tol Jagorawi.
Entah
pikiran “ganjil” apa yang menghinggapi dan ide untuk menerapkan kendaraan dari
Jagorawi. Peraturan yang semula diterapkan untuk daerah-daerah Jakarta kemudian
“dihadang” untuk kendaraan dari Jagorawi.
Padahal
ketika pengguna kendaraan membayar pajak kendaraan (STNK) sama sekali tidak disebutkan
menggunakan pada hari tertentu. Sebagai pembayar pajak, maka pemilik kendaraan
berhak untuk menggunakan kendaraannya pada hari tertentu ataupun daerah-daerah
tertentu. Kecuali dengan pertimbangan tertentu daerah yang kemudian dinyatakan
sebagai jalur tertentu.
Lalu
dengna pertimbangan mengatur hari tertentu untuk kendaraan dapat mengurangi
kemacetan di Jakarta.
Hello.
Ini Indonesia. Negara yang “katanya” paling tinggi pengguna internet, negeri
yang paling rakus dengan symbol-simbol kemodernan, negeri yang paling “demem”
HP model terbaru, tapi mental masih gaya “agraris”.
Yang
rela kerja “banting tulang”, berhemat, hidup prihatin namun “boros” ketika
mudik. Yang rela “membuang” duit hasil tabungan selama 11 bulan. Yang rela
menghabiskan gajian bulanan termasuk hutang untuk sebuah acara dikampung. Yang
rela merayakan sebuah “prestise” untuk status social di tengah masyarakat.
Lalu
apa hubungan dengan kemacetan ? Ya. Sebagai symbol masyarakat yang “agraris”
maka kesuksesan ditandai dengan memiliki rumah dan mobil. Sebagai status social
dan mendapatkan pengakuan. Dan pemikiran itu masih hidup dikalangan yang
“kebetulan” lagi hendak diatur lalulintas.
Lihatlah.
Perumahan di Bogor, Bekasi, Tangerang “laris manis” bak kacang goring.
Penghuninya rela naik kereta desak-desakan demi “ongkos murah”. Yang penting
“harus punya rumah”. Walaupun jauh dan “terjebak di kemacetan” atau
berdesak-desakan naik kereta api.
Dan
yang paling “ribet” adalah keharusan memiliki kendaraan. Kendaraan adalah
status social. Sebagai lambang “kesuksesan” dan menikmati kesuksesan.
Kendaraan
itulah yang kemudian “bersilewaran” memenuhi jalan-jalan Jakarta.
Lalu
dengan “pikiran agraris” berkeinginan untuk memiliki kendaraan kemudian
“kewajiban dari pemilik kendaraan yang telah membayar maka program
“Genap-ganjil” akan sukses ?
Lalu
apakah ide ini kemudian akan mudah diikuti.
Tidak
mudah untuk menjawabnya. Melihat kegagalan sebelumnya. Seperti kebijakan “Three
in one’ dan kebijakan “genap-ganjil” yang sudah diterapkan.
Lihatlah.
Kendaraan terus bertambah. Penumpukan pada “ruas-ruas maut” dan pada jam-jam
tertentu tidak mampu diuraikan.
Program
“Three in one” kemudian gagal. Dan sekarang diganti dengan program
“genap-ganjil”. Namun macet masih terjadi dan tidak mampu diuraikan. Dan
program gagal ini kemudian diterapkan untuk kendaraan “Genap-ganjil” dari
Jagorawi.
Pertanyaan
paling mengganggu adalah “pantas” sang penganjur menawarkan program “ganjil”
ini untuk kemudian akan mudah diikuti.
Sebagai
sebuah program maka “keteladanan” adalah kunci.
Sebagai
masyarakat agraris, pola kepemimpinan juga ditandai dengan keteladanan. Dan
hingga kini “sedikit” sekali atau maukah sang “penggagas genap-ganjil” Mau dan rela
naik angkutan umum untuk urusan. Entah dari rumah ke kantor atau ke pertemuan. Dan
merasakan bagaimana “menikmat” kemacetan” sehingga “tidak” sembarangan
menawarkan ide-ide ganjil dan kurang berfaedah bagi lalu lintas.
Lalu
program ini untuk siapa ? Apakah memang untuk menguraikan atau mengurangi
macet. Atau memang program ini mengurangi macet sehingga “sang penggagas’ dapat
tenang menikmati jalan-jalan Jakarta.