Akhir-akhir
penyebaran berita entah tidak dapat diverifikasi keakuratannya (hoax), berita
menghebohkan yang bertujuan untuk mengganggu ketentraman masyarakat ataupun
posting-posting yang mengganggu nalar dan cenderung by pintas (instant).
Kisah
dimulai dengan kehebohan ketika ditemukan koin dan cap yang berlafaz tulisan
Arab di Trowulan. Dengan berapi-api
kemudian Kerajaan Majapahit dikategorikan sebagai Kerajaan Islam. Bahkan dengan
ledekan “Gaj Ahmada” sebagai patih untuk mencocokologi terhadap Gajah Mada.
Lalu
apakah dengan ditemukan koin dan cap yang berlafaz tulisan Arab kemudian
Kerajaan Mahapahit sebagai Kerajaan Islam ?
Atau
ketika melihat kasus pemerkosaan kemudian menempatkan “pakaian perempuan yang
seksi” sebagai penyebab utama terjadinya pemerkosaan.
Begitu
banyak peristiwa yang mengganggu nalar yang kemudian mengambil kesimpulan dari
sebuah peristiwa ataupun fakta.
Mari
kita telaah satu persatu.
Dengan
ditemukan koin dan cap lafaz tulisan Arab maka kemudian terhadap bentuk
kerajaan Mahapahit dan agama mayoritas tidak menggambarkannya.
Berbagai
sejarah, dokumen dan yang paling klasik adalah Negarakertagama yang dituliskan
didaun lontar kemudian menempatkan Agama Hindu sebagai agama yang dianut
kerajaan Majapahit.
Ditemukan
koin dan cap lafaz adalah fakta. Namun fakta belum dapat ditarik kesimpulan
sebagai bentuk dan agama Kerajaan Mahapahit.
Mengapa
demikian ?
Karena
fakta kemudian harus dilakukan verifikasi terhadap konklusi. Fakta harus
didukung dan apabila mampu dibantah harus mempunyai argumentasi yang kuat.
Lalu
mengapa ditemukan koin dan Cap lafaz tulisan Arab tidak dapat dikategorikan
sebagai kerajaan Islam.
Ya.
Karena Kerajaan Mahapahit sebagai pusat perdagangan dunia. Pintu hasil rempah-rempah.
Negara yang mempunyai armada laut yang disegani.
Dengan
demikian maka sudah dipastikan berbagai bentuk peradaban bangsa dunia adiluhung
pasti terdapat jejaknya.
Perumpamaan
ini diibaratkan dengan ditemukan berbagai porselen, keramik dari Tiongkok di
berbagai daerah Indonesia. Lalu apakah Indonesia kemudian ditempatkan sebagai
bagian dari Tiongkok ? Tentu saja tidak khan.
Atau
ketika Laksamana Cheng Ho yang menyebarkan Islam di Jawa. Hingga kini jejaknya masih
diikuti baik dengan nama Mesjid yang mencantumkan nama Cheng Ho maupun berbagai
peninggalan yang masih diikuti jejaknya.
Lalu
ketika Laksamana Cheng Ho kemudian menyebarkan islam kemudian kita menempatkan
Tiongkok sebagai penduduk yang menganut Islam terbesar. Tentu saja tidak.
Kita
sudah mengenal Tiongkok sebagai salah satu pusat Agama Budha yang kemudian
berinteraksi dengan budaya Tiongkok dan kemudian dikenal sebagai Khonghucu ?
Perumpamaan
Fakta dan mengambil kesimpulan dari fakta tanpa dilakukan verifikasi yang kuat
kemudian menyebabkan ada “ruang kosong”. Melompat dari fakta tanpa verifikasi
dan mengambil kesimpulan, biasa dikenal dengan “jumping conclusion”. Logika
jumping. Melompat melewati pikiran manusia dan kemudian mengambil kesimpulan.
Sengaja
saya memberikan perumpamaan karena “logika
jumping” sering digunakan untuk “mengaburkan akal sehat.
Lihatlah.
Bagaimana dengan enteng kemudian “menuduh” pakaian perempuan sebagai penyebab
dari kekerasan seksual.
Apabila
pakaian yang menjadi ukuran, mengapa kejahatan seksual di negara bebas (seperti
Eropa) tindak kekerasan seksual justru lebih rendah daripada negara-negara
timur ?
Lalu
mengapa masih terjadi “kekerasan seksual” bahkan terjadi pembunuhan justru
terhadap TKI yang banyak bekerja di negara Timur Tengah ?
Bukankah
“otak yang harus diberesin” untuk menjaga pandangan mata, menjaga tingkah laku
agar dapat dikendalikan. Dengan demikian, maka “pikiran kotor’ lah menjadi
penyebab utama. Bukan pakaian.
Atau
dengan enteng, seorang tokoh agama tertentu yang memamerkan para istri-istri
mudanya tanpa beban. Dengan alasan “agar tidak zinah” ?
Lha.
Mengapa alasan tidak “zinah’ menjadi alasan
? Apakah ketika dia mempunyai istri kemudian “keinginan” tidak zinah
tidak mampu dikendalikan ?
Bukankah
seharusnya ketika dia tokoh agama tertentu ketika sudah mempunyai istri dapat
mengendalikan hawa nafsunya. Bukankah dengan status keimanan yang diyakininya
justru lebih banyak beribadah, menjaga keteladanan ditengah masyarakat dan
lebih banyak beribadah daripada ikut infotainment gossip terhadap poligaminya ?
Berbagai
logika “sesat’ atau “logika jumping” tengah berkembang ditengah masyarakat.
Namun
yang mengkhawatirkan, justru kaum kelas menengah yang semula mampu memberikan
pencerahan malah terjebak dan ikut dengan irama permainan.
Lihatlah.
Bahkan selevel mantan Menteri malah sibuk posting-posting hoax.
Dan
“kekerdilan” itu semakin menjadi-jadi ketika kita memberikan informasi yang
benar malah dituduh “menghina agama tertentu-lah’. Atau menghina tokoh
agama-lah.
Tapi
sebagai sebuah logika, senantiasa kita
tempatkan sebagai benteng untuk menjaga kewarasan. Dan kita harus kokoh tetap
meletakkan akal sehat dari berbagai informasi yang berseliweran tanpa batas.
Baca : Logika dan Argumentasi