Berbeda
dengan Hukum Tanah yang diatur didalam KUHPer (kitab Undang-undang Hukum
Perdata) yang mengatur lepasnya hak milik benda tidak bergerak selama 30 tahun
sebagaimana diatur didalam pasal 1963 BW, di masyarakat Melayu Jambi dikenal
“empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah
jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat
tanaman”. Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”.
Selain
penanda tanah seperti “takuk pohon”, “tuki”, “sak Sangkut” , “hilang celak. Jambu
Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”, Lambas berbanjar didaerah ulu Batanghari
Atau Di daerah ilir Jambi dikenal “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau
“Patok mati” maka Terhadap tanah yang
telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi
sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus.
Terhadap tanah yang telah ditentukan
maka tanah harus dikelola. Dan hak terhadap
tanah (ontginningsrecht) akan hilang apabila tidak dikelola ataupun
dikerjakan.
Istilah
tanah terlantar ditandai dengan seloko. Di Marga Batin Pengambang dikenal “empang krenggo”. Di Desa Tambak Ratu dikenal “mengepang” [1] atau ”Belukar
tuo” atau “belukar Lasah”.
Di
Marga Tenang dikenal “sesap rendah jerami
tinggi”. Sedangkan di Marga Sumay dikenal “sesap rendah tunggul
pemarasan”. Di Marga Pratin Tuo dikenal istilah “perimbun[2]. Di Marga Pelepat dikenal istilah “Mati tanah. Buat tanaman”.
Di Marga Batang Asai Tengah dikenal “umbo rimbo”,
“umo belukar tuo”, “uma belukar mudo dan “umo sesap”. “Umo rimbo” adalah
“pembukaan tanah”. Umo belukar tuo adalah tanah yang telah dibuka namun
kemudian ditinggalkan. Sedangkan “umo belukar mudo” adalah tanah yang telah
ditinggalkan namun masih terdapat tanaman mudo. Sedangkan “umo sesap” kebun
yang telah ditinggalkan pemiliknya atau tidak dirawat[3].
Sedangkan
di Ilir Jambi dikenal “Larangan krenggo”
“
“Empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo”
atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul
pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah
Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3
tahun. Dan kemudian harus dirawat.
Seloko empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau
“belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul
pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” menunjukkan pemilik tanah tidak merawat
tanahnya. Istilah “Belukar tuo” atau
“belukar Lasa”, atau sudah menunjukkan “jerami
tinggi” sudah lama tidak dirawat.
Belukar
Tuo. Walaupun sudah dikerjakan dengan cara membuat tanda kayu berkait, ditebas
dan ditumbangkan, apabila tidak dikerjakan selama 3 tahun, maka haknya menjadi
hilang. Tanah kembali ke Desa.
“Perimbun” adalah lahan yang berupa belukar yang
sudah lama ditinggal/tidak digarap. Baik berupa belukar muda (ditinggal sekitar
1-2 tahung) maupun belukar tua (ditinggal lebih 5 tahun).
Sedangkan Belukar Lasah merupakan areal yang
bervegetasi semak atau belukar yang dulunya berupa hutan tapi tidak jelas lagi
siapa yang membukanya yang kemudian ditetapkan melalui mufakat desa untuk
dijadikan areal pertanian semusim yang boleh dikelola secara bersama oleh
masyarakat dusun setempat.
Di Aceh dikenal “hak dong tanoh” (hak menandai
tanah/hutan). Dan apabila
tanda-tandanya kemudian hilang maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hapus. Sebagaimana
ungkapan adat disebutkan “asai bak rimba jiwou keu rimba” (berasal
dari hutan kembali menjadi hutan)[4].
A.P. Parlindungan didalam bukunya Konversi
Hak-Hak Atas Tanah[5] menyebutkan “Di Jambi dijumpai aturan bahwa sawah yang ditinggalkan
selama 5 tahun, jajaran 3 tahun dan talang 3
tabun akan menyebabkan gugumya hak atas itu.
S.R Nur didalam bukunya “Beberapa permasalahan
Agraria”[6]
menyebutkan “Pada lingkungan masyarakat Aceh, seseorang kehilangan hak menduduki atas tanah ("woestheid"), Jika ladangnya di pegunungan, maka dengan meninggalkannya selarna 3
tahun dan telah menjadi tanah liar menyebabkan hilangnya hak menduduki,
lalu tanah kembali kepada hak ulayat masyarakat.
Di Enrengkang dan Bantaeng tanah yang ditinggalkan
selarna 3 tahun dan menjadi belukar kembali, maka pemiliknya
kehilangan hak atas tanah itu. (Yurisprudensi No. 1226 K/Sip/1976
tanggal 15 April
1976)
Mahkamah Agung berdasarkan Yurisprudensi No. 329
K/Sip/1957 tanggal 24 September 1958 kemudian menyebutkan “di Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba,
maka hak atas tanah dapat dianggap dilepaskan dan tanah itu oleh Kepala
Persekutuan kampong dapat diberikan kepada orang lain.
Begitu juga Yurusprudensi Mahkamah Agung Nomor 59
K/Sip/1958 tanggal 7 Februari 1959 kemudian menyebutkan
“menurut adat Karo sebidang tanah “kesian” yaitu sebidang tanah kosong yang
letaknya dalam kampong bisa menjadi hak milik perseorangan setelah tanah itu
diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampong itu.
Putusan Mahkamah Agung No. 1192 K/Sip/1973 Tanggal
27 Maret 1975 menyebutkan “Menurut peraturan adat
setempat, hak semula dari seseorang atas tanah usahanya gugur apabiia ia telah
cukup lama belum/tidak mengerjakan lagi tanahnya, kemudian ia diberi teguran
oleh Kepala Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung untuk mengerjakannya, tetapi
teguran itu tidak diindahkannya; dalam hal ini bolehlah tanah itu oleh Kepala
Persekutuan Kampung atau Kepala Kampung diberikan kepada orang lain yang
memerlukannya.
Putusan Mahkamah Agung No. 590 K/Sip/1974 tanggal 3
Desember 1975 menyebutkan “Menurut hukum,
baik hukum adat maupun ketentuan-ketentuan U.U.P.A. tahun 1960 hapusnya hak
atas tanah adalah antara lain karena diterlantarkan.
Dengan demikian maka “empang krenggo”, “mengepang”,
”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap
rendah tunggul pemarasan”, “perimbun”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan
krenggo” adalah tanah terlantar.
Kategori tanah terlantar kemudian dikenal seperti (1)
Apabila
tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaannya atau
sifatnya. (2).Apabila tanah tersebut tidak dipergunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. (3) Tanah
tersebut tidak dipelihara dengan baik. (Pasal 3 dan pasal 4 PP No. 36 Tahun
1998 junto PP No. 11 Tahun 2010).
Dengan demikian maka tanah tidak dibenarkan
ditelantarkan.
Baca : Penanda Tanah
Advokat, Tinggal di Jambi