28 Agustus 2018

opini musri nauli : PENANDA TANAH





Ditengah masyarakat Melayu Jambi, penanda tanda atau batas tanah dikenal yang menunjukkan sebagai pemilik tanah.

Di daerah uluan Batanghari dikenal “takuk pohon”. “tuki”, “sak Sangkut” sebagai penanda batas tanah. Yang ditandai dengan pohon sebagai batas antara satu tanah dengan yang lain. Atau “ranting pohon” dipatahkan (tuki), atau pohon ditebang setengah (takuk pohon).

Ada juga menyebutkan “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas”.  Di daerah ilir Jambi dikenal  “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati”.  

Di Marga Batin Pengambang, Desa Sungai Keradak[1] dikenal Melambas. Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengait. Kemudian ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3 bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa.

Istilah melambas di juga dikenal di Desa Tambak Ratu[2]. Setelah dilakukan pengecekan tempat yang mau dibuka, maka ditandai dengan cara sistem tuki (Pohon kayu silang). Atau pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah membuka rimbo.

Sedangkan Melambas di Desa Paniban Baru ditandai dengan Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengaikit. Kemudian ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3 bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa[3]. Boleh dijual tapi hanya untuk masyarakat DESA PANIBAN BARU dan dalam Komunitas Marga Batin Pengambang.

Sedangkan di Rantau Panjang[4], makna Lambas yaitu Rimbo yang akan dibuka diberi tanda “kayu pengaikit. Kemudian  ditanami seperti kleko, durian. Waktu melambas selama 3 bulan. Apabila selama 3  bulan tidak ditanami, maka tanah kembali ke desa5. Belukor Tuo. Rimbo yang sudah dibuka ternyata tidak ditanami, maka akan  kembali ke desa.

Di Desa Gedang Marga Sungai Tenang, LAMBAS berarti setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara membuat pagar bambu dan harus membuka selama 6 bulan[5].

Di Desa Muara Sekalo[6], istilah Lambas adalah prosesi  Sebelum membuka tanah, dibagi berkelompok. Diadakan upacara dengan memohon izin mambang jori.

Sedangkan penanda dikenal Sak sangkut. Memberikan tanda dengan “takuk pohon”. Dilakukan dengan Banjar bertindih galang. Kemudian Bidang. Setiap tanah yang dibuka dan ditandai dinamakan bidang. Selanjutnya Pemarasan hutan atau Penebangan.  

Di Desa Semambu[7], Lambas berbanjar. Tanah yang telah dibuka harus diberi tanda berupa tanaman seperti durian. Setiap banjar ditentukan 10 KK. Setiap tanah yang dibuka dan ditandai dinamakan bidang. Kemudian “menugal” artinya mulai menanam tanah yang telah dibuka.

Di Desa Suo-suo[8], Lambas dilakukanSebelum Beumo, harus diadakan upacara adat. Lambas berbanjar. Tanah yang telah dibuka harus diberi tanda takuk pohon.  

Di Marga Sungai Tenang, Desa Tanjung Mudo dikenal Cacak Tanam, Jambu Kleko. Tanah yang telah dibuka diberi tanda dengan menanam pohon seperti jeluang[9].  Desa Kota baru juga mengenal “Jeluang”. setiap Ketua Keluarga kemudian membuat tanda dengan cara menanam phon jeluang dan harus membuka selama 3 bulan[10]

Di daerah hilir dikenal Mentaro, “Prenggan”. “Pasak mati” atau “Patok mati”, “larangan Krenggo”, ”pawah”, “Depo”, Pawah”, Cerak parit”  adalah tanda terhadap tanah yang telah dibuka. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas antara satu dengan yang lain.

Terhadap tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman seperti Pinang, jelutung atau tanaman lain sebagai pembatas (mentaro), maka tanah tidak boleh dibuka oleh orang lain (larangan krenggo).

Terhadap tanah mentaro, kemudian ditanyakan kepada pemilik tanah, tetangga tanah atau saksi disekitar tanah. Terhadap tanah untuk ditanami atau tidak sanggup untuk dikelola melalui prosesi adat yang berlaku ditempat. Apabila tidak dikelola maka hak terhadap tanah menjadi hapus dan akan diberikan kepada masyarakat Desa.

Sedangkan Mentaro. Tanah yang telah dibuka kemudian diberi tanda berupa tanaman Pinang. Sedangkan menanam tanaman lebih rapat mengeliling tanah dikenal dengan istilah prenggan.

Dapat juga menanam tanda yang ujungnya dilapisi plastic yang kemudian dimasukkan ke tanah. Cara ini dikenal  sebagai “pasak mati atau patok mati.

Istilah “hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu Kleko”, “Lambas”,   “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” dengan cara menanam pohon sebagai tanda (hilang celak. Jambu Kleko”, “Cacak Tanam. Jambu Kleko).

“Takuk pohon”, “tuki”, “sak Sangkut”, “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”, “Lambas”, “mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” adalah bentuk pengakuan sebagai batas tanah dan bukti untuk menyelesaikan perselisihan tanah. 

Berbeda dengan Hukum Tanah yang diatur didalam KUHPer (kitab Undang-undang Hukum Perdata) yang mengatur lepasnya hak milik benda tidak bergerak selama 30 tahun sebagaimana diatur didalam pasal 1963 BW, di masyarakat Melayu Jambi dikenal “empang krenggo”, “mengepang”,”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman”. Di daerah hilir dikenal “Larangan krenggo”.

Istilah “empang krenggo”, “mengepang”, ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan”, “Mati tanah. Buat tanaman” dan “Larangan krenggo” adalah Seloko yang menunjukkan tanah yang telah dibuka maka harus ditanami paling lama 3 tahun. Dan kemudian harus dirawat.

Seloko ”Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, “sesap rendah jerami tinggi” atau “sesap rendah tunggul pemarasan” menunjukkan pemilik tanah tidak merawat tanahnya. Istilah “Belukar tuo” atau “belukar Lasa”, atau sudah menunjukkan “jerami tinggi” sudah lama tidak dirawat.

Terhadap tanah yang telah dibuka namun kemudian tidak ditanami dan tidak dirawat maka akan dijatuhi sanksi adat. Bahkan hak milik terhadap tanah kemudian hapus.

Begitu juga hak terhadap tanah (ontginningsrecht). Misalnya “membuko rimbo”, “mancah rimbo’, “Maro Ladang atau Maro Banjar”,  “Behumo Rimbo” dan “Behumo Ronah”. Yang dimulai dari proses yang panjang seperti “betaun besamo”, “turun pangkal tahun” atau “Behumo di pangkal tahun. Tradisi ini kemudian dikenal “tradisi huma”.

Setelah tanah ditentukan maka tanah kemudian ditandai. “Lambas, “mengepang“, Cacak Tanam, Jambu Kleko,  “Tunggul pemarasan, pasak, sak sangkut” di daerah uluan Jambi. Atau “pancang mati” atau “mentaro” daerah iliran Jambi.

Terhadap tanah yang telah ditentukan maka tanah harus dikelola. Dan hak terhadap  tanah (ontginningsrecht) akan hilang apabila tidak dikelola ataupun dikerjakan.



            [1] Desa Sungai Keradak, 27 Juli 2013
            [2] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
            [3] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [4] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [5] Peraturan Desa Gedang No.  Tahun 2011 Tentang Keputusan Adat istiadat Depati Suka Merajo
            [6] Desa Muara Sekalo, Maret 2013
            [7] Desa Semambu, 18 Maret 2013
            [8] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
            [9] PERATURAN DESA TANJUNG MUDO  NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [10] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO