26 Oktober 2019

opini musri nauli : Nadiem Makarim - Menteri Milenial



Ketika Nadiem Makarim memasuki “istana” dan kemudian “disorot” media, hati saya “terpekik”. Gembira melihat “anak milenial” kemudian memasuki dunia pendidikan. Dunia yang mengatur hak mendasar kepada rakyat. Namun masih menyisakan problema yang mendasar. Selain “mutu pendidikan” nasional yang jauh dibawah rata-rata, tingkat penyerapan tenaga kerja juga kurang mendukung.
Rasa “terpekik” didasarkan bagaimana “gojek” mampu menggulung Blue bird, armada raksasa berciri biru yang menguasai jalanan Jakarta 20 tahun terakhir.

Masih ingat ketika bluebird kemudian “mengamuk” di Jakarta. Tingkat penumpang menurun drastic. Angka-angka kerugian mengancam mereka.

Mereka kemudian “demo” dan meminta agar “ojek online” harus diperlakukan sama dengan armada umum. Termasuk bluebird.

Tapi apakah mereka berhasil ?

Tidak.

Mereka malah “menyesuaikan” zaman. Dunia yang terus berputar yang menghendaki “pelayanan maksimal”, “harga terjangkau”, dan kepastian tingkat pelayanan”.

Bluebird kemudian menyerah. Mereka kemudian dimasukkan kedalam aplikasi “gojek’ yang kemudian kita kenal sebagai “go bluebird”. Mereka menyerah dengan keadaan.

Gojek kemudian menjadi “raksasa”. Mereka yang semula adalah Starcorn (1 milyar $US) menjadi Decarorn (10 milyar $US). Perusahaan pertama yang meraih di Indonesia. Kemudian disusul travelloka, “bukalapak”, tokopedia dan OVO.

Sebagai Decacorn dengan nilai 10 milyar $US, angka ini jauh melebihi APBN DKI yang terkaya yang cuma berkisar 80 trilyun rupiah. Sehingga “ditangan dingin”, Nadiem Makarim tidak boleh diremehkan sebagai pemain “karbitan”.

Memasuki “dunia milenial” yang juga “diplesetkan” dunia Z, dunia yang tidak mengenal batas.

Bukankah kita bisa menyaksikan “siaran sepakbola” dunia, “sedetik” live dari tempat diberbagai dunia. Bukankah kita bisa mengetahui bagaimana “live” dari berbagai tempat kejadian. Entah perang, “hoax”, peristiwa penting. Bahkan disaat bersamaan, kita bisa duduk manis sembari makan goreng pisang dirumah sambil memegang remote tv. Dunia yang tidak akan “belas kasih” terhadap perputaran zaman. Dunia yang terus menghukum siapapun yang “tidak mau” mengejar langkah cepat dunia.

Pemikiran itulah yang paling mendasari ketika Jokowi memilih Nadiem Makarim ditempatkan sebagai “Menteri Pendidikan”. Salah satu bidang yang “biasanya” dikuasai oleh akademisi. Ataupun “jatah” dari kelompok tertentu.

Penerimaan Nadiem Makarim beragam.

Sebagai “bagian” penyaksi dari demo bluebird yang kemudian “ditumbangkan” oleh Gojek, saya merasakan betul bagaimana “dunia pendidikan” harus dikemas dengan cara-cara modern. Tidak cukup dengan gaya “klasik” seperti “kurikulum” yang berat, guru yang tidak merata, database yang tidak singkron.

Yang paling menyedihkan, para tamatan pendidikan “justru” sulit diterapkan dengan pasar. Selain memang, pendidikan tidak diorientasikan untuk “mengasah keterampilan”, pendidikan cuma menghasilkan “penghapal’. Bukan “pencipta’. Pasar kemudian hanya menerima generasi yang “kreatif”, inovatif, berfikir modern.

Namun penerimaan yang paling menyakitkan dan masih hinggap dikalangan kelas menengah di Indonesia adalah “apakah Menteri Pendidikan” yang cuma tamatan S2 akan menandatangani SK pengangkatan Guru besar atau Rektor ?

Waduh. Saya kaget. Bagaimana “pola pikir” itu masih hinggap dikepala kelas menengah.

Pola pikir dan paradigma kelas menengah di Indonesia memang lucu. Bukankah mereka juga pernah menerima SK dari Kepala Daerah yang kadangkala pendidikannya malah cuma S1. Baik sebagai tenaga ahli ataupun tim riset di daerahnya.

Ataupun bukankah mereka pernah bekerja sama dengan perusahaan yang Direkturnya juga “paling-paling” S2.

Kemajuan zaman adalah keniscayaan. Teman-teman jurnalis pernah membisikkan kepada saya. Bagaimana dunia online kemudian “menggulung” media mainstream. Berbagai media cetak “berguguran”. Hilang dengan putaran zaman.

Anak sekarang “hanya” memegang HP. Mereka menguasai dunia. Mereka menguasai informasi.

Mereka sambil bercerita memegang HP sembari “membetulkan” informasi ataupuan diskusi kita dengan “informasi” yang ada di dunia maya.

Mereka bisa “pelesir” keujung dunia tanpa harus “ribet” ke  travel perjalanan. Membeli tiket sembari “menghabiskan” waktu percuma untuk mendatanginya.  

Mereka tidak perlu antri di Bank untuk memasukkan gaji mereka, mengambil uang di ATM. Semuanya “selesai” dalam satu aplikasi.

Mereka tidak perlu lagi ke counter HP untuk membeli pulsa. Ataupun mereka tidak perlu lagi “antri” untuk membeli makanan.

Bahkan gerai-gerai seperti Hypermart, Matahari, Seven Eleven, mulai tumbang. Sepi dikunjungi pengunjung. Anak muda cukup menggunakan “aplikasi” tidak perlu lagi berdesak-desakkan hanya untuk membeli berbagai keperluan. Semuanya selesai dengan aplikasi.

Putra terkecilku mempunyai kemampuan membuat video documenter, memberikan variasi dan kemudian dengan enteng mempublish ke IG atau youtube. Cukup dengan satu fasilitas.

Sebuah dunia yang tidak pernah kupikirkan ketika aku belajar “mengedit” video” berhari-hari, memasukkan narasi  dan kemudian menjadikan dokumen video.

Cara pandang ini “gagal” dilihat oleh “kaum tua”. Kaum yang masih percaya dengan slogan “ada uang, ada barang”. Dunia berputar begitu cepat.

Lalu ketika “aplikasi” yang hendak ditawarkan oleh Nadiem Makarim sebagai Produk unggulan sehingga akan “mematikan karakter” dan “kejujuran” ?

Pertanyaan ini lagi-lagi “sungguh-sungguh” mengganggu saya.

Sebagai sebuah “produk” unggulan, justru “trust” menempati rangking pertama. Bagaimana “sebuah produk”unggulan ketika tidak menawarkan “kejujuran” ?

Saya termasuk pencinta satu produk. Entah sepeda motor, merk kendaraan, merek HP dan berbagai barang lainnya. Selain kualitas yang ditawarkan, so pasti juga pelayanan. Namun kesemunya akan diakhiri dengan “trust”. Sebuah harga yang mahal untuk memastikan pembelian barang.

Bukankah “konsumen” sangat kejam terhadap sebuah produk. Masih ingat ketika aplikasi jualan online yang kemudian “ambruk” ketika pemiliknya justru “memposting” analisa yang keliru tentang trend produk kedepan. Bukankah kita masih ingat, ketika media nasional yang kemudian “meraung” ketika aplikasinya “terjun bebas”.

Sehingga menempatkan “aplikasi” sebagai “ancaman” tergerusnya “trust” adalah paradigma yang naif dan justru akan “mendangkalkan kita”.

Apakah “aplikasi” kemudian akan menghilangkan “karakter” sebagai bangsa Indonesia.

Saya kemudian “tersentak”. Justru dengan aplikasi yang ditawarkan akan membangun karakter bangsa Indonesia yang kuat.

Nilai-nilai kejujuran, transparansi dan pertanggungjawaban public justru lahir dari aplikasi. Bukankah masih ingat ketika program aplikasi “Qlue” yang ditawarkan oleh Pemda DKI ternyata justru malah membuat partisipasi masyarakat terhadap anti korupsi begitu tinggi. Justru “pelayanan” public semakin baik ketika “control” masyarakat terhadap pelayanan public dilakukan.

Selain itu, berbagai posting IG justru menampilkan “keindahan”, “rasa kemanusiaan”, solidaritas terhadap sesama manusia, “produk-produk “unggulan” Desa, inovasi karya-karya anak bangsa hingga berbagai “kekhasan” Indonesia diposting oleh kaum milenial.

Bukankah kemajuan Desa Ponggok , Madiun (Jatim) yang mampu menghasilkan PAD hingga 10  milyar/tahun justru “dipromosikan” oleh Menkeu. Dengan “kesengsem”, Menkeu justru mendatangi Kades untuk “selfie”.

Dengan demikian, menempatkan “aplikasi” yang akan “meminggirkan” trust dan menghilangkan karakter bangsa Indonesia justru dijawab kaum milenial dengan karya-karya yang sebaliknya. Kaum milenial “justru” menjadi “agen” promosi terhadap nilai-nilai sebagai bangsa Indonesia.