Ditengah
asap yang kian pekat, kebakaran yang semakin sulit ditanggulangi, tiba-tiba
umur UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UU LH) memasuki satu dasawarsa. Usia matang untuk menentukan arah dan desain
model pengelolaan Lingkungan Hidup Indonesia.
Satu
dasawarsa juga kemudian “gagap” memaknai UU LH. Gagap yang kemudian menempatkan
“kegagalan” memahami hakekat dari UU LH.
Dalam
perjalanan satu dasawarsa, penulis kemudian mencatat beberapa “kegagapan”
memaknai UU LH. Catatan ini menunjukkan, paradigma “keliru” didalam memaknai UU
LH menyebabkan “seakan-akan” menimbulkan konflik norma (norm conflict). Padahal
apabila ditelaah lebih jauh, paradigma yang keliru menempatkan UU LH belum
diterapkan secara maksimal.
Pertama.
Menilik
UU No. 32 Tahun 2009, maka Makna pasal 44 dan penjelasan umum angka (5) UU No.
32 Tahun 2009. UU Lingkungan Hidup kemudian mengamanatkan sebagai UU Payungdidalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga seluruh UU yang
berkaitan dengan sumber daya alam kemudian harus memperhatikan ketentuan
didalam UU No. 32 Tahun 2009. Makna ini kemudian dipertegas dengan menggunakan
istilah “Ketentuan Lingkungan Hidup
strategis” didalam UU No. 32 Tahun 2009.
Dalam kajian teoritik, UU Payung (umbrella act, umbrella provision, raamwet,
modewet) biasa juga disebut sebagai UU Pokok. UU ini diharapkan menjadi
sandaran atau batu uji sehingga dapat memayungi UU yang berkaitan teknis
daripada UU tersebut. Sehingga kemudian dikenal sebagai UU Payung.
Istilah UU payung menimbulkan
perdebatan. Sebagian ahli menolak penerapan UU Payung. Argumentasinya adalah UU
hanyalah mengikat peraturan yang berkaitan didalam UU itu sendiri. Sehingga
tidak relevan menjadikan UU yang lain sebagai sandaran atau dasar hukum untuk
UU berkaitan itu sendiri.
Selain itu juga, UU Payung dikenal
didalam sistem hukum Negara Anglo saxon yang mendasarkan kepada Yurisprudensi.
Asas ini kemudian tidak sesuai didalam sistem Eropa Kontinental.
Namun sebagian ahli menyetujui
dengan argumentasi dengan adanya UU Payung maka dapat dibangun keserasian atau
keselarasan berbagai peraturan perundang-undangan sehinggga peraturan tidak
menjadi kacau, saling bertentangan antara satu UU dengan UU lain, jalan sendiri
dan mengabaikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Selain itu juga adanya UU payung
memberikan arahan dan pedoman dari setiap persoalan satu issu hukum.
Dalam praktek perundang-undangan
ataupun mekanisme putusan MK, Indonesia sudah menerapkan berbagai peraturan
dengan menempatkan kata “Pokok” sebagai pedoman UU payung ataupun penegasan
didalam pasal-pasal tertentu.
UU No. 5 Tahun 1960 dikenal sebagai
UU Pokok yang berkaitan dengan agraria. Definisi “agraria” sudah jelas. Yang berlaku atas bumi, air dan ruang
angkasa. UU No. 5 Tahun 1960 juga kemudian melahirkan UU No. 20 Tahun 2000
Tentang Bea Perolehan Hak atas tanah dan bangunan.
Atau bisa juga dilihat UU No. 14 tahun 1969 adalah UU Pokok Tentang Tenaga Kerja
yang kemudian dicabut dengan UU No. 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan. UU
No. 25 Tahun 1997 kemudian melahirkan UU No. 21 Tahun 2001 Tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh.
UU
Pokok Kekuasaan Kehakiman juga sebagai UU Pokok berkaitan dengan Kekuasaan
Kehakiman. UU Kepegawaian No. 8 tahun 1974 yang kemudian diubah dengan UU No.
43 Tahun 1999 menempatkan sebagai UU Pokok. UU No. 5 Tahun 1974 yang kemudian
dikenal sebagai UU Pokok Pemerintahan Daerah.
Selain
didalam UU ditegaskan sebagai UU Pokok, UU didalamnya juga bertindak sebagai UU
Payung atau UU Pokok. UU 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional kemudian melahirkan UU No. 9 Tahun 2009
Tentang Badan Hukum Pendidikan. Didalam pasal 8 huruf 13 UU 20 Tahun 2003
kemudian memberikan amanat bentuk Badan Hukum Pendidikan dan melahirkan UU No.
9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan.
Disisi lain, Mahkamah Konstitusi
juga menjadikan berbagai UU Pokok didalam mempertimbangkan permohonan terhadap
UU. Didalam memeriksa perkara No. 11 Tahun 2008 berkaitan dengan UU No. 29
Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, UU No.
32 Tahun 2004 menjadikan batu uji untuk memutuskan perkaranya. Sehingga UU No.
29 Tahun 2009 tetap mendasarkan kepada UU No. 32 Tahun 2004.
Dengan melihat berbagai kenyataan
baik didalam peraturan perundang-undangan maupun didalam putusan MK, maka UU
Payung atau UU Pokok telah mendapatkan tempat. Sehingga menjadi tidak relevan
lagi mempersoalkan UU Payung atau UU Payung dalam sistem hukum
perundang-undangan.
UU Payung atau UU Pokok tidak tepat
disandingkan dengan asas “lex specialis
derogate lex generalis”. UU Payung merupakan UU yang mengatur dengan issu
hukum tertentu. Sehingga penerapan asas ini menjadi tidak relevan.
UU Payung atau UU Pokok tidak tepat
disandingkan dengan asas “lex specialis
derogate lex generalis”. UU Payung merupakan UU yang mengatur dengan issu
hukum tertentu. Sehingga penerapan asas ini menjadi tidak relevan.
Selain itu juga dengan mendasarkan
kepada UU Payung atau UU Pokok, maka sinkronisasi maupun keselarasan antara
satu UU dengan UU lain menjadi baik. Sehingga dapat memberikan kepastian hukum
kepada masyarakat di Indonesia.
Dengan demikian maka pasal 44 dan
penjelasan umum angka (5) UU No. 32 Tahun 2009 sudah mengamanatkan sebagai UU
Payung didalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kedua.
Makna “Daya dukung dan daya tampung”. Daya dukung dan daya tampung” adalah roh dan
pondasi penting. “Daya dukung dan “daya tampung” Roh “daya dukung” dan “daya
tampung” haruslah menjadi nilai-nilai yang memberikan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dari “kualitas
lingkungan hidup yang semakin menurun” dan “mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya”
Roh dari “daya dukung” dan “daya
tampung” kemudian “perlindungan dan
pengelolaan Lingkungan hidup” yang dilaksanakan oleh “pemangku kepentingan”.
Sehingga pengelolaan Lingkungan
Hidup kemudian harus memuat asas seperti asas
tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan.
Dengan roh “daya dukung” dan “daya
tampung” kemudian dipastikan “Terlindunginya”
dan “dikelolanya” Lingkungan hidup.
Sehingga dapat memberikan “hak atas
lingkungan hidup baik dan sehat’.
Ketiga.
“Enviromental Defender”. Makna “Enviromental Defender” didasarkan kepada pasal
66 yang menyebutkan “Setiap orang yang
memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat
dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Namun dalam prakteknya, justru “environmental
defender” justru tengah berjuang mengalami proses hukum. Entah dilaporkan
sebagai “tersangka”, mengalami proses hukum, digugat di Pengadilan negeri
hingga mengalami berbagai diskriminasi yang menjauhkan dari agenda LH.
Walhi menyebutkan tiga orang (Sawin,
Sukma dan Nanto) yang menolak pembangunan PLTU Indramayu justru dituduh “penghinaan bendera Merah Putih’.
Atau Dulmuin yang dipukul yang
hendak melaporkan pemukulan terhadapnya justru dilaporkan “penganiayaan dan pengeroyokan di Polres Indramayu.
Kasus ini melengkapi sebelumnya
menimpa Anwar Sadat (Direktur Walhi Sumsel) yang dituduh “merobohkan pagar polda Sumsel” setelah sebelumnya kritis terhadap
pengembalian tanah PTPN VII.
Bahkan yang tragis justu menimpa
Salim (dikenal Salim Kancil) yang kemudian tewas ketika menolak penambangan
pasir di pesisir pantai selatan Watu Pecak, Lumajang, Jawa Timur.
Menurut Walhi, Angka ini terus
menaik setelah tahun-tahun sebelumnya jumlah angka kriminalisasi para pejuang
lingkungan hidup itu mencapai 227 kasus di tahun 2013, dari yang sebelumnya
hanya 147 kasus.
Yang paling teranyar adalah gugatan
perdata terhadap Dr Basuki Wasis oleh Nur Alam (Mantan
Gubernur Sulawesi Tenggara). Kapasitas
Dr Basuki Wasis dikenal sebagai akademisi yang memperjuangkan lingkungan hidup.
Sudah lebih menangani 200 kasus di Indonesia.
Pada Juli 2017 Dr Basuki Wasis juga pernah dilaporkan oleh PT Jatim Jaya
Perkasa karena memberikan keterangan palsu dalam persidangan.
Keempat.
Hak gugat Pemerintah. Makna ini dapat dilihat didalam pasal 90 ayat (1) “instansi pemerintah
dan pemerintah daerah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup
berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha
dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup”.
Mekanisme
ini merupakan “terobosan” dan kemajuan besar dari UU LH. Mekanisme yang jamak
sudah diterapkan oleh KLHK dalam berbagai kasus yang berkaitan dengna
kebakaran.
Mekanisme
ini dapat ditempuh Pemerintah Daerah untuk “menyeret” pembakar dan menyebabkan
asap didaerah.
Namun
sama sekali tidak terdengar “gaung” dari Pemda untuk menempuh mekanisme ini.
Sehingga “tanggungjawab” Pemda didalam melindungi masyarakat dari asap nyaris
sepi. Tidak terdengar sama sekali.
Advokat. Tinggal di Jambi