Ketika
aku mendapatkan kabar meninggalnya M. Saman (Saman), ingatanku langsung
terbayang ketika memulai demonstrasi dikampus. Menolak “militerisme” di kampus.
Teringat
ketika awal-awal menjelang kejatuhan Orde baru, kami “berkumpul” di kost di
Telanaipura (kost Saman dengan Agus Suyatno) untuk “merancang” demonstrasi di
UNJA Mendalo.
Isu
yang paling hangat adalah menolak “militerisme” dikampus. Tema yang “cukup sensitive”
dimana Orde baru begitu kuat.
Demonstrasipun
terjadi. Hingga akhirnya, kampus menerapkan “tidak dibenarkan” militerisme “cawe-cawe”
untuk “urusan kampus.
Sayapun
hanya mengetahui, Saman kemudian menjadi orang “penting” dikampus UNJA. Sejak
itu komunikasipun terputus.
Tidak
lama kemudian ketika lahir Jambi Ekspress (Group Jawa Post News Network),
kuketahui Saman kemudian menjadi jurnalis. Sebuah “karir” yang kemudian membuat
dia cemerlang.
Saman
salah satu orang yang “sering” saya kirimi Disket (model penyimpanan) untuk opini
dimuat Jambi Ekspress.
Karir
yang cemerlang kemudian menghantarkan dia menjadi General Manager Jek TV
(Televisi Jambi).
Berbagai
acara “live” tema-tema politik, diskusi hangat sering diadakan. Entah menjelang
pilkada, tema tentang issu actual dan berbagai tema yang menarik perhatian public
Jambi.
Disela-sela
kegiatan, Saman menceritakan tentang gagasan jurnalis independent, mimpinya
agar “kecerdasan” rakyat Jambi didalam menangkap peristiwa, menyajikan
peristiwa dibalik berita, hingga tema-tema yang melakukan control public terhadap
kebijakan negara.
Disela-sela
itulah, saya merasakan “aura’ perlawanan terhadap “ketidakadilan” terhadap
pelayanan publik, berbagai cerita “misteri” terhadap peristiwa penting hingga
cerita tentang peristiwa-peristiwa politik. Peristiwa yang tidak mungkin
disajikan kedalam media konvensional.
Sayapun
menangkap gagasannya. Sehingga “teman” sebelum 1998, masih dirasakan sebagai “bentuk
hubungan emosional” sebagai bagian dari gerakan 98.
Ketika
dia mengikuti “pertarungan” menjadi Ketua PWI, saya menangkap “aura”
perlawanan. Televisi yang memuat “para kandidat” meyakini saya. Bagaimana Saman
begitu menguasai materi. Sehingga ketika terpilih menjadi Ketua PWI Jambi, saya
salah satu orang “dihubungi” agar dapat memberikan dukungan kepadanya.
Sehingga
saya salah satu orang beruntung mengenalnya. Dimulai dari mahasiswa, menjadi
jurnalis Jambi Ekspress, menjadi General manager Jek TV bahkan hingga menjadi
Ketua PWI. Sebuah hubungan persahabatan yang panjang.
Mendengar
dia meninggalkan kita disaat usia produktif, saya hanya berguman. “Selamat jalan, sobat’. Hidup berarti mengisi
putaran zaman.
Dan
saya menjadi penyaksi. Saman adalah pejuang yang konsisten.
“Sekali lagi, selamat jalan sobat. Hidup
sungguh-sungguh berarti”.