Ketika
Nadiem Makarim memasuki “istana” dan kemudian “disorot” media, hati saya “terpekik”.
Gembira melihat “anak milenial” kemudian memasuki dunia pendidikan. Dunia yang
mengatur hak mendasar kepada rakyat. Namun masih menyisakan problema yang mendasar.
Selain “mutu pendidikan” nasional yang jauh dibawah rata-rata, tingkat
penyerapan tenaga kerja juga kurang mendukung.
Rasa
“terpekik” didasarkan bagaimana “gojek” mampu menggulung Blue bird, armada
raksasa berciri biru yang menguasai jalanan Jakarta 20 tahun terakhir.
Masih
ingat ketika bluebird kemudian “mengamuk” di Jakarta. Tingkat penumpang menurun
drastic. Angka-angka kerugian mengancam mereka.
Mereka
kemudian “demo” dan meminta agar “ojek online” harus diperlakukan sama dengan
armada umum. Termasuk bluebird.
Tapi
apakah mereka berhasil ?
Tidak.
Mereka
malah “menyesuaikan” zaman. Dunia yang terus berputar yang menghendaki “pelayanan
maksimal”, “harga terjangkau”, dan kepastian tingkat pelayanan”.
Bluebird
kemudian menyerah. Mereka kemudian dimasukkan kedalam aplikasi “gojek’ yang
kemudian kita kenal sebagai “go bluebird”. Mereka menyerah dengan keadaan.
Gojek
kemudian menjadi “raksasa”. Mereka yang semula adalah Starcorn (1 milyar $US)
menjadi Decarorn (10 milyar $US). Perusahaan pertama yang meraih di Indonesia.
Kemudian disusul travelloka, “bukalapak”, tokopedia dan OVO.
Sebagai
Decacorn dengan nilai 10 milyar $US, angka ini jauh melebihi APBN DKI yang
terkaya yang cuma berkisar 80 trilyun rupiah. Sehingga “ditangan dingin”,
Nadiem Makarim tidak boleh diremehkan sebagai pemain “karbitan”.
Memasuki
“dunia milenial” yang juga “diplesetkan” dunia Z, dunia yang tidak mengenal
batas.
Bukankah
kita bisa menyaksikan “siaran sepakbola” dunia, “sedetik” live dari tempat
diberbagai dunia. Bukankah kita bisa mengetahui bagaimana “live” dari berbagai
tempat kejadian. Entah perang, “hoax”, peristiwa penting. Bahkan disaat
bersamaan, kita bisa duduk manis sembari makan goreng pisang dirumah sambil
memegang remote tv. Dunia yang tidak akan “belas kasih” terhadap perputaran
zaman. Dunia yang terus menghukum siapapun yang “tidak mau” mengejar langkah
cepat dunia.
Pemikiran
itulah yang paling mendasari ketika Jokowi memilih Nadiem Makarim ditempatkan
sebagai “Menteri Pendidikan”. Salah satu bidang yang “biasanya” dikuasai oleh
akademisi. Ataupun “jatah” dari kelompok tertentu.
Penerimaan
Nadiem Makarim beragam.
Sebagai
“bagian” penyaksi dari demo bluebird yang kemudian “ditumbangkan” oleh Gojek,
saya merasakan betul bagaimana “dunia pendidikan” harus dikemas dengan
cara-cara modern. Tidak cukup dengan gaya “klasik” seperti “kurikulum” yang
berat, guru yang tidak merata, database yang tidak singkron.
Yang
paling menyedihkan, para tamatan pendidikan “justru” sulit diterapkan dengan
pasar. Selain memang, pendidikan tidak diorientasikan untuk “mengasah
keterampilan”, pendidikan cuma menghasilkan “penghapal’. Bukan “pencipta’.
Pasar kemudian hanya menerima generasi yang “kreatif”, inovatif, berfikir
modern.
Namun
penerimaan yang paling menyakitkan dan masih hinggap dikalangan kelas menengah
di Indonesia adalah “apakah Menteri Pendidikan” yang cuma tamatan S2 akan
menandatangani SK pengangkatan Guru besar atau Rektor ?
Waduh.
Saya kaget. Bagaimana “pola pikir” itu masih hinggap dikepala kelas menengah.
Pola
pikir dan paradigma kelas menengah di Indonesia memang lucu. Bukankah mereka
juga pernah menerima SK dari Kepala Daerah yang kadangkala pendidikannya malah
cuma S1. Baik sebagai tenaga ahli ataupun tim riset di daerahnya.
Ataupun
bukankah mereka pernah bekerja sama dengan perusahaan yang Direkturnya juga “paling-paling”
S2.
Kemajuan
zaman adalah keniscayaan. Teman-teman jurnalis pernah membisikkan kepada saya.
Bagaimana dunia online kemudian “menggulung” media mainstream. Berbagai media
cetak “berguguran”. Hilang dengan putaran zaman.
Anak
sekarang “hanya” memegang HP. Mereka menguasai dunia. Mereka menguasai
informasi.
Mereka
sambil bercerita memegang HP sembari “membetulkan” informasi ataupuan diskusi
kita dengan “informasi” yang ada di dunia maya.
Mereka
bisa “pelesir” keujung dunia tanpa harus “ribet” ke travel perjalanan. Membeli tiket sembari “menghabiskan”
waktu percuma untuk mendatanginya.
Mereka
tidak perlu antri di Bank untuk memasukkan gaji mereka, mengambil uang di ATM.
Semuanya “selesai” dalam satu aplikasi.
Mereka
tidak perlu lagi ke counter HP untuk membeli pulsa. Ataupun mereka tidak perlu
lagi “antri” untuk membeli makanan.
Bahkan
gerai-gerai seperti Hypermart, Matahari, Seven Eleven, mulai tumbang. Sepi
dikunjungi pengunjung. Anak muda cukup menggunakan “aplikasi” tidak perlu lagi
berdesak-desakkan hanya untuk membeli berbagai keperluan. Semuanya selesai
dengan aplikasi.
Putra
terkecilku mempunyai kemampuan membuat video documenter, memberikan variasi dan
kemudian dengan enteng mempublish ke IG atau youtube. Cukup dengan satu
fasilitas.
Sebuah
dunia yang tidak pernah kupikirkan ketika aku belajar “mengedit” video”
berhari-hari, memasukkan narasi dan
kemudian menjadikan dokumen video.
Cara
pandang ini “gagal” dilihat oleh “kaum tua”. Kaum yang masih percaya dengan
slogan “ada uang, ada barang”. Dunia berputar begitu cepat.
Lalu
ketika “aplikasi” yang hendak ditawarkan oleh Nadiem Makarim sebagai Produk
unggulan sehingga akan “mematikan karakter” dan “kejujuran” ?
Pertanyaan
ini lagi-lagi “sungguh-sungguh” mengganggu saya.
Sebagai
sebuah “produk” unggulan, justru “trust” menempati rangking pertama. Bagaimana “sebuah
produk”unggulan ketika tidak menawarkan “kejujuran” ?
Saya
termasuk pencinta satu produk. Entah sepeda motor, merk kendaraan, merek HP dan
berbagai barang lainnya. Selain kualitas yang ditawarkan, so pasti juga
pelayanan. Namun kesemunya akan diakhiri dengan “trust”. Sebuah harga yang
mahal untuk memastikan pembelian barang.
Bukankah
“konsumen” sangat kejam terhadap sebuah produk. Masih ingat ketika aplikasi
jualan online yang kemudian “ambruk” ketika pemiliknya justru “memposting”
analisa yang keliru tentang trend produk kedepan. Bukankah kita masih ingat,
ketika media nasional yang kemudian “meraung” ketika aplikasinya “terjun bebas”.
Sehingga
menempatkan “aplikasi” sebagai “ancaman” tergerusnya “trust” adalah paradigma yang
naif dan justru akan “mendangkalkan kita”.
Apakah
“aplikasi” kemudian akan menghilangkan “karakter” sebagai bangsa Indonesia.
Saya
kemudian “tersentak”. Justru dengan aplikasi yang ditawarkan akan membangun
karakter bangsa Indonesia yang kuat.
Nilai-nilai
kejujuran, transparansi dan pertanggungjawaban public justru lahir dari
aplikasi. Bukankah masih ingat ketika program aplikasi “Qlue” yang ditawarkan
oleh Pemda DKI ternyata justru malah membuat partisipasi masyarakat terhadap
anti korupsi begitu tinggi. Justru “pelayanan” public semakin baik ketika “control”
masyarakat terhadap pelayanan public dilakukan.
Selain
itu, berbagai posting IG justru menampilkan “keindahan”, “rasa kemanusiaan”,
solidaritas terhadap sesama manusia, “produk-produk “unggulan” Desa, inovasi
karya-karya anak bangsa hingga berbagai “kekhasan” Indonesia diposting oleh
kaum milenial.
Bukankah
kemajuan Desa Ponggok , Madiun (Jatim) yang mampu menghasilkan PAD hingga 10 milyar/tahun justru “dipromosikan” oleh
Menkeu. Dengan “kesengsem”, Menkeu justru mendatangi Kades untuk “selfie”.
Dengan
demikian, menempatkan “aplikasi” yang akan “meminggirkan” trust dan
menghilangkan karakter bangsa Indonesia justru dijawab kaum milenial dengan
karya-karya yang sebaliknya. Kaum milenial “justru” menjadi “agen” promosi
terhadap nilai-nilai sebagai bangsa Indonesia.