31 Agustus 2018

opini musri nauli : PENANDA TANAH (2)



Berbeda dengan Hukum Tanah yang diatur didalam KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang mengatur lepasnya hak milik benda tidak bergerak selama 30 tahun sebagaimana diatur didalam pasal 1963 BW, di masyarakat Melayu Jambi dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”.

Selain penanda tanah seperti “takuk pohon”,  “tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”,  Lambas berbanjar didaerah ulu Batanghari

Atau  Di daerah ilir Jambi dikenal  “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” maka Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus.

Terhadap tanah yang telah ditentukan maka tanah harus dikelola. Dan hak terhadap  tanah (ontginningsrecht) akan hilang apabila tidak dikelola ataupun dikerjakan.

Istilah tanah terlantar ditandai dengan seloko. Di Marga Batin Pengambang dikenal “empang krenggo”.  Di Desa Tambak Ratu dikenal “mengepang” [1]  atau ”Belukar tuo” atau “belukar Lasah”.

Di Marga Tenang dikenal “sesap rendah jerami tinggi”. Sedangkan di Marga Sumay dikenal  “sesap rendah tunggul pemarasan”. Di Marga Pratin Tuo dikenal istilah “perimbun[2]. Di Marga Pelepat dikenal istilah “Mati tanah. Buat tanaman”.

Di Marga Batang Asai Tengah dikenal “umbo rimbo”, “umo belukar tuo”, “uma belukar mudo dan “umo sesap”. “Umo rimbo” adalah “pembukaan tanah”. Umo belukar tuo adalah tanah yang telah dibuka namun kemudian ditinggalkan. Sedangkan “umo belukar mudo” adalah tanah yang telah ditinggalkan namun masih terdapat tanaman mudo. Sedangkan “umo sesap” kebun yang telah ditinggalkan pemiliknya atau tidak dirawat[3].

Sedangkan di Ilir Jambi dikenal  “Larangan krenggo
“Empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.

Seloko empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” menunjukkan pemilik tanah tidak merawat tanahnya. Istilah “Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, atau sudah menunjukkan “jerami tinggi” sudah lama tidak dirawat.

Belukar Tuo. Walaupun sudah dikerjakan dengan cara membuat tanda kayu berkait, ditebas dan ditumbangkan, apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun, maka haknya menjadi hilang. Tanah kembali ke Desa.

 “Perimbun” adalah lahan yang berupa belukar yang sudah lama ditinggal/tidak digarap. Baik berupa belukar muda (ditinggal sekitar 1-2 tahung) maupun belukar tua (ditinggal lebih 5 tahun).

Sedangkan Belukar Lasah merupakan areal yang bervegetasi semak atau belukar yang dulunya berupa hutan tapi tidak jelas lagi siapa yang membukanya yang kemudian ditetapkan melalui mufakat desa untuk dijadikan areal pertanian semusim yang boleh dikelola secara bersama oleh masyarakat dusun setempat.

Di Aceh dikenal “hak dong tanoh” (hak menandai tanah/hutan). Dan apabila tanda-tandanya kemudian hilang maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hapus. Sebagaimana ungkapan adat disebutkan asai bak rimba jiwou keu rimba” (berasal dari hutan kembali menjadi hutan)[4].

A.P. Parlindungan didalam bukunya Konversi Hak-Hak Atas Tanah[5] menyebutkan “Di Jambi dijumpai aturan bahwa sawah yang ditinggalkan selama 5 tahun, jajaran 3 tahun dan talang 3 tabun akan menyebabkan gugumya hak atas itu.

S.R Nur didalam bukunya “Beberapa permasalahan Agraria”[6] menyebutkan “Pada lingkungan masyarakat Aceh, seseorang kehilangan hak menduduki atas tanah ("woestheid"), Jika ladangnya di pegunungan, maka dengan meninggalkannya selarna 3 tahun dan telah menjadi tanah liar menyebabkan hilangnya hak menduduki, lalu tanah kembali kepada hak ulayat masyarakat.

Di Enrengkang dan Bantaeng tanah yang ditinggalkan selarna 3 tahun dan menjadi belukar kembali, maka pemiliknya kehilangan hak atas tanah itu. (Yurisprudensi No. 1226 K/Sip/1976 tanggal 15 April 1976)

Mahkamah Agung berdasarkan Yurisprudensi No. 329 K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 kemudian menyebutkan “di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba, maka hak atas tanah dapat dianggap dilepaskan dan tanah itu oleh Kepala Persekutuan kampong dapat diberikan kepada orang lain.

Begitu juga Yurusprudensi Mahkamah Agung Nomor 59 K/Sip/1958 tanggal 7 Februari 1959 kemudian menyebutkan “menurut adat Karo sebidang tanah “kesian” yaitu sebidang tanah kosong yang letaknya dalam kampong bisa menjadi hak milik perseorangan setelah tanah itu diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampong itu.

Putusan Mahkamah Agung No. 1192 K/Sip/1973 Tanggal 27 Maret 1975 menyebutkan “Menurut peraturan adat setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung untuk mengerjakannya, tetapi teguran itu tidak diindahkannya; dalam hal ini bolehlah tanah itu oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang memerlukannya.

Putusan Mahkamah Agung No. 590 K/Sip/1974 tanggal 3 Desember 1975 menyebutkan “Menurut hukum, baik hukum adat maupun ketentuan-ketentuan U.U.P.A. tahun 1960 hapusnya hak atas tanah adalah antara lain karena diterlantarkan.

Dengan demikian maka empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah tanah terlantar.

Kategori tanah terlantar kemudian dikenal seperti (1) Apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau sifatnya. (2).Apabila tanah tersebut tidak dipergunakan  sesuai  dengan tujuan pemberian haknya. (3) Tanah tersebut tidak dipelihara dengan baik. (Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 36 Tahun 1998 junto PP No. 11 Tahun 2010).

Dengan demikian maka tanah tidak dibenarkan ditelantarkan.


Advokat, Tinggal di Jambi




            [1] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
[2] Riset Walhi Jambi, 2013
            [3] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [4] Ilyas Ismail, Kajian Terhadap Hak Milik Atas Tanah terjadi Berdasarkan Hukum Adat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Ilyas Ismail No. 56, Th. XIV (April, 2012),
            [5] A.P. Parlindungan didalam bukunya Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1990
            [6] S.R. Nur, Beberapa Permasalahan Agraria, Lembaga Penerbitan Unhas, Ujung Pandang, 1986,