28 Oktober 2019

opini musri nauli : Filsafat Alam

Memulai diskusi Filsafat Alam di Nusantara tidak lepas dari pengaruh alam sekitarnya. Dengan dogma “Manusia dan peradaban”, Zenzi Suhadi (Kepala Departemen Advokasi Walhi), maka manusia Nusantara tetap berpihak kepada alam.

Cara berfikir Plato (yang dikenal sebagai tokoh Filsuf barat, murid terkenal dari Socrates. Tokoh-tokoh filsafat Barat yang dikenal hingga abad pertengahan), yang mengenal cara “ide”. Cara “ide” dimulai dari “berfikir dan pengalaman”. Alur pemikiran inilah yang melahirkan “pengetahuan” filsafat Manusia Nusantara didalam melihat alam.
Cara pemikiran manusia Nusantara juga tidak dapat dipisahkan dari pemikiran Confusiusme. Sebuah agama di Tiongkok dan kemudian ditetapkan sebagai agama Negara Tiongkok pada abad XII (Kajian Rutin Filsafat, Jambi, Meiliana, 31 Agustus 2019). Ibu Meiliana kemudian menjelaskan Confusiusme berangkat dari “perpaduan” ajaran Tao dan Lao. Sebuah “perpaduan” ajaran Tao dan Lao yang kemudian masih dipegung masyarakat Tiongkok dalam kehidupan sehari-hari.

Namun yang membedakan “cara berfikir filsafat Barat dengan manusia nusantara” adalah pengaruh alam.

Dibarat, alam adalah homogen. Sehingga “filsafat Barat” menghasilkan “etika” dan relasi manusia yang bertujuan untuk “menghasilkan” produksi yang homogen. Sedangkan manusia nusantara yang mempunyai ekosistem yang berbeda satu dengan lain menghasilkan peradaban yang berbeda.

Masyarakat pesisir yang menghasilkan peradaban yang berbeda dengan masyarakat pegunungan. Masyarakat gambut berbeda dengan peradaban masyarakat perairan.

Begitu juga masyarakat pelaut berbeda dengan petani. Atau nelayan dengan penangkap ikan disungai.

Sehingga “alam” kemudian menghasilkan peradaban.

Cara berfikir manusia Nusantara kemudian menemukan kata kunci. Setiap peradaban maka melahirkan cara berfikir manusia. Cara berfikir ini sering kita temukan dalam cara berfikir di Minangkabau “alam takambang jadi guru”. Bukankah “alam” adalah “guru”. Turunan pemikiran ini biasa dilihat didalam pepatah seperti “air beriak tanda tak dalam”. “Air tenang menghanyutkan”.

Unsur penting kehidupan manusia nusantara tidak dapat dipisahkan dari unsur “tanah”, air, udara dan api. Pepatah seperti “kecil menjadi kawan. Besar menjadi lawan” adalah perumpamaan terhadap air dan api”. Menempatkan dan menghormati “air” dan “api” adalah sebagai bentuk “kawan”. Namun ketika didalam mengelola “air” dan “api” yang tidak tepat menyebabkan “lawan”. Zenzi menyebutkan sebagai “bencana”.

Bukankah ketika “perlakuan” gambut yang tidak tepat menyebabkan bencana. Kebakaran massif adalah “alam sedang bekerja” dan “menegur” manusia yang tidak mengelola gambut dengan baik.

Di Bali, unsur “api” dikendalikan oleh Hyang Maha Kali Sakti. Maha Kali yang “menguasai” delapan penjuru yang disimbolkan dengan wujud perempuan sakti bertangan delapan.

Mahakali adalah kekuatan Panca Maha Butha Nawa Geni yang bertanggungjawab atas kendali kekuatan seisi bumi ini, yakni angin, api, sinar, air, dan bumi. Sehingga ketika “amarah” geni” yang menyebabkan “gunung meletus”. Sehingga harus dilakukan ritual agar amarahnya tidak “memusnahkan manusia”.

Bukankah kita mengenal “avatar” menguasai “air”, “tanah, “pasir (tanah), “api”, “udara” (angin), ?

Membicarakan “tanah”, “air”, “udara”, dan “api” tidak dapat dilepaskan dari individu, habitat, ekosistem dan spesies. Faktor-faktor lain seperti tektonik, vulkanik dan geomorfolis kemudian menghasilkan “individu” nusantara sebagai komunitas ekologis pengetahuan.

Memandang manusia nusantara tidak dapat dilepaskan bagaimana relasi manusia memperlakukan dirinya sendiri, relasi manusia dengan manusia, relasi manusia dengan alam dan metafisika.

Narasi “memperlakukan dirinya sendiri” dikenal sebagai “perlakuan dirinya” untuk membatasi dirinya agar tidak rakus terhadap “kekayaan alam’. Dwi Nanto (Walhi Jambi) bercerita bagaimana kisah jambu air didepan kantor Walhi Bengkulu. Setiap hari anak-anak kecil memanjat pohon jambu air dan memakannya. Adanya pembagian kerja (anak-anak lelaki yang memanjat. Anak perempuan yang mengumpulkannya, membagikan secara merata).

Namun kisah ini kemudian mulai menemukan masalah. Ketika ada anak yang mulai “memanjat jambu air” dengan membawa kantong plastic dan kemudian “menjualnya”. Dan dilakukan terus menerus bahkan hingga membawa kantong plastic lebih besar,  maka pohon jambu air kemudian “merajuk’. Pohon jambu air kemudian “tidak berbuah lagi’.

Kisah ini kemudian mengajarkan, bagaimana manusia memperlakukan alam harus “Diatur’ untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Tidak dibenarkan untuk “menguasai” apalagi digunakan untuk kebutuhan pasar. Dwi Nanto menggunakan istilah “untuk kapitasme”.

Relasi manusia nusantara terhadap alam juga dipengaruhi metafisika. Berbagai sistem kalender ditentukan berdasarkan Bulan, bintang dan matahari. Bukankah kita mengenal seperti “matahari” hidup dan “matahari mati” sebagai penanda arah mata angin ?

Di Muko-muko, saya mendengar bagaimana “ikan” yang hidup justru dipengaruhi oleh arah matahari (matahari hidup dan matahari mati). Air yang menuju ke arah matahari mati (arah barat) dikenal sebagai “ikan sungai” seperti ikan “selemak”, ikan batok dan ikan gabus ”. Sedangkan “arah matahari hidup” ditandai dengan “ikan lais, ikan baung dan ikan toman”.

Arah “angin” juga dikenal dalam pelayaran pada abad pertengahan. Catatan Endjat Djaenuderajat dalam bukunya “Atlas Pelabuhan-pelabuhan Bersejarah di Indonesia” menyebutkan “angin mati” dan “angin hidup”. Angin hidup adalah angin dari timur ke barat. Sedangkan “angin mati” sebaliknya.

“Angin hidup adalah pelayaran dari Indonesia ke Tiongkok, India,Persia dan Ottaman Turki . Mereka membawa membawa rempah-rempah, emas dan hasil bumi lainnya. Sedangkan “angin mati” adalah pelayaran membawa tekstil, mesiu, sutera dan keramik.

Catatan lain juga menyebutkan “negeri diatas matahari” dan “negeri dibawah matahari. “Negeri diatas matahari’ dikenal sebagai “negara timur”. Sedangkan “negeri dibawah matahari” dikenal sebagai “Tiongkok, India, Persia dan Ottaman.

Cara pandang terhadap alam juga ditandai dengan “penanggalan” yang dikenal sebagai “kalender”. Dengan mengetahui “kalender”, maka dikenal “musim beumo”. Waktu “turun padi’.

Di Bengkulu dikenal “sri bumi”. Di Jambi dikenal “dukun padi” dalam prosesi seperti “setawar sedingin, “beras merah, beras putih (Desa Sogo, Muara Jambi, Jambi)”. Merekalah yang “menentukan” kapan memulai untuk beumo.   

Cara memandang bintang dikenal juga sebagai tanda “prosesi”. Istilah seperti “puncak rebung”, “Sepenggala”, “jatuh tengkuluk”, Singsing ari”, “berkijab” adalah “penanda “letak bintang 3”. Bintang 3 adalah “penanda letak” bintang tiga dalam pandangan mata.

Puncak rebung adalah melihat tanda dari puncak rebung (bamboo). Sedangkan naik sedikit dikenal sebagai penampakkan bintang 3 setinggi Sepenggala (galah. Kayu seukuran 1,8 meter). Sedangkan “jatuh tengkuluk” adalah penanda letak “bintang 3” dengan cara mendongakkan kepala. Tengkuluk dikenal sebagai penutup kepala. (agak berbeda dengan penjelasan Zenzi.  Tengkuluk juga dipakai oleh lelaki. Sedangkan di Jambi, tengkuluk dipakai kaum perempuan). Sehingga “jatuh tengkuluk”, dengan cara menggerakkan kepala dengna mendongakkan kepala. Sehingga “penampakkan” bintang 3 adalah letak bintang 3.

Istilah “sinsing Ari” adalah “penampakkan bintang 3 menjelang jatuhnya bintang 3. “Sinsing ari’ adalah “menyingsing hari”. Artinya mau memasuki pagi hari. Atau bisa juga diibaratkan menjelang matahari terbit. Atau arah timur.

Prosesi yang cukup lama adalah proses dari “Sepenggala” dengan “jatuh tengkuluk”. Begitu juga waktu antara “jatuh tengkuluk” dengan “sinsing ari”.


Cara pandang filsafat Barat dan Filsafat Timur juga menghasilkan cara berbeda terhadap alam. Masyarakat Barat yang mengagungkan “ilmu pengetahuan” kemudian melakukan “rekayasa alam”. Istilah seperti “Titik muka air tanah” atau “manajemen air” adalah ilmu pengetahuan yang “merekayasa alam’ untuk mengelola gambut.

Sedangkan masyarakat Timur justru “menempatkan” alam sebagai sumber pengetahuan utama. Sehingga cara pandang kemudian menempatkan sebagai “adaptasi” terhadap alam. Maka manusia nusantara di peradaban gambut tidak membenarkan “mengelola” gambut yang tidak dikonversi menjadi lahan perkebunan. Sehingga “rekayasa” gambut tidak dibenarkan.

Selain itu, pertarungan Filsafat Barat dan “Filsafat Timur’ yang didalam memandang alam (pertarungan antara “rekayasa alam” dengan “adaptasi alam), juga dikembangkan “menghancurkan” narasi pengetahuan masyarakat Nusantara.

Secara lugas, Zenzi memaparkan bagaimana “upaya” negara untuk menghancurkan narasi pengetahuan nusantara dalam issu kebakaran.

Dengan “lugas’, negara kemudian “mempersoalkan” cara membakar (di Jambi dikenal merun) masyarakat nusantara.

Negara kemudian “menuduh” cara membakar masyarakat nusantara sebagai “biang” penyebab kebakaran. Kebakaran yang menyebabkan asap dan kemudian mengekspor ke negara tetangga (Singapura, Malaysia).

Padahal selain diatur didalam Pasal 69 ayat 2 UU Lingkungan Hidup yang tegas menyebutkan “kearifan local” sebagai bentuk pengecualian dari cara membakar.

Narasi pengetahuan masyarakat nusantara telah mengatur tempat-tempat yang tidak boleh dibuka (rawang, lebak lebung, payo, soak, bento, lopak) sehingga tidak boleh dikonversi. Dijadikan lahan pertanian maupun lahan perkebunan. Areal ini hanya digunakan sebagai “akses” (untuk mengambil ikan dan air).

Areal ini dikenal sebagai kawasan lindung (yang ditandai dengan penanda seperti “2-3 mato cangkul, ujung Mandau, akar bekait. Pakis dan jelutung, kumpai berbulu).

Sedangkan yang digunakan untuk pertanian (peumoan, umo genah/genah umo) justru bukan ditempat yang sering terjadinya kebakaran. Selain itu prosesi “merun” adalah kegiatan panjang.

Bukankah dari dulu nenek moyang masyarakat nusantara telah “membakar’  dan tidak pernah menyebabkan “mengekspor” asap dinegeri tetangga.

Bandingkan “upaya’ rekayasa alam dengan “membongkar” areal lindung gambut (rawang, lebak lebung, payo, soak, bento, lopak) dengan cara “membangun kanal, mengiris-iris gambut sehingga kemudian dijadikan areal produksi (sawit dan HTI). Bukankah “titik api” justru berada disini ? Bukan diareal pertanian masyarakat (peumoan, umo genah/genah umo).

Narasi pengetahuan masyarakat nusantara memang dihancurkan. Sehingga narasi pengetahuan “dianggap’ tidak mampu lagi membaca tanda-tanda alam.

Bukankah menghancurkan “narasi pengetahuan masyarakat nusantara justru akan “mencabut peradaban” masyarakat nusantara. Sehingga dengan “menghancurkan” peradaban nusantara justru akan menghancurkan masyarakat nusantara itu sendiri.