23 Oktober 2019

opini musri nauli : Membaca Menteri Terpilih


Usai sudah “hiruk-pikuk” penyusunan Kabinet Menteri Jokowi-Makruf. Tarik menarik antara “kandidat” Menteri yang diusung oleh Partai Politik pendukung Jokowi di Pilpres, masuknya Partai Gerindra dan tampilnya generasi “muda” dan jagoan di dunia entertainment adalah puncaknya di hari ini.

Dengan disebutkan nama-nama Menteri maka dipastikan, Jokowi membuka ruang terhadap perkembangan zaman. Masuknya “Nadeim Anwar Makarim, “Wisnutama”, Erick Tohir adalah “perwujudan” slogan Jokowi memasuki milenial.
Nadeim Makarim tidak dapat dipisahkan dari “gojek”, sebuah perusahaan starup yang melompat menjadi “decacorn” dan meraup asset 10 milyar $US (170 trilyun Rupiah). Sebuah pencapaian yang dinikmati diusianya masih 35 tahun. Disaat sebagian temant-teman seusianya masih “berkutat” membayar cicilan rumah atau masih ada yang ngontrak rumah, pekerjaan yang belum stabil bahkan masih banyak yang menjomblo.

Wisnutama dikenal sebagai “desain” dibalik pembukaan Acara Asian Games 2018. Acara yang dikemas dengna menghadirkan “stuntman” Jokowi menunggangi motor sepeda motor, meliuk-liuk di Jakarta dan kemudian masuk ke gelora Bung Karno. Sebuah “opening ceremony” yang tidak boleh diremehkan dan melebihi berbagai pembukaan Olimpiade dunia.
Persis film “Mission Imposible” yang dinaiki oleh Tom Cruise.

Sedangkan Erick Tohir dikenal sebagai “tangan dingin” memoles klub sepakbola Inter Milan dan menguasai 70% saham. Dengan prestasi inilah kemudian Erick Thohir kemudian didaulat sebagai Ketua Tim Sukses sebagai panitia perhelatan Asian Games 2018. Asian Games kemudian sukses. Baik sebagai penyelenggara maupun peserta. Indonesia kemudian diperhitungkan dalam kancah Asia.

Ketiganya kemudian sukses dalam kancah dunia modern. Ketiganya kemudian melengkapi cabinet Jokowi.

Disatu sisi, Jokowi-Makruf juga memberikan komposisi seimbang terhadap partai-partai pendukung. Baik Partai Golkar, PDIP, Partai Nasdem, PPP, PKB. Berbagai jabatan yang masih langganan partai, tetap diberikan secara proporsional.

Terhadap jabatan yang dianggap prestasi seperti Menteri Luar Negeri, Menteri Keuangan, Menteri LHK, Menteri ATR/BPN, Menhub, Menteri PUPR, KSP, Menhumkam tetap diberikan kepada incumbent.

Ada beberapa menteri yang kemudian berpindah posisi, seperti Tjahjo Kumolo, Bambang, Muhajir Effendi.

Sedangkan beberapa jabatan disekitar istana seperti Pratikno, Pramono Anung, Moeldoko masih bertahan.

Namun yang paling “menghebohkan” adalah masuknya Prabowo (Menhan) dan Edi Prabowo (Menteri KKP). Selain masuknya Partai Gerindra dalam komposisi cabinet, jabatan Menteri KKP menggantikan Menteri Susi adalah fenomenal. Terlepas dari “tawaran” dari Jokowi, menggantikan Susi adalah sebuah “pertarungan” yang serius.

Nama-nama seperti Retno (sukses sebagai Menteri Luarnegeri), Sri Mulyani (sukses sebagai Menteri Keuangan), nama Susi adalah Menteri yang cukup gemilang. Berbagai prestasi sebagai Menteri menempatkan Susi sebagai menteri yang paling popular dan tentu saja mendapatkan dukungan public.

Kembali ke Partai Gerindra. Masuknya Partai Gerindra dapat dibaca berbagai sisi. Dari pertaruhan “demokrasi”, sebuah slogan yang banyak diteriakkan berbagai kalangan, masuknya Partai Oposisi adalah sebuah kemunduran. “Demokrasi” sudah mati. Demikian gumaman berbagai kalangan.

Disisi lain – sebagaimana sering disampaikan Jokowi – Pilpres sudah usai. Sekarang kembali focus kepada agenda pembangunan. Melanjutkan pekerjaan dan memenuhi janji Jokowi diperiode kedua.

Namun dalam pemikiran yang hidup dalam alam cosmopolitan Jawa, “merengkuh” lawan adalah cara untuk menunjukkan derajat pola kepemimpinan.

Nilai-nilai seperti “menang jangan jumawa, kalah tetap legowo”,  adalah nilai yang masih dipegang teguh. “Menang jangan jumawa” adalah para pemenang tidak dibenarkan untuk “angkuh atau  congkak”. Sedangkan untuk membangun sikap mental kepada lawan maka “kalah (tersisih) tetap legowo (tulus hati, ikhlas)”.

Selain itu, filosofi kepemimpinan Jawa juga mengenal “Sugih tanpa Bandha, Digdaya tanpa Aji, Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake.

Makna ini kemudian ditafsirkan sebagai “Kaya tanpa Harta, memiliki Kesaktian tanpa Ilmu/benda pusaka, Menyerang tanpa bala Pasukan, Menang tanpa Merendahkan.

Cara ini dilakukan setelah “seseorang” melewati “tapa” yang ketat, panjang dan konsisten. Sehingga cara yang dilakukan adalah cara-cara yang dilakukan para Raja Jawa yang menempatkan manusia sebagai “tempatnya” (ngasorake).

Sehingga “tawaran” Jokowi kepada Prabowo haruslah ditafsirkan dalam pola kepemimpinan Jawa. Cara pandang Jokowi terhadap “siapapun” lawan dengan tetap menghargainya.

Anda tidak setuju ?

Wah. Kita harus “laku” yang panjang untuk menangkap pesan dari Jokowi.