30 Oktober 2019

opini Musri Nauli : M. Saman - Pejuang Yang Konsisten


Ketika aku mendapatkan kabar meninggalnya M. Saman (Saman), ingatanku langsung terbayang ketika memulai demonstrasi dikampus. Menolak “militerisme” di kampus.

Teringat ketika awal-awal menjelang kejatuhan Orde baru, kami “berkumpul” di kost di Telanaipura (kost Saman dengan Agus Suyatno) untuk “merancang” demonstrasi di UNJA Mendalo.

Isu yang paling hangat adalah menolak “militerisme” dikampus. Tema yang “cukup sensitive” dimana Orde baru begitu kuat.

Demonstrasipun terjadi. Hingga akhirnya, kampus menerapkan “tidak dibenarkan” militerisme “cawe-cawe” untuk “urusan kampus.

Sayapun hanya mengetahui, Saman kemudian menjadi orang “penting” dikampus UNJA. Sejak itu komunikasipun terputus.

Tidak lama kemudian ketika lahir Jambi Ekspress (Group Jawa Post News Network), kuketahui Saman kemudian menjadi jurnalis. Sebuah “karir” yang kemudian membuat dia cemerlang.

Saman salah satu orang yang “sering” saya kirimi Disket (model penyimpanan) untuk opini dimuat Jambi Ekspress.

Karir yang cemerlang kemudian menghantarkan dia menjadi General Manager Jek TV (Televisi Jambi).

Berbagai acara “live” tema-tema politik, diskusi hangat sering diadakan. Entah menjelang pilkada, tema tentang issu actual dan berbagai tema yang menarik perhatian public Jambi.

Disela-sela kegiatan, Saman menceritakan tentang gagasan jurnalis independent, mimpinya agar “kecerdasan” rakyat Jambi didalam menangkap peristiwa, menyajikan peristiwa dibalik berita, hingga tema-tema yang melakukan control public terhadap kebijakan negara.

Disela-sela itulah, saya merasakan “aura’ perlawanan terhadap “ketidakadilan” terhadap pelayanan publik, berbagai cerita “misteri” terhadap peristiwa penting hingga cerita tentang peristiwa-peristiwa politik. Peristiwa yang tidak mungkin disajikan kedalam media konvensional.

Sayapun menangkap gagasannya. Sehingga “teman” sebelum 1998, masih dirasakan sebagai “bentuk hubungan emosional” sebagai bagian dari gerakan 98.

Ketika dia mengikuti “pertarungan” menjadi Ketua PWI, saya menangkap “aura” perlawanan. Televisi yang memuat “para kandidat” meyakini saya. Bagaimana Saman begitu menguasai materi. Sehingga ketika terpilih menjadi Ketua PWI Jambi, saya salah satu orang “dihubungi” agar dapat memberikan dukungan kepadanya.

Sehingga saya salah satu orang beruntung mengenalnya. Dimulai dari mahasiswa, menjadi jurnalis Jambi Ekspress, menjadi General manager Jek TV bahkan hingga menjadi Ketua PWI. Sebuah hubungan persahabatan yang panjang.

Mendengar dia meninggalkan kita disaat usia produktif, saya hanya berguman. “Selamat jalan, sobat’. Hidup berarti mengisi putaran zaman.

Dan saya menjadi penyaksi. Saman adalah pejuang yang konsisten.

Sekali lagi, selamat jalan sobat. Hidup sungguh-sungguh berarti”.