Akhir-akhir
ini, pertarungan pemikiran didalam memandang alam memantik polemik panjang.
Satu sisi, pemikiran yang menempatkan “alam’ adalah ciptaan dari Sang Pencipta.
Ciptaan kepada manusia. Pemikiran ini dikenal sebagai “antrosentris”.
Disisi
lain, adanya analisis lingkungan yang kemudian menempatkan alam harus
ditempatkan sesuai dengan fungsinya. Baik dari pendekatan lingkungan,
pentingnya lingkungan hidup maupun berbagai aspek-aspek lingkungna lainnya.
Pemikiran ini kemudian dikenal sebagai “bio-sentris’.
Kedua
pemikiran ini kemudian “bertarung” dan kemudian menguasai wacana public didalam
memandang alam.
Cara pandang ini kemudian ditentang
dalam aliran biosentrisme. Bagi biosentrisme Manusia tidak boleh hanya
dipandang sebagai makhluk sosial ansich (zoon politicon). Manusia juga harus
dipandang sebagai makhluk biologis. Dengan menempatkan manusia sebagai makhluk
biologis, maka aliran ini kemudian menempatkan manusia sebagai nilai universal
sebagai jaringan kehidupan. Bagian dari siklus ekosistem.
Fritjof Capra (Capra), seorang
Filsuf dengan teropongnya kemudian memotret pemikiran dan perilaku manusia yang
memandang alam. Capra kemudian “menggugat” paradigma yang sering dipergunakan
oleh ilmu pengetahuan barat yang berangkat dari Cartesian
Mekanistis-reduksionistis. Manusia kemudian tidak memberikan tempat yang
seharusnya bagi perasaan atau intuisi manusia didalam memahami alam semesta.
Capra kemudian menggunakan kerangka
berfikir Thomas Kuhn mengenai filsafat tentang alam dan filsafat ilmu
pengetahuan telah mengalami dua fase sepanjang sejarah filsafat dan ilmu
pengetahuan.
Cara berfikir yang berangkat baik Aristotelian
maupun Thomas Kuhn menempatkan pemisahan antara “mikro-kosmos” dan “makro-kosmos”.
Makro-kosmos juga sering menggunakan istilah “misteri alam yang tidak
terpecahkan.
Sedangkan cara pandang Capra justru “melompat
jauh”. Manusia adalah kesatuan dengan alam. Alam kosmopolitan menempatkan
manusia adalah bagian dari alam.
Filsafat Tiongkok menyebutkan “tian he yan
zai. Si shi xing yan. Bai wu sheng yan. Tian he yan zai. (Apakah Tuhan pernah
bicara ? Lihat saja. Empat musim selalu berlangsung silih berganti. Semua ciptaannya
hidup berkembang bebas. Apakah Tuhan pernah bicara ?”
Atau “wei tian ming” (menghormati
takdir Tuhan).
Makna selaras dengan alam ditandai
dengan “Bangau” dan “burung gagak”.
Islam sendiri menempatkan “Al-awalin”
(alam)” sebagai tanda” dari ciptaan-Nya (Ibnu Katsir). Sehingga hubungan antara
“alam” sebagai tanda dari ciptaan-Nya dengan Sang Pencipta (khalik) adalah
dengan cara menghargai ciptaan-Nya untuk mengenal Sang Khalik.
Sehingga manusia adalah bagian dari cosmopolitan.
Makna yang kemudian tidak dapat dipisahkan antara mikro-kosmos dan
makro-kosmos.
Dengan demikian maka cara berfikir
timur kemudian menempatkan “keserasian” dan keseimbangan”.
Makna “keserasian” atau “kerukunan”
juga hidup dipemikiran masyarakat Jawa. Makna seperti “rukun” sering dituturkan
“negara ingkang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata
tenteram tur rajaharja”. Negara yang terkenal, banyak dibicarakan orang, tinggi
marbabatnya, luhur budinya dan amat berwibawa.
Dalam serat Negarakertagama Mpu
Prapanca, mitologi “rukun” adalah “masihi samasta bhuwana”.
Berbuat dan mengasihi sesama. Manifestasinya diwujudkan “memayu hayuning
bawana”. Harus menjaga ketentraman, kesejahteraaan dan keseimbangan dunia.
Makna keserasian” atau “kerukunan” atau
“rukun” inilah yang kemudian dalam paradigma tentang alam sering disebut
sebagai “Ecosentris”. Dimana alam adalah “pusat” dari alam cosmopolitan.
Lompatan besar dipemikiran barat.
Namun praktek yang sudah lama dilakukan dalam alam pemikiran Timur.
Lalu ? Siapakah yang bijaksana
mengelola alam ?
Baca : CAPRA BERCERITA UNTUK BANGKO