Memulai
diskusi Filsafat Alam di Nusantara tidak lepas dari pengaruh alam sekitarnya.
Dengan dogma “Manusia dan peradaban”, Zenzi Suhadi (Kepala Departemen Advokasi
Walhi), maka manusia Nusantara tetap berpihak kepada alam.
Cara
berfikir Plato (yang dikenal sebagai tokoh Filsuf barat, murid terkenal dari
Socrates. Tokoh-tokoh filsafat Barat yang dikenal hingga abad pertengahan),
yang mengenal cara “ide”. Cara “ide” dimulai dari “berfikir dan pengalaman”. Alur
pemikiran inilah yang melahirkan “pengetahuan” filsafat Manusia Nusantara
didalam melihat alam.
Cara
pemikiran manusia Nusantara juga tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Confusiusme.
Sebuah agama di Tiongkok dan kemudian ditetapkan sebagai agama Negara Tiongkok
pada abad XII (Kajian Rutin Filsafat, Jambi, Meiliana, 31 Agustus 2019). Ibu
Meiliana kemudian menjelaskan Confusiusme berangkat dari “perpaduan” ajaran Tao
dan Lao. Sebuah “perpaduan” ajaran Tao dan Lao yang kemudian masih dipegung
masyarakat Tiongkok dalam kehidupan sehari-hari.
Namun
yang membedakan “cara berfikir filsafat Barat dengan manusia nusantara” adalah
pengaruh alam.
Dibarat,
alam adalah homogen. Sehingga “filsafat Barat” menghasilkan “etika” dan relasi
manusia yang bertujuan untuk “menghasilkan” produksi yang homogen. Sedangkan
manusia nusantara yang mempunyai ekosistem yang berbeda satu dengan lain
menghasilkan peradaban yang berbeda.
Masyarakat
pesisir yang menghasilkan peradaban yang berbeda dengan masyarakat pegunungan.
Masyarakat gambut berbeda dengan peradaban masyarakat perairan.
Begitu
juga masyarakat pelaut berbeda dengan petani. Atau nelayan dengan penangkap
ikan disungai.
Sehingga
“alam” kemudian menghasilkan peradaban.
Cara
berfikir manusia Nusantara kemudian menemukan kata kunci. Setiap peradaban maka
melahirkan cara berfikir manusia. Cara berfikir ini sering kita temukan dalam
cara berfikir di Minangkabau “alam takambang jadi guru”. Bukankah “alam” adalah
“guru”. Turunan pemikiran ini biasa dilihat didalam pepatah seperti “air beriak
tanda tak dalam”. “Air tenang menghanyutkan”.
Unsur
penting kehidupan manusia nusantara tidak dapat dipisahkan dari unsur “tanah”,
air, udara dan api. Pepatah seperti “kecil menjadi kawan. Besar menjadi lawan”
adalah perumpamaan terhadap air dan api”. Menempatkan dan menghormati “air” dan
“api” adalah sebagai bentuk “kawan”. Namun ketika didalam mengelola “air” dan “api”
yang tidak tepat menyebabkan “lawan”. Zenzi menyebutkan sebagai “bencana”.
Bukankah
ketika “perlakuan” gambut yang tidak tepat menyebabkan bencana. Kebakaran
massif adalah “alam sedang bekerja” dan “menegur” manusia yang tidak mengelola
gambut dengan baik.
Di
Bali, unsur “api” dikendalikan oleh Hyang Maha Kali Sakti. Maha Kali yang “menguasai”
delapan penjuru yang disimbolkan dengan wujud perempuan sakti bertangan
delapan.
Mahakali
adalah kekuatan Panca Maha Butha Nawa Geni yang bertanggungjawab atas kendali
kekuatan seisi bumi ini, yakni angin, api, sinar, air, dan bumi.
Sehingga ketika “amarah” geni” yang menyebabkan “gunung meletus”. Sehingga
harus dilakukan ritual agar amarahnya tidak “memusnahkan manusia”.
Bukankah kita mengenal “avatar” menguasai
“air”, “tanah, “pasir (tanah), “api”, “udara” (angin), ?
Membicarakan “tanah”, “air”, “udara”,
dan “api” tidak dapat dilepaskan dari individu, habitat, ekosistem dan spesies.
Faktor-faktor lain seperti tektonik, vulkanik dan geomorfolis kemudian
menghasilkan “individu” nusantara sebagai komunitas ekologis pengetahuan.
Memandang manusia nusantara tidak
dapat dilepaskan bagaimana relasi manusia memperlakukan dirinya sendiri, relasi
manusia dengan manusia, relasi manusia dengan alam dan metafisika.
Narasi “memperlakukan dirinya
sendiri” dikenal sebagai “perlakuan dirinya” untuk membatasi dirinya agar tidak
rakus terhadap “kekayaan alam’. Dwi Nanto (Walhi Jambi) bercerita bagaimana
kisah jambu air didepan kantor Walhi Bengkulu. Setiap hari anak-anak kecil
memanjat pohon jambu air dan memakannya. Adanya pembagian kerja (anak-anak
lelaki yang memanjat. Anak perempuan yang mengumpulkannya, membagikan secara
merata).
Namun kisah ini kemudian mulai
menemukan masalah. Ketika ada anak yang mulai “memanjat jambu air” dengan
membawa kantong plastic dan kemudian “menjualnya”. Dan dilakukan terus menerus
bahkan hingga membawa kantong plastic lebih besar, maka pohon jambu air kemudian “merajuk’. Pohon
jambu air kemudian “tidak berbuah lagi’.
Kisah ini kemudian mengajarkan,
bagaimana manusia memperlakukan alam harus “Diatur’ untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri. Tidak dibenarkan untuk “menguasai” apalagi digunakan untuk kebutuhan
pasar. Dwi Nanto menggunakan istilah “untuk kapitasme”.
Relasi manusia nusantara terhadap
alam juga dipengaruhi metafisika. Berbagai sistem kalender ditentukan
berdasarkan Bulan, bintang dan matahari. Bukankah kita mengenal seperti “matahari”
hidup dan “matahari mati” sebagai penanda arah mata angin ?
Di Muko-muko, saya mendengar
bagaimana “ikan” yang hidup justru dipengaruhi oleh arah matahari (matahari
hidup dan matahari mati). Air yang menuju ke arah matahari mati (arah barat)
dikenal sebagai “ikan sungai” seperti ikan “selemak”, ikan batok dan ikan gabus
”. Sedangkan “arah matahari hidup” ditandai dengan “ikan lais, ikan baung dan
ikan toman”.
Arah “angin” juga dikenal dalam
pelayaran pada abad pertengahan. Catatan Endjat Djaenuderajat dalam bukunya “Atlas
Pelabuhan-pelabuhan Bersejarah di Indonesia” menyebutkan “angin mati” dan “angin
hidup”. Angin hidup adalah angin dari timur ke barat. Sedangkan “angin mati”
sebaliknya.
“Angin hidup adalah pelayaran dari
Indonesia ke Tiongkok, India,Persia dan Ottaman Turki . Mereka membawa membawa
rempah-rempah, emas dan hasil bumi lainnya. Sedangkan “angin mati” adalah
pelayaran membawa tekstil, mesiu, sutera dan keramik.
Catatan lain juga menyebutkan “negeri
diatas matahari” dan “negeri dibawah matahari. “Negeri diatas matahari’ dikenal
sebagai “negara timur”. Sedangkan “negeri dibawah matahari” dikenal sebagai “Tiongkok,
India, Persia dan Ottaman.
Cara pandang terhadap alam juga ditandai
dengan “penanggalan” yang dikenal sebagai “kalender”. Dengan mengetahui “kalender”,
maka dikenal “musim beumo”. Waktu “turun padi’.
Di Bengkulu dikenal “sri bumi”. Di
Jambi dikenal “dukun padi” dalam prosesi seperti “setawar sedingin, “beras
merah, beras putih (Desa Sogo, Muara Jambi, Jambi)”. Merekalah yang “menentukan”
kapan memulai untuk beumo.
Cara memandang bintang dikenal juga
sebagai tanda “prosesi”. Istilah seperti “puncak rebung”, “Sepenggala”, “jatuh
tengkuluk”, Singsing ari”, “berkijab” adalah “penanda “letak bintang 3”.
Bintang 3 adalah “penanda letak” bintang tiga dalam pandangan mata.
Puncak rebung adalah melihat tanda
dari puncak rebung (bamboo). Sedangkan naik sedikit dikenal sebagai penampakkan
bintang 3 setinggi Sepenggala (galah. Kayu seukuran 1,8 meter). Sedangkan “jatuh
tengkuluk” adalah penanda letak “bintang 3” dengan cara mendongakkan kepala.
Tengkuluk dikenal sebagai penutup kepala. (agak berbeda dengan penjelasan
Zenzi. Tengkuluk juga dipakai oleh
lelaki. Sedangkan di Jambi, tengkuluk dipakai kaum perempuan). Sehingga “jatuh
tengkuluk”, dengan cara menggerakkan kepala dengna mendongakkan kepala.
Sehingga “penampakkan” bintang 3 adalah letak bintang 3.
Istilah “sinsing Ari” adalah “penampakkan
bintang 3 menjelang jatuhnya bintang 3. “Sinsing ari’ adalah “menyingsing hari”.
Artinya mau memasuki pagi hari. Atau bisa juga diibaratkan menjelang matahari
terbit. Atau arah timur.
Prosesi yang cukup lama adalah
proses dari “Sepenggala” dengan “jatuh tengkuluk”. Begitu juga waktu antara “jatuh
tengkuluk” dengan “sinsing ari”.
Cara pandang filsafat Barat dan
Filsafat Timur juga menghasilkan cara berbeda terhadap alam. Masyarakat Barat
yang mengagungkan “ilmu pengetahuan” kemudian melakukan “rekayasa alam”. Istilah
seperti “Titik muka air tanah” atau “manajemen air” adalah ilmu pengetahuan
yang “merekayasa alam’ untuk mengelola gambut.
Sedangkan masyarakat Timur justru “menempatkan”
alam sebagai sumber pengetahuan utama. Sehingga cara pandang kemudian
menempatkan sebagai “adaptasi” terhadap alam. Maka manusia nusantara di
peradaban gambut tidak membenarkan “mengelola” gambut yang tidak dikonversi
menjadi lahan perkebunan. Sehingga “rekayasa” gambut tidak dibenarkan.
Selain itu, pertarungan Filsafat
Barat dan “Filsafat Timur’ yang didalam memandang alam (pertarungan antara “rekayasa
alam” dengan “adaptasi alam), juga dikembangkan “menghancurkan” narasi
pengetahuan masyarakat Nusantara.
Secara lugas, Zenzi memaparkan
bagaimana “upaya” negara untuk menghancurkan narasi pengetahuan nusantara dalam
issu kebakaran.
Dengan “lugas’, negara kemudian “mempersoalkan”
cara membakar (di Jambi dikenal merun) masyarakat nusantara.
Negara kemudian “menuduh” cara
membakar masyarakat nusantara sebagai “biang” penyebab kebakaran. Kebakaran
yang menyebabkan asap dan kemudian mengekspor ke negara tetangga (Singapura,
Malaysia).
Padahal selain diatur didalam Pasal
69 ayat 2 UU Lingkungan Hidup yang tegas menyebutkan “kearifan local” sebagai
bentuk pengecualian dari cara membakar.
Narasi pengetahuan masyarakat
nusantara telah mengatur tempat-tempat yang tidak boleh dibuka (rawang, lebak
lebung, payo, soak, bento, lopak) sehingga tidak boleh dikonversi. Dijadikan
lahan pertanian maupun lahan perkebunan. Areal ini hanya digunakan sebagai “akses”
(untuk mengambil ikan dan air).
Areal ini dikenal sebagai kawasan
lindung (yang ditandai dengan penanda seperti “2-3 mato cangkul, ujung Mandau,
akar bekait. Pakis dan jelutung, kumpai berbulu).
Sedangkan yang digunakan untuk
pertanian (peumoan, umo genah/genah umo) justru bukan ditempat yang sering
terjadinya kebakaran. Selain itu prosesi “merun” adalah kegiatan panjang.
Bukankah dari dulu nenek moyang
masyarakat nusantara telah “membakar’ dan
tidak pernah menyebabkan “mengekspor” asap dinegeri tetangga.
Bandingkan “upaya’ rekayasa alam
dengan “membongkar” areal lindung gambut (rawang, lebak lebung, payo, soak,
bento, lopak) dengan cara “membangun kanal, mengiris-iris gambut sehingga
kemudian dijadikan areal produksi (sawit dan HTI). Bukankah “titik api” justru
berada disini ? Bukan diareal pertanian masyarakat (peumoan, umo genah/genah
umo).
Narasi pengetahuan masyarakat nusantara
memang dihancurkan. Sehingga narasi pengetahuan “dianggap’ tidak mampu lagi membaca
tanda-tanda alam.
Bukankah menghancurkan “narasi
pengetahuan masyarakat nusantara justru akan “mencabut peradaban” masyarakat
nusantara. Sehingga dengan “menghancurkan” peradaban nusantara justru akan
menghancurkan masyarakat nusantara itu sendiri.
Baca : Filsafat Nusantara