Usai
sudah “hiruk-pikuk” penyusunan Kabinet Menteri Jokowi-Makruf. Tarik menarik
antara “kandidat” Menteri yang diusung oleh Partai Politik pendukung Jokowi di
Pilpres, masuknya Partai Gerindra dan tampilnya generasi “muda” dan jagoan di
dunia entertainment adalah puncaknya di hari ini.
Dengan
disebutkan nama-nama Menteri maka dipastikan, Jokowi membuka ruang terhadap
perkembangan zaman. Masuknya “Nadeim Anwar Makarim, “Wisnutama”, Erick Tohir
adalah “perwujudan” slogan Jokowi memasuki milenial.
Nadeim
Makarim tidak dapat dipisahkan dari “gojek”, sebuah perusahaan starup yang melompat
menjadi “decacorn” dan meraup asset 10 milyar $US (170 trilyun Rupiah). Sebuah
pencapaian yang dinikmati diusianya masih 35 tahun. Disaat sebagian temant-teman
seusianya masih “berkutat” membayar cicilan rumah atau masih ada yang ngontrak
rumah, pekerjaan yang belum stabil bahkan masih banyak yang menjomblo.
Wisnutama
dikenal sebagai “desain” dibalik pembukaan Acara Asian Games 2018. Acara yang
dikemas dengna menghadirkan “stuntman” Jokowi menunggangi motor sepeda motor,
meliuk-liuk di Jakarta dan kemudian masuk ke gelora Bung Karno. Sebuah “opening
ceremony” yang tidak boleh diremehkan dan melebihi berbagai pembukaan Olimpiade
dunia.
Persis
film “Mission Imposible” yang dinaiki oleh Tom Cruise.
Sedangkan
Erick Tohir dikenal sebagai “tangan dingin” memoles klub sepakbola Inter Milan
dan menguasai 70% saham. Dengan prestasi inilah kemudian Erick Thohir kemudian didaulat
sebagai Ketua Tim Sukses sebagai panitia perhelatan Asian Games 2018. Asian
Games kemudian sukses. Baik sebagai penyelenggara maupun peserta. Indonesia
kemudian diperhitungkan dalam kancah Asia.
Ketiganya
kemudian sukses dalam kancah dunia modern. Ketiganya kemudian melengkapi cabinet
Jokowi.
Disatu
sisi, Jokowi-Makruf juga memberikan komposisi seimbang terhadap partai-partai
pendukung. Baik Partai Golkar, PDIP, Partai Nasdem, PPP, PKB. Berbagai jabatan
yang masih langganan partai, tetap diberikan secara proporsional.
Terhadap
jabatan yang dianggap prestasi seperti Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri
LHK, Menteri ATR/BPN, Menhub, Menteri PUPR, KSP, Menhumkam tetap diberikan
kepada incumbent.
Ada
beberapa menteri yang kemudian berpindah posisi, seperti Tjahjo Kumolo,
Bambang, Muhajir Effendi.
Sedangkan
beberapa jabatan disekitar istana seperti Pratikno, Pramono Anung, Moeldoko
masih bertahan.
Namun
yang paling “menghebohkan” adalah masuknya Prabowo (Menhan) dan Edi Prabowo
(Menteri KKP). Selain masuknya Partai Gerindra dalam komposisi cabinet, jabatan
Menteri KKP menggantikan Menteri Susi adalah fenomenal. Terlepas dari “tawaran”
dari Jokowi, menggantikan Susi adalah sebuah “pertarungan” yang serius.
Nama-nama
seperti Retno (sukses sebagai Menteri Luarnegeri), Sri Mulyani (sukses sebagai
Menteri Keuangan), nama Susi adalah Menteri yang cukup gemilang. Berbagai
prestasi sebagai Menteri menempatkan Susi sebagai menteri yang paling popular dan
tentu saja mendapatkan dukungan public.
Kembali
ke Partai Gerindra. Masuknya Partai Gerindra dapat dibaca berbagai sisi. Dari
pertaruhan “demokrasi”, sebuah slogan yang banyak diteriakkan berbagai
kalangan, masuknya Partai Oposisi adalah sebuah kemunduran. “Demokrasi” sudah
mati. Demikian gumaman berbagai kalangan.
Disisi
lain – sebagaimana sering disampaikan Jokowi – Pilpres sudah usai. Sekarang
kembali focus kepada agenda pembangunan. Melanjutkan pekerjaan dan memenuhi
janji Jokowi diperiode kedua.
Namun
dalam pemikiran yang hidup dalam alam cosmopolitan Jawa, “merengkuh” lawan
adalah cara untuk menunjukkan derajat pola kepemimpinan.
Nilai-nilai
seperti “menang jangan jumawa,
kalah tetap legowo”, adalah nilai yang
masih dipegang teguh. “Menang jangan
jumawa” adalah para pemenang tidak dibenarkan untuk “angkuh atau congkak”.
Sedangkan untuk membangun sikap mental kepada lawan maka “kalah (tersisih) tetap legowo (tulus hati, ikhlas)”.
Selain itu, filosofi kepemimpinan
Jawa juga mengenal “Sugih tanpa Bandha,
Digdaya tanpa Aji, Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake.
Makna ini kemudian ditafsirkan
sebagai “Kaya tanpa Harta, memiliki Kesaktian tanpa Ilmu/benda pusaka,
Menyerang tanpa bala Pasukan, Menang tanpa Merendahkan.
Cara ini dilakukan setelah “seseorang”
melewati “tapa” yang ketat, panjang dan konsisten. Sehingga cara yang dilakukan
adalah cara-cara yang dilakukan para Raja Jawa yang menempatkan manusia sebagai
“tempatnya” (ngasorake).
Sehingga “tawaran” Jokowi kepada
Prabowo haruslah ditafsirkan dalam pola kepemimpinan Jawa. Cara pandang Jokowi
terhadap “siapapun” lawan dengan tetap menghargainya.
Anda tidak setuju ?
Wah. Kita harus “laku” yang panjang
untuk menangkap pesan dari Jokowi.