23 Maret 2018

opini musri nauli : LOGIKA


Akhir-akhir penyebaran berita entah tidak dapat diverifikasi keakuratannya (hoax), berita menghebohkan yang bertujuan untuk mengganggu ketentraman masyarakat ataupun posting-posting yang mengganggu nalar dan cenderung by pintas (instant).

Kisah dimulai dengan kehebohan ketika ditemukan koin dan cap yang berlafaz tulisan Arab di Trowulan.  Dengan berapi-api kemudian Kerajaan Majapahit dikategorikan sebagai Kerajaan Islam. Bahkan dengan ledekan “Gaj Ahmada” sebagai patih untuk mencocokologi terhadap Gajah Mada.

Lalu apakah dengan ditemukan koin dan cap yang berlafaz tulisan Arab kemudian Kerajaan Mahapahit sebagai Kerajaan Islam ?

Atau ketika melihat kasus pemerkosaan kemudian menempatkan “pakaian perempuan yang seksi” sebagai penyebab utama terjadinya pemerkosaan.

Begitu banyak peristiwa yang mengganggu nalar yang kemudian mengambil kesimpulan dari sebuah peristiwa ataupun fakta.

Mari kita telaah satu persatu.

Dengan ditemukan koin dan cap lafaz tulisan Arab maka kemudian terhadap bentuk kerajaan Mahapahit dan agama mayoritas tidak menggambarkannya.

Berbagai sejarah, dokumen dan yang paling klasik adalah Negarakertagama yang dituliskan didaun lontar kemudian menempatkan Agama Hindu sebagai agama yang dianut kerajaan Majapahit.

Ditemukan koin dan cap lafaz adalah fakta. Namun fakta belum dapat ditarik kesimpulan sebagai bentuk dan agama Kerajaan Mahapahit.

Mengapa demikian ?

Karena fakta kemudian harus dilakukan verifikasi terhadap konklusi. Fakta harus didukung dan apabila mampu dibantah harus mempunyai argumentasi yang kuat.

Lalu mengapa ditemukan koin dan Cap lafaz tulisan Arab tidak dapat dikategorikan sebagai kerajaan Islam.

Ya. Karena Kerajaan Mahapahit sebagai pusat perdagangan dunia. Pintu hasil rempah-rempah. Negara yang mempunyai armada laut yang disegani.

Dengan demikian maka sudah dipastikan berbagai bentuk peradaban bangsa dunia adiluhung pasti terdapat jejaknya.

Perumpamaan ini diibaratkan dengan ditemukan berbagai porselen, keramik dari Tiongkok di berbagai daerah Indonesia. Lalu apakah Indonesia kemudian ditempatkan sebagai bagian dari Tiongkok ? Tentu saja tidak khan.

Atau ketika Laksamana Cheng Ho yang menyebarkan Islam di Jawa. Hingga kini jejaknya masih diikuti baik dengan nama Mesjid yang mencantumkan nama Cheng Ho maupun berbagai peninggalan yang masih diikuti jejaknya.

Lalu ketika Laksamana Cheng Ho kemudian menyebarkan islam kemudian kita menempatkan Tiongkok sebagai penduduk yang menganut Islam terbesar. Tentu saja tidak.

Kita sudah mengenal Tiongkok sebagai salah satu pusat Agama Budha yang kemudian berinteraksi dengan budaya Tiongkok dan kemudian dikenal sebagai Khonghucu ?

Perumpamaan Fakta dan mengambil kesimpulan dari fakta tanpa dilakukan verifikasi yang kuat kemudian menyebabkan ada “ruang kosong”. Melompat dari fakta tanpa verifikasi dan mengambil kesimpulan, biasa dikenal dengan “jumping conclusion”. Logika jumping. Melompat melewati pikiran manusia dan kemudian mengambil kesimpulan.

Sengaja saya memberikan  perumpamaan karena “logika jumping” sering digunakan untuk “mengaburkan akal sehat.

Lihatlah. Bagaimana dengan enteng kemudian “menuduh” pakaian perempuan sebagai penyebab dari kekerasan seksual.

Apabila pakaian yang menjadi ukuran, mengapa kejahatan seksual di negara bebas (seperti Eropa) tindak kekerasan seksual justru lebih rendah daripada negara-negara timur ?

Lalu mengapa masih terjadi “kekerasan seksual” bahkan terjadi pembunuhan justru terhadap TKI yang banyak bekerja di negara Timur Tengah ?  

Bukankah “otak yang harus diberesin” untuk menjaga pandangan mata, menjaga tingkah laku agar dapat dikendalikan. Dengan demikian, maka “pikiran kotor’ lah menjadi penyebab utama. Bukan pakaian.

Atau dengan enteng, seorang tokoh agama tertentu yang memamerkan para istri-istri mudanya tanpa beban. Dengan alasan “agar tidak zinah” ?

Lha. Mengapa alasan tidak “zinah’ menjadi alasan  ? Apakah ketika dia mempunyai istri kemudian “keinginan” tidak zinah tidak mampu dikendalikan  ?

Bukankah seharusnya ketika dia tokoh agama tertentu ketika sudah mempunyai istri dapat mengendalikan hawa nafsunya. Bukankah dengan status keimanan yang diyakininya justru lebih banyak beribadah, menjaga keteladanan ditengah masyarakat dan lebih banyak beribadah daripada ikut infotainment gossip terhadap poligaminya ?

Berbagai logika “sesat’ atau “logika jumping” tengah berkembang ditengah masyarakat.

Namun yang mengkhawatirkan, justru kaum kelas menengah yang semula mampu memberikan pencerahan malah terjebak dan ikut dengan irama permainan.

Lihatlah. Bahkan selevel mantan Menteri malah sibuk posting-posting hoax.

Dan “kekerdilan” itu semakin menjadi-jadi ketika kita memberikan informasi yang benar malah dituduh “menghina agama tertentu-lah’. Atau menghina tokoh agama-lah.

Tapi sebagai sebuah logika,  senantiasa kita tempatkan sebagai benteng untuk menjaga kewarasan. Dan kita harus kokoh tetap meletakkan akal sehat dari berbagai informasi yang berseliweran tanpa batas.